Kampung Jogoyudan di tepi Kali Code dulunya menjadi salah satu kampung gali di Kota Yogyakarta. Termasuk kampung yang dulunya paling ditakuti. Kalau sampai ada maling masuk kampung ini, jangan harap bisa keluar lagi.
Kini, wajah seram tak tampak lagi di wajah Kampung Jogoyudan. Namun, salah satu permukiman padat penduduk di Kota Jogja itu sekarang terimpit dengan tembok-tembok tinggi perkantoran dan hotel yang menutup beberapa gang di kampung ini.
***
Secara administratif, Jogoyudan masuk ke dalam Kelurahan Gowongan, Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta. Jika ingin masuk ke Kampung Jogoyudan, setidaknya saat ini dua pintu masuk utama, yaitu dari sisi selatan lewat Jalan Kleringan dan sisi utara yaitu Jalan Jendral Sudirman.
Jalan utama di Jalan Jogoyudan ini terbuat dari paving yang hanya bisa dilintasi satu mobil. Jika dua mobil berpapasan, salah satunya, harus mundur mengalah. Mencari ruang untuk menepi sehingga yang lain bisa melintas.
Melintasi jalan kampung di sore hari, anak-anak kecil berlarian di jalan. Para orang tua duduk di emperan rumah kecil mereka. Mengawasi anak sambil menikmati suasana tenang di balik riuhnya jalanan yang mengapit kampung ini.
Di sebelah utara, kampung ini berbatasan dengan Jalan Jendral Sudirman sedangkan di sebelah selatan berbatasan dengan Jalan Kleringan. Sedang sebelah barat batasnya adalah Jalan Margo Utomo (dulu Jalan Pangeran Mangkubumi), sebelah timur berbatasan dengan Kali Code dan Kampung Code.
Di sebelah utara, selatan, dan barat Kampung Jogoyudan dibatasi tembok bangunan hotel dan perkantoran. Sedangkan di timur, Kali Code yang membelah Kota Yogyakarta menjadi pembatas alami. Penghubung dua kampung yang dipisahkan Kali Code ini adalah Jembatan Gondolayu di sebelah utara dan Jembatan Kleringan di sisi timur.
Batas Kampung Jogoyudan di sisi timur selain Jembatan Kleringan dan Jalan Kleringan juga Taman Parkir Abu Bakar Ali.
Tepi Kali Code yang dulunya masih alas dan seram
Padatnya permukiman, membuat hampir semua rumah di sini tidak memiliki lahan parkir kendaraan. Bahkan sekadar untuk parkir motor. Sehingga banyak motor terparkir di halaman rumah yang merupakan gang-gang kecil. Selain itu, terdapat juga beberapa kantong parkir umum di pinggir gang.
Siang itu saya menyusuri Kampung Jogoyudan melalui pintu masuk sebelah barat. Tepatnya di sebelah Rumah Makan Duta Minang.
Saya mampir ke Masjid Darusalam. Tempat ibadah tertua yang masih bertahan di kampung ini. Jaraknya sekitar 500 meter dari pintu masuk dari Jalan Jendral Sudirman. Jemaah baru saja usai menunaikan salat asar saat saya singgah di emperan masjid itu. Seorang jemaah bernama Sugiman (82) tak langsung meninggalkan halaman masjid.
Ia berdiri di samping pagar menghadap permukiman. Matanya menatap pemandangan rumah-rumah yang saling berhimpitan. Hingga penampakan Masjid Syuhada yang berdiri kokoh di seberang Kali Code.
Sugiman terbilang salah satu golongan tua yang menjadi saksi banyak perubahan kampung ini. Sejak lahir, ia sudah tinggal di Jogoyudan.
“Sudah sangat berbeda. Dulu sini masih alas, serem,” katanya dengan suara yang masih jelas meski usia sudah senja. Dulu, keseraman Jogoyudan bukan hanya soal areanya di pinggir Kali Code yang gelap nan penuh pepohonan. Ada kisah lain yang menyertainya.
Kampung gali tepi Kali Code yang ditakuti
Sugiman duduk di teras masjid lalu mulai berkisah tentang kampungnya. Kawasan yang dulu mendapat julukan “Kampung Gali”. Bersanding dengan beberapa kampung pinggiran kali di Jogja seperti Badran.
“Rumiyin tiyang podo mboten wantun mlebet mriki (dahulu orang pada nggak berani masuk ke kampung in),” kenangnya.
“Maling mlebet mriki nggih mboten wangsul. Lha podo-podo panggen maling (Maling masuk kampung ini tidak bisa pulang. Lha sama-sama ingin maling),” sambungnya tertawa.
Ia bercerita para gali dan preman dahulu banyak tinggal di sisi selatan Jogoyudan, wilayah bernama Kleringan. Sisi selatan Jogoyudan berdekatan dengan Malioboro dan Stasiun Tugu. Titik-titik strategis perputaran pundi-pundi uang.
Pada era Orde Baru kampung ini juga ramai jadi jujugan para pemain judi. Hampir setiap malam, deretan kendaraan terparkir di jalan. Para pemiliknya menyambangi sebuah rumah tempat kediaman seseorang yang mereka anggap punya kesaktian menebak nomor.
Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SSDB) yang jadi semacam perjudian legal di era Suharto membuat banyak orang keranjingan memasang nomor. Angka-angka keberuntungan pun mereka cari dengan beragam cara termasuk dengan cara-cara yang kurang masuk akal.
Di Jogoyudan, SSDB mendapat julukan “nalu”. “Dulu banyak orang yang cari nomor datang ke Jogoyudan. Ke tempat Mbah Putih. Dia memang ahli ramal yang terkenal,” kenangnya.
Jauh lebih ke belakang, sebelum terkenal dengan sisi-sisi keras kehidupan, penamaan Jogoyudan disebut berasal dari sosok bernama Jagayuda. Menurut Sugiman, Mbah Putih merupakan sosok yang masih keturunan Jagayuda tersebut.
Senada, dalam Toponim Kota Yogyakarta (2007), nama Jogoyudan berasal dari sosok bernama Jagayuda. Sosok tersebut masih tergolong kalangan bangsawan. Namun, tidak ada keterangan yang menunjukkan periode masa kehidupan tokoh tersebut.
Pada perjalanannya Jogoyudan juga yang punya peran peting bagi Keraton Yogyakarta. Di kampung ini terdapat Kebon Dalem yang menjadi area Sultan HB VII memelihara hewan untuk kebutuhan hiburan. Selain itu ada juga Kebon Sari, yang pada era kolonial bernama Lemest Park, di Jogoyudan.
Saat wajah Jogoyudan berubah perlahan
Citra Jogoyudan sebagai kampung preman sebenarnya sudah mulai hilang. Sugiman, bercerita kalau masuknya sejumlah tokoh agamawan dan akademisi turut mengubah wajah kampung ini.
Ia misalnya, menyebut sosok bernama Solikin, yang merupakan anggota legislatif Kota Yogyakarta yang menginisiasi berdirinya masjid di kampung ini. Kemudian ada sosok bernama Amin Mansur, pengelola yayasan Tunas Melati yang berpusat di Jogoyudan. Bergerak di bidang sosial dan keagamaan.
“Rumiyin ngadekke perpustakaan lan masjid teng mriki (Dulu mendirikan perpustakaan dan masjid di sini),” kenang Sugiman.
Senada, Suparno (62), Ketua RW 9 di Jogoyudan, mengungkap bahwa hadirnya banyak pendatang dari berbagai daerah perlahan mewarnai nilai-nilai sosial dan budaya di kampungnya. Perubahan juga semakin terasa tatkala banyak mahasiswa dan pekerja dari luar yang tinggal menyewa kamar atau rumah di sini.
“Mereka yang datang dan tinggal, membaur, lalu membawa banyak hal baru ke Jogoyudan,” terang Suparno.
“Memang tidak mudah mengubahnya tapi perlahan perubahan itu terasa bagi kami,” terangnya.
Deru pembangunan hotel yang mengganggu
Perubahan juga terasa dari pembangunan-pembangunan yang masif di sekitar. Di sisi barat Jogoyudan, deretan hotel berbintang memisahkan kampung ini dari keramaian di seberangnya. Saat konstruksi hotel mulai tertancap, para pekerja sibuk bergerak, warga mulai merasakan perubahan.
“Saat proses pembangunan itu berisik sekali, apalagi kadang nggak kenal waktu,” keluh Suparno.
Suparno mengenang, saat pembangunan hotel berbintang empat terakhir, kesibukan tak berhenti sampai tengah malam. Suara bising konstruksi dan pengeboran tanah menganggu warga. Ia sampai harus menyambangi untuk meminta tenggang rasa supaya tidak mengganggu warga.
“Warga ini kan besoknya ada yang kerja, ada yang sudah sepuh juga, malam bising begitu tentu sangat terganggu,” ujarnya.
“Sampai saya minta bantuan LBH, kebetulan ada kenalan orang hukum,” imbuhnya.
Warga terganggu, tapi di sisi lain pekerja juga memiliki target untuk segera menyelesaikan bangunan. Tak mudah menemukan titik tengah di antara keduanya.
Jelang pembangunan juga sempat ada permasalahan. Salah satu akses jalan warga menuju Jalan Margo Utomo (dulu Jalan Pangeran Mangkubumi) harus tutup karena pembangunan itu. Namun, yang tak kalah menjadi perhatian Suparno adalah penggusuran sebuah musala.
“Saat itu saya tegaskan, musala ini berguna untuk warga. Tidak bisa gusur begitu saja,” ujarnya. Pada akhirnya musala itu tergusur. Suparno menyebut ada semacam ganti rugi, tapi menurutnya jumlahnya tidak sepadan. Ia pu mengaku sudah lupa nominalnya.
Akses ekonomi yang tertutup karena gedung hotel
Satu yang ia sayangkan, pembangunan-pembangunan hotel tak pernah memperhatikan dampak bagi warga. Pembangunan, baginya, seyogyanya dapat membawa maslahat bagi masyarakat di sekitar.
“Bagaimana bisa meningkatkan ekonomi kalau akses jalan saja tertutup,” katanya.
Di sisi timur Jalan Margo Utomo yang masuk Kampung Jogoyudan saja setidaknya ada empat hotel, mulai dari bintang dua hingga bintang empat. Ada juga kantor cabang bank nasional, show room mobil, minimarket, dan lainnya. Belum di sisi barat Jalan Margo Utomo yang sudah masuk Kampung Gowongan, hotel, perkantoran juga tak kalah banyak.
Andai saja ada akses ke Jalan Margo Utomo di sisi barat yang ramai dengan aktivitas bisnis, Suparno beranggapan, pasti ekonomi warga lebih hidup. Warga bisa membuka warung untuk para pekerja hotel, wisatawan, maupun pegawai perkantoran di sekitar.
Selain itu, potensi warga untuk menyewakan kamar di rumahnya sebagai tempat menginap bagi wisatawan juga semakin terbuka. Namun, harapan yang pernah muncul di benak Suparno itu sudah pudar.
“Kampung sini nggak bisa maju karena akses jalan tertutup semua,” ujarnya. Gang-gang kecil atau jalan tikus menuju Jalan Margo Utomo praktis banyak yang ditutup.
“Akhirnya ya banyak masyarakat, selain yang pegawai, memilih jadi ojol dan tukang parkir,” imbuhnya.
Salah satu hal yang ia syukuri, saat ini, permukiman di bagian tepi Kali Code sudah semakin tertata. Lebih bersih dan rapi dengan pembangunan jalan baru yang menghubungkan sepanjang bantaran kali dari utara hingga selatan.
Dahulu, area Jogoyudan lebih sempit dari sekarang. Terdapat perubahan aliran Kali Code yang membuat lahan permukiman bertambah luas. Dahulu, terdapat luapan lahar dingin Merapi mengubah aliran Kali Code di sekitar Jogoyudan. Menjadi sedikit lebih ke tenggara. Tumpukan material di bagian yang dulu merupakan sungai, menjadi permukiman.
Suparno berujar, 2024 mendatang, ada rencana pelebaran jalan yang membelah kampung. Hal itu membuat bangunan-bangunan rumah, yang lebih mirip sepetak kamar berjejeran, mengalami penggusuran.
Deretan bangunan itu sudah berdiri puluhan tahun. Namun, menurut Suparno memang kebanyakan tidak memiliki kelengkapan surat. Posisinya memang rawan, ia harap setidaknya ada ganti rugi yang warga dapat.
Kehidupan yang tenang di Jogoyudan
Di kampung ini saya juga berjumpa dengan Ati (47), perempuan asli Bantul yang sejak 2000 sudah menetap di Jogoyudan. Suaminya, Eko, merupakan warga asli kampung ini.
Sore itu, Ati sedang bercengkerama di rumah bersama suami dan dua anaknya. Satu masih duduk di bangku SD dan satunya lagi kelas tiga SMA. Saat tengah asyik berbincang, tiba-tiba saja ponsel suami Ati berdering. Sebuah pesanan untuk mengantar pesanan datang.
Ia langsung berdiri, mengambil jaket berwarna oranye yang menjadi seragam kerjanya. “Jemput pesanan dulu,” ujar Eko, tersenyum, lalu beranjak pergi.
Ati bercerita kalau banyak warga kampung ini yang berprofesi sebagai driver ojol. Lokasi permukiman mereka memang strategis, berada di pusat kota, sehingga menunggu dari rumah saja, tetap banyak pesanan yang nyangkut.
Menurut Ati, tinggal di kampung ini, belakangan menjadi nyaman. Ia membenarkan omongan beberapa warga lain yang Mojok wawancara sebelumnya tentang anggapan kampung preman. Hal itu ia rasakan saat tahun-tahun pertama tinggal di sini.
“Berjalannya waktu sih sudah nggak terlalu Mas. Mungkin sudah beda generasi. Dulu masih banyak ribut dan rusuh kalau ada yang mabuk, sekarang sudah nggak pernah,” ujarnya.
Jalan sempit yang sedikit akses keluar
Sambil tertawa, Ati bercerita, meski dekat dengan bantaran Kali Code jarang ada nyamuk di permukiman ini. Ia bersyukur belakangan lingkungan semakin bersih.
“Apalagi sekarang pembangunan di pinggiran juga sudah bagus,” katanya.
Sehari-hari, Ati bekerja sebagai karyawan di sebuah rumah makan. Hitung-hitung menambah pemasukan untuk keluarga. Ia juga sempat membuka warung makan kecil di rumahnya. Namun, pandemi membuat usahanya tutup.
Satu yang ia keluhkan selama tinggal di sini yakni akses jalan yang sempit. Pembangunan gedung tinggi di sekitar membuat warga tak punya banyak akses keluar.
“Ya kendalane itu macet aja Mas. Jalannya sempit,” keluhnya.
Kendati begitu, di tengah segala keterbatasan, ia bersyukur tinggal di kampung ini. Sebuah kampung padat di tengah Kota Jogja yang terapit pembatas alami dan pembatas buatan manusia.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Sisi Gelap Pekerja Hotel di Jogja, Upah Murah hingga Rentan Pelecehan Seksual dan tulisan menarik di kanal Liputan.