Pasar Wiguna bisa jadi adalah tempat anak-anak muda di Yogyakarta menghabiskan Minggu pagi setelah sunday morning (Sunmor) UGM bubar. Namun, keberadaan pasar ini juga menunjukkan, semakin sedikitnya ruang publik di Yogyakarta.
***
Minggu pagi, 16 Oktober 2022 suasana di sekitar Ambarrukmo Plaza sudah ramai oleh anak-anak muda. Padahal sepagi ini salah satu mal terbesar di Jogja itu belum buka. Anak muda tersebut ternyata hendak menikmati santapan pagi dan bercengkerama di sisi timur mal tersebut. Tepatnya di sebuah taman persis di depan Pendopo Ambarrukmo.
Hampir dua tahun ini taman di Pendopo Ambarrukmo disulap menjadi lebih hidup. Penuh aktivitas anak muda dan para pelaku usaha. Mereka berkumpul di dalam sebuah wadah yang diberi nama Pasar Wiguna.
Ketika melangkahkan kaki ke dalam area ini, saya sedikit bingung lantaran setiap ruang yang tersedia sudah dipadati pengunjung. Mereka duduk di tikar yang digelar di atas rumput dan juga beberapa kursi yang tersedia. Terlihat nyaman dengan santapan pagi dan obrolan hangat bersama para rekan.
Tak seperti saat berkunjung ke pasar pagi pada umumnya, di sini para pengunjung terlihat bersolek rapi. Sebagian di antara mereka menggunakan kain-kain tradisional. Pemandangan yang unik di mata.
Di sekelilingnya berdiri stan-stan penjual makanan dan minuman. Mayoritas merupakan menu-menu jajanan sehat. Makanan dan minuman artisan yang unik dan beragam juga dijajakan oleh para penjual yang punya sebutan Kerabat Karya. Total ada sekitar 30 Kerabat Karya dalam setiap gelaran Pasar Wiguna.
Mata saya tertuju pada stan Tepikota yang menyajikan berbagai makanan. Di sana saya memesan seporsi Semego yang merupakan nasi tumpang dengan nugget rempah seharga Rp15 ribu. Rasa gurih rempahnya begitu terasa. Mengganjal perut lapar saya yang sudah harus banyak bergerak di Minggu pagi ini.
Usai makan, saya menyapa seorang pengunjung bernama Rizka Wirawan (25). Perempuan yang baru kali pertama datang ke sini ini ditemani seorang kawan. Ia mengaku sudah lama penasaran dengan Pasar Wiguna.
“Sering lihat orang-orang update sosial media pada datang ke sini. Jadi penasaran dan ternyata asik juga suasananya,” ujarnya sambil menenteng sebuah minuman herbal yang ia beli dari salah satu stan.
“Tapi kayaknya kalau ke sini harus mandi dulu deh dan minimal pakai bedak,” sambungnya terkekeh. Ia mengaku merasakan hal yang berbeda saat berkunjung ke pasar yang biasanya buka di Minggu pagi seperti ini. Misalnya, dulu saat ada sunmor di kawasan UGM, rasa-rasanya ia tidak pernah memperhatikan penampilannya.
Apa yang disampaikan Rizka, ada benarnya. Dulu, saat saya datang ke Sunmor UGM, cukup dengan celana pendek dan sandal jepit nggak ada perasaan minder atau salah tingkah karena belum mandi, seperti yang saya rasakan pagi ini.
Di Pasar Wiguna, menurut Rizka, para pengunjung berdandan rapi atau setidaknya berpakaian yang tradisional.
“Gila, mbak-mbaknya cantik-cantik. Tapi untung aku nyantai aja sih,” jelasnya tertawa.
Kendati begitu, Rizka yang sudah lama tinggal di Jogja mengaku kangen dengan suasana pasar dan tempat berkumpul dengan teman di Minggu pagi yang menyenangkan. Belakangan ia merasa hal itu mulai jarang dijumpai di Jogja.
Menyiasati ruang publik yang mulai sirna di Jogja
Di salah satu sudut tempat ini, saya berkesempatan ngobrol dengan Gilang Ramadan (36) yang lebih akrab disapa Gram. Ia merupakan kreator dari gelaran pasar yang punya gagasan untuk mempertemukan penikmati budaya dan gaya hidup sehat ini.
Gram dengan ramah menceritakan beberapa hal terkait Pasar Wiguna. Mulai dari stan-stan yang biasanya jadi jujugan para pengunjung di sini.
“Jiwa-jawi Express itu banyak yang mencari. Tapi biasanya yang datang paling telat tapi habisnya paling cepat ya stan Kebun Roti,” jelasnya sambil menunjuk stan-stan tersebut.
Pagelaran yang pertama kali dihelat 4 April 2021 ini sudah mencapai 37 edisi hingga awal November 2022. Mulanya digelar setiap pekan tapi sekarang diubah menjadi sebulan dua kali. Inisiatif untuk menciptakan tempat ini tercipta setelah Gram, seorang rekan, dan pihak Ambarrukmo berdiskusi untuk memanfaatkan ruang yang belum dimaksimalkan potensinya.
“Kalau secara penamaan ini sudah dikasih sama pihak Ambarrukmo. Tapi secara konsep, saya dan Mba Risa Vibia,” ujar Gram. Gram yang punya latar belakang industri kreatif dipadukan dengan perspektif Risa yang banyak mendalami hal-hal berkaitan dengan hidup sehat dan gaya hidup ramah lingkungan.
Perlu waktu riset sekitar sebulan untuk menemukan format yang dirasa tepat. Gram melihat bahwa sebenarnya segmen pasar sehat di Jogja punya banyak peminat. Namun, kebanyakan masih mengusung konsep yang terlalu serius.
“Jadi kami coba respons dengan konsep yang lebih kreatif dan fun. Tiga nilai utamanya yakni local, wellness, dan less waste,” paparnya. Tiga nilai itu yang ia pakai juga saat menyeleksi Kerabat Karya atau pengisi stan yang ingin bergabung. Setiap gelaran Pasar Wiguna hanya diikuti 30 Kerabat Karya, untuk edisi selanjutnya, Kerabat Karya yang mengisi akan berganti, demikian seterusnya. Info tentang Kerabat Karya yang mengisi bisa dipantau di akun Instagram @pasarwiguna.
Gram sebenarnya punya beberapa keresahan yang berusaha ia pecahkan lewat upayanya memanfaatkan ruang ini. Beberapa tahun belakangan ia melihat hilangnya sejumlah ruang publik yang biasanya dimanfaatkan anak muda untuk berkumpul. Ia mengambil contoh Alun-alun Utara Jogja yang dipagar dan Sunmor UGM yang sudah ditiadakan sejak awal pandemi.
Gram bercerita saat itu ia sempat mendiskusikan ide Pasar Wiguna dengan ibunya yang merupakan orang asli Jogja. Sang ibu beranggapan bahwa ide itu menarik untuk dieksekusi lantaran beberapa waktu belakangan banyak ruang publik yang mulai hilang di Jogja.
“Kami coba hadirkan alternatif yang mungkin sedikit berbeda misalnya dengan Sunmor UGM, tapi tetap bisa jadi ruang untuk anak muda,” jelasnya.