Melaju atau nglaju jadi pilihan sebagian mahasiswa meski jarak rumah ke tempat kuliah jauh. Mereka memilih lebih dekat dengan orang tua di saat ada pilihan untuk hidup tanpa pengawasan.
Mojok bertemu dengan beberapa mahasiswa yang memilih nglaju atau melakukan perjalanan pulang pergi dari satu kota ke kota lain dalam satu hari secara rutin. Mereka memilih lelah di jalan daripada kos di dekat tempat kuliah.
***
Naila Taqya (22) sedang menempuh semester akhir. Hari-harinya ia habiskan untuk menyelesaikan skripsi. Naila tinggal di Solo atau Surakarta, tepatnya di daerah Karangasem. Namun, mahasiswi yang mengambil jurusan Bahasa dan Sastra Arab ini lebih memilih kuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Sebelum mantap dengan pilihannya menjadi mahasiswa yang nglaju, Naila sempat ngekos di dekat kampus sejak 2019. Kesehariannya sebagai mahasiswa rantau harus berakhir ketika pandemi datang.
Naila memutuskan untuk pulang ketika perkuliahan dialihkan daring. Ketika pandemi mulai landai, Naila sedang menempuh semester enam. Di masa itulah dirinya menjadi mahasiswa yang nglaju dari Solo ke Yogyakarta. Selama jadi mahasiswa yang nglaju, dirinya selalu naik KRL tujuan Solo-Jogja.
“Tapi itu nggak full nglaju. Soalnya yang offline cuma satu mata kuliah. Itu pun cuma 3-4 kali pertemuan. Mulai full nglaju itu di semester tujuh,” kata Naila.
Keputusan Naila untuk pulang pergi bukan tanpa sebab. Dirinya sudah mempertimbangkan betul sebelum nekat nglaju. Di semester tujuh, beban mata kuliahnya lebih sedikit dari semester-semester sebelumnya. Semakin yakin karena orang tua Naila juga menyarankan untuk nglaju.
Dalam seminggu, Naila bisa dua sampai tiga kali nglaju dari Solo ke Jogja. Katanya, Naila hanya ke kampus ketika ada perkuliahan atau ada janji dengan dosen pembimbing soal skripsinya. Tak jarang juga Naila nglaju untuk menghadiri teman yang sedang seminar proposal atau sidang skripsi.
Nggak kepikiran ngekos lagi karena menikmati nglaju
Naila sempat takut buat nglaju, apalagi perjalanan ke kampus dari rumah yang butuh persiapan. Tapi Naila siasati itu dengan selalu memastikan dirinya sudah berangkat dari rumah setidaknya satu jam lebih awal dari jadwal kuliah.
Biasanya, Naila naik dari Stasiun Purwosari Solo. Kemudian turun di Stasiun Lempuyangan Yogyakarta. Dari situ, Naila naik ojek untuk pergi ke kampusnya. Meski capek, Naila tahu betul rutinitas nglaju seperti itu sudah menjadi risikonya.
“Cari ritme yang tepat. Misal, selama nunggu KRL atau pas di perjalanan naik KRL, bisa disambi sambil ngapain gitu. Entah baca atau apa,” jawabnya ketika ditanya apa yang membuat dirinya menikmati menjadi mahasiswa yang nglaju.
Kini Naila sudah terbiasa dengan semua itu. Dirinya betul-betul menikmati menjadi mahasiswa yang nglaju. Berkat ritme yang ia temukan, tak pernah terbesit di pikirannya untuk kembali ngekos.
Nglaju karena kebiasaan
Berbeda dengan Naila yang naik transportasi publik ketika nglaju, cerita lain datang dari mahasiswi yang kuliah di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Namanya Putri (22), mahasiswi yang kini sedang berjuang untuk menyelesaikan skripsinya.
Putri tinggal bersama orang tuanya di Kecamatan Musuk, Boyolali. Tepatnya di dekat kaki Gunung Merapi. Jarak dari rumahnya ke kampus sekitar 35 km. Saya menemui Putri di Kabupaten Boyolali. Katanya, dari tempat kami bertemu, rumahnya masih jauh.
“Bisa dibilang tempat ini setengah perjalanan dari rumah ke kampus. Dari rumah ke tempat ini tadi 25 menit, kalau sampe ke kampus bisa satu jam,” terangnya.
Baginya, nglaju adalah pilihan logis. Apalagi, kata Putri, dirinya memang sudah terbiasa nglaju sejak SMA. Jalan yang bolong-bolong, gelap, dan sepi sudah jadi hal biasa bagi Putri.
Putri sudah mendapat kepercayaan dari orang tua untuk bepergian jauh sendiri dengan naik motor. Orang tuanya mendukung pilihanya untuk nglaju.
Bisa dekat dengan keluarga di rumah
Putri mengaku dirinya adalah mahasiswa kupu-kupu, alias kuliah-pulang kuliah-pulang. Kesehariannya lebih banyak ia habiskan di rumah ketimbang di kampus. “Dari semester awal udah nglaju. Kalo di kos juga kan diem aja. Di rumah bisa bantu orang tua.”
Di awal masa kuliahnya, Putri sempat mencari kos di sekitaran kampus. Tetapi niat itu akhirnya ia urungkan setelah menimbang-nimbang banyak hal. Salah satunya karena pandemi.
Alasan lain Putri nglaju adalah karena ingin selalu dekat dengan keluarga di rumah. Putri sendiri tidak memiliki banyak teman di kampus, sehingga mubazir baginya jika harus ngekos. “Kalo dihitung-hitung sih lebih hemat nglaju daripada ngekos. Paling cuma bensin aja, kalo ngekos kan ada biaya hidup sehari-hari,” tambahnya.
Cerita yang sama datang dari mahasiswi UMS lainnya. Ferolena (22) atau akrab disapa Fero ini pernah merasakan seperti apa rasanya ngekos, dan seperti apa rasanya nglaju.
Fero adalah anak bungsu dari tiga saudara. Kakak-kakaknya sudah menikah dan tinggal dengan pasangannya. Fero tinggal bersama ibunya di Kabupaten Karanganyar. Dari rumah ke kampusnya yang berkisar 30 km, Fero menghabiskan satu jamnya selama di jalan.
Ketika semester awal, Fero sempat ngekos. Kemudian sejak semester lima hingga sekarang, mahasiswi yang mengambil Jurusan Ekonomi Pembangunan ini memilih nglaju. Selama ngekos, kata Fero, dirinya kerap merasakan bosan. Beda hal dengan di rumah.
“Kalo di rumah bisa bantu ibu saya juga. Ibu sering minta anter kalo pergi-pergi gitu. Jadinya enak nglaju, bisa dekat sama orang tua di rumah,” katanya.
Nglaju ibarat healing kecil-kecilan
Banyak yang menjadi alasan mengapa mahasiswa memilih nglaju. Kebanyakan alasan dan pertimbangan adalah agar bisa dekat dengan orang tua. Tapi, bagi Haydar Ilham (21) tidak hanya itu saja.
Dirinya warga asli Semarang. Haydar tinggal bersama orang tuanya di Muteran, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang. Kuliahnya di Solo, pergi ke kampus dengan naik sepeda motor.
Dari rumahnya ke kampus berjarak 35 km. Haydar menganggap jika jarak segitu tidak terlalu jauh dari rumahnya, sehingga tak masalah baginya untuk nglaju tiap hari. “Kalo lalu lintas lancar, saya bisa sampe kampus setengah jam aja. Itu kalo kecepatannya 80 sampe 100 km/jam. Kalo santai sih bisa kurang lebih satu jam,” tambahnya.
Kepada Mojok, Haydar mengaku menikmati menjadi mahasiswa yang nglaju. Bahkan, nglaju ini ia ibaratkan sebagai healing. Dirinya bisa mengobrol dengan diri sendiri ketika di perjalanan menuju kampus.
Nggak ngekos karena harus bantu orang tua di rumah
Meski menikmati, tak jarang Haydar mengeluh karena nglaju ini. Haydar tak pernah mengalami masalah berarti soal kemampuannya mengikuti pelajaran di kelas. “Tapi kalau habis pulang kuliah, dengan nglaju itu energi udah habis duluan. Jadi kalo ngerjain tugas nggak maksimal,” keluhnya.
Mahasiswa yang mengambil jurusan Geografi ini setuju jika ngekos punya privilesenya sendiri. Salah satunya bebas dari pengawasan orang tua. Teman-temannya pun sering mengajak Haydar untuk ngekos ketimbang nglaju.
Tetapi, hal itu tidak bisa ia lakukan. Haydar punya tanggung jawab lain di rumah sebagai anak. Ibu dan kakak Haydar punya usaha katering makanan, sehingga mau tidak mau membuatnya harus membantu mengantarkan makanan.
“Kalo saya ngekos, nanti jadi kurang bisa membantu mereka. Makanya saya nglaju,” tambahnya.
Kini Haydar jarang ke kampus. Bahkan, katanya, sudah tidak lagi sejak ia mengikuti program magang Kampus Merdeka. Sambil tertawa, Haydar mengaku kalau ia rindu dengan aktivitasnya sebagai mahasiswa yang nglaju.
“Ada sih jujur [rasa kangen]. Kangen suasana [ketika nglaju] dan teman di kampus,” kata mahasiswa yang belum pernah kos.
Sebal dengan dosen yang suka kasih informasi dadakan
Baik Naila, Putri, Fero, sampai Haydar sepakat hal paling menyebalkan dari nglaju adalah soal dosen yang suka kasih informasi perkuliahan semaunya. Bagi mereka yang nglaju, dosen seperti itu menyebalkan.
Naila beberapa kali menemui dosen yang seperti itu. Pernah suatu hari ia khawatir bukan main ketika sedang dalam perjalanan di KRL. Kereta yang ia naiki mengalami masalah selama berjam-jam. Naila dan penumpang yang lain diminta untuk pindah kereta.
“Keretanya udah nggak bisa beroperasi lagi, mau diperbaiki. Pengumuman itu bertepatan juga sama pengumuman dari dosen kalau hari itu tidak ada kuliah,” pungkasnya. Setelah dapat informasi itu, Naila memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan ke Jogja.
Tentu hal semacam ini tidak hanya Naila yang mengalami. Fero punya cerita serupa. Dari raut wajahnya, ia hanya bisa pasrah ketika bercerita soal pengalamannya dikerjai dosen. Sama seperti Naila, di tengah perjalanan Fero dapat kabar kalau dosen menunda perkuliahan.
“Posisi itu hujan deras. Saya tetap lanjutin sambil hujan-hujanan. Naik motor dari rumah, persiapan berjam-jam, dosen seenaknya nunda kuliah karena hujan deras,” kata Fero sambil menghela napas panjang.
Memilih absen daripada maksa datang
Putri butuh waktu yang tidak sebentar sebelum berangkat ke kampus. Mutlak baginya sebagai perempuan harus melakukan persiapan ini dan itu. Bahkan, katanya, satu hari sebelum kuliah dirinya harus sudah mulai mengumpulkan niat untuk nglaju.
Dirinya tidak mau ambil rugi. Ketika dapat informasi perkuliahan yang dadakan, Putri lebih pilih tidak memaksakan untuk datang. “Kalau dapet info tiba-tiba kuliah gitu, saya mending nggak datang. Biasanya titip absen aja sama temen,” tuturnya.
Meski begitu, Putri mengakui kalau pernah maksa datang walaupun sudah telat. Ketika sampai di kelas, durasi perkuliahan hari itu hampir habis. Tapi dosen tetap mempersilakan Putri untuk masuk. “Saya jujur sih kalo nglaju, jadi boleh masuk.”
Perlakuan yang sama dilakukan oleh Haydar. Kalau hanya ada satu mata kuliah saja dalam sehari, dirinya lebih pilih titip absen ketimbang datang ke kampus. Hal seperti itu sering ia lakukan.
“Tergantung dosen dan mata kuliahnya juga sih. Kalo mata kuliahnya berat, saya nggak berani titip absen. Kalo dosen ganti jadwal kuliah dadakan, saya titip absen. Nggak sempat.”
Reporter: Novali Panji Nugroho
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA: Derita Mahasiswa yang Kampusnya Tutup Tiba-tiba: Mimpi Kami Punya Ijazah Musnah dan reportase menarik lainnya di kanal Liputan.