Pasar yang asyik dan ngepop
Meski ada banyak ruang yang mulai hilang, ia melihat bahwa sebenarnya masih ada potensi-potensi kawasan di Jogja yang bisa diaktivasi dan dimaksimalkan. Jogja penuh geliat anak muda yang ingin berkumpul dan berkreasi sehingga wadah ini diperlukan.
“Belakangan juga sudah banyak tumbuh ruang-ruang kreatif yang diaktivasi. Mulai dari JNM, Pasar Kranggan, sampai Borobudur Plaza. Banyak dan saya lihat masing-masing punya keunikan dan pasarnya tersendiri,” papar lelaki yang belakangan aktif menjadi pengajar di Institut Teknologi Telkom Purwokerto ini.
Gram punya perhatian tersendiri pada aktivitas menghidupkan dan memaksimalkan potensi sebuah ruang yang kurang termanfaatkan. Hal yang menurutnya dikenal dengan sebutan placemaking.
“Di Indonesia sebenarnya placemaking belum begitu familiar. Tapi di luar negeri itu sudah populer dan di bidang spatial designer. Tujuannya menciptakan ruang yang lebih inklusif untuk masyarakat,” jelasnya.
Pasar Wiguna banyak terinspirasi dengan konsep pasar tradisional yang sudah berkembang. Gram dan Risa perlu mempelajari seluk-beluk ekosistem pasar tradisional sebelum akhirnya menggarap proyek di Ambarrukmo ini.
“Tapi tentu kita ingin format yang lebih asyik dan pop,” tuturnya.
Selain di Jogja, ia juga mengerjakan sejumlah proyek placemaking lain di Banyumas. Proyek-proyek seperti Peken Banyumasan hingga Antar Desa Festival (ADF) tidak lepas dari perencanaan yang dilakukan lelaki kelahiran Jakarta ini.
Ia punya satu prinsip saat menentukan apakah proyek placemaking bisa dilanjutkan atau harus dihentikan di tengah jalan. Sepuluh gelaran awal menjadi penentu. Jika tercipta ekosistem yang baik maka dilajutkan dan jika tidak maka lebih baik dihentikan.
“Untuk Pasar Wiguna syukur cukup bagus saat sepuluh edisi awal. Sehingga bisa berlanjut sampai sekarang,” katanya.
Kini Pasar Wiguna telah berkembang. Menurut Gram, tadinya ia membayangkan tempat ini akan lebih banyak dikunjungi anak muda saja. Namun, ternyata dalam perjalannya banyak pengunjung dari segmen keluarga yang turut meramaikan.
Selain itu pengunjung yang datang juga tak hanya dari wilayah Jogja saja. Sang kreator berujar belakangan banyak pengunjung yang datang dari daerah seperti Solo, Semarang, bahkan hingga Jakarta.
“Satu sih yang bikin saya juga terkejut, banyak teman dari Jakarta yang ke Jogja sengaja ngepasin waktunya dengan Pasar Wiguna. Tempat ini bisa jadi alternatif destinasi di Jogja khusus Minggu pagi,” terangnya.
Meski sudah berjalan puluhan edisi, Gram mengaku belum berpuas diri. Masih banyak hal yang ingin ia benahi lagi dari pasar ini. Nilai-nilai yang ingin diterapkan akan dimaksimalkan lewat kampanye maupun gerakan.
Soal berpakaian tradisional dan modis
Sejak awal merencanakan tempat ini, para pengusungnya ingin membuat konsep yang kental dengan nuansa Jogja. Mereka ingin Pasar Wiguna punya sisi kebudayaan yang ditonjolkan, tapi tetap mengasyikkan.
“Jogja ini beda dengan Jakarta. Jadi kita berusaha jujur dengan mengangkat sisi kultur. Kalau lihat Jakarta kan erat dengan lifestyle-nya ya, termasuk dari luar negeri,” ujarnya.
Gram tertawa saat saya menceritakan bahwa ada pelanggan yang beranggapan bahwa datang ke tempat ini harus berpakaian modis. Menurutnya, tempat ini hadir agar bisa mewadahi aktivitas bergembira di Minggu pagi. Banyak pengunjung yang datang usai bersepeda atau lari pagi.
Ia hanya fokus membuat program untuk mengangkat sisi kebudayaan lewat pakaian tradisional. Sejak awal Pasar Wiguna memiliki kampanye bertajuk “Main Kain”. Ia ingin membuat tempat ini nyaman untuk mereka yang ingin berekspresi dengan pakaian tradisional dengan paduan sneakers dan semacamnya.
Saya juga sempat berbincang dengan seorang pengunjung yang mengenakan kebaya kutubaru berwarna hitam dipadukan kain berwarna krem. Pengunjung bernama Ikmatul Yuwafi (22) itu mengaku sengaja datang ke sini menggunakan pakaian tersebut.
Mahasiswi salah satu universitas swasta di Jogja itu sudah lama suka memakai pakaian serupa. Namun, mengaku sering merasa berbeda sendiri saat berkunjung ke pusat-pusat keramaian lain di Jogja.
“Nah ini pertama kali ke sini dan rasanya nyaman karena banyak juga yang berkain,” ujarnya sambil menikmati jajan yang ia beli dari stan.
Sejak lama Fifi sudah mengikuti informasi tentang Pasar Wiguna yang sesekali diunggah akun Instagram Risa Vibia. Fifi mengaku tertarik ke sini karena cukup mengidolakan sosok perempuan yang andilnya begitu besar dalam gelaran ini.
“Mbaknya anak seni gitu jadi aku suka ngikutin,” ujarnya tertawa.
***
Gram mengaku senang kalau ada yang datang ke Pasar Wiguna menggunakan kain bernuansa tradisional. Selain para pengunjung, Kerabat Karya juga diberikan anjuran untuk mengenakan pakaian serupa. Tapi paling utama bukan masalah pakaiannya. Melainkan bagaimana mereka bisa datang dan bersenang-senang.
Sebagai informasi, gelaran Pasar Wiguna ke-38 akan digelar Minggu 13 November 2022, pukul 08.00-13.00 WIB. Ada tiga puluh Kerabat Karya yang akan meramaikan pasar ini.
“Kalau bisa pakai [kain tradisional] ya syukur, tapi nggak pakai juga tidak apa-apa. Tapi paling penting bagaimana tempat ini bisa jadi tempat berkumpul yang membahagiakan dan menciptakan memori bagi mereka yang datang,” pungkas Gram.