Kericuhan di Babarsari, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta beberapa waktu yang lalu membawa rasa was-was pada mahasiswa asal Indonesia Timur yang tengah kuliah di Jogja. Mahasiswa dari NTT, Maluku, dan Papua menyampaikan uneg-uneg dan harapannya ketika berbincang dengan Mojok.
***
Akhir pekan pertama bulan Juli 2022, Ino* asal NTT tak punya agenda khusus. Hanya ingin merevisi skripsi yang beberapa pekan sebelumnya ia presentasikan dalam sidang di hadapan dosen penguji. Serta tentu saja beribadah di gereja pada hari Minggu yang tenang.
Namun, sebuah kejadian membuatnya terpaksa mengubah rencana. Bentrokan pecah di Babarsari, Sleman. Dua kelompok saling serang menggunakan senjata tajam. Salah satu kelompok yang berseteru, punya identitas kedaerahan yang sama dengan pemuda berusia dua puluh dua tahun ini. Tentu saja, bagi mahasiswa sebuah universitas di Sleman ini, tak ada tenang di akhir pekan.
Menurut laporan polisi, kerusuhan bermula pada Sabtu (2/7/2022) dini hari di sebuah tempat karaoke di Seturan. Kelompok L asal NTT sedang berkunjung ke tempat hiburan yang dijaga oleh pihak keamanan dari kelompok K dari Maluku.
Usai berkaraoke, kelompok L keluar dan ditanyai oleh kasir apakah sudah membayar atau belum. Tak berselang lama, terjadilah percekcokan karena masalah pembayaran. Beberapa anggota kelompok L mengalami luka-luka di tempat kejadian awal.
Kericuhan di Babarsari berlanjut pada pagi harinya, saat kelompok L menyerbu sebuah rumah di daerah Jambusari. Korban luka akibat kericuhan di Jambusari bertambah, termasuk seorang dari Papua dengan luka parah yang disebut polisi berasal dari luar dua kelompok yang berseteru. Eskalasi konflik pun bertambah pelik.
Kekhawatiran merambah ke perantau dari daerah Indonesia Timur di kawasan itu yang bahkan tak ada sangkut pautnya dengan perseteruan yang terjadi. Pagi itu, grup-grup WhatsApp di handphone Ino ramai. Foto-foto penuh darah bertebaran.
“Beredar video rekaman CCTV sekelompok orang bersenjata berkeliaran di jalanan. Sebagian bawa senjata tajam. Itu sudah buat kami khawatir,” katanya, menjelaskan sebuah video kamera pengawas berdurasi dua menit dengan penanda waktu Sabtu pukul 5 pagi.
Hari Sabtu, Ino dan sejumlah kawannya tak berani beraktivitas keluar. Mereka dilanda kepanikan dan hanya bisa bertahan di kamar kos masing-masing. Sembari menerka perkembangan buntut dari kericuhan di Babarsari.
Selang sehari, Ino mendengar kabar adanya sweeping di kos-kos milik kawan sedaerahnya tinggal. Hal ini tentu menambah kepanikan. Bahkan di petak-petak kecil tempat mereka tinggal di perantauan, mereka merasa tak aman. Ino tinggal di kos yang letaknya tak sampai dua kilometer dari pusat ketegangan.
“Sebenarnya ini terjadi di dua belah pihak. Saya yakin, mahasiswa dari Maluku yang tak tahu menahu urusan ini tapi berada di dekat sini juga mendapat kabar serupa. Mengalami kekhawatiran yang sama,” ujarnya.
Kawan seperantauan Ino, Markus* (22) juga merasa tak aman untuk tinggal di kosnya. Apalagi ia mendengar kabar ada teman yang tinggal di Glagahsari, Umbulharjo, Kota Yogyakarta yang dipukuli di kosnya.
“Saya tidak tahu detailnya, tapi dia dipukuli oleh orang yang masih berkaitan dengan konflik ini. Padahal teman saya, saya tahu betul dia tak pernah terlibat dalam urusan kekerasan,” papar mahasiswa sebuah universitas swasta di Sleman ini.
Ino, Markus, dan belasan teman mereka pun memilih untuk mengamankan diri dan sedikit menjauhi area ketegangan itu. Mereka mengungsi di tempat salah satu senior se-daerah yang dirasa lebih aman. Minggu malam, mereka bermalam di sana.
Ini memang bukan kali pertama mereka berdua menyaksikan ada ketegangan antarkelompok terjadi di Babarsari. Keduanya datang ke Jogja sejak beberapa tahun silam untuk melanjutkan studi. Namun baru kali ini, ketegangan yang terjadi membuat mereka merasa tak aman.
“Kita merasa diteror, diburu, makanya kemarin kita ngungsi. Kemarin kan memang benar terjadi sweeping itu, makanya itu kita cari aman,” ujar Markus.
Pilihan mereka untuk mencari tempat aman memang tepat. Senin (4/7) ketegangan antarkelompok memuncak di jalan. Menurut laporan kepolisian, sejumlah ruko di Babarsari rusak bahkan ada yang terbakar. Beberapa kendaraan ringsek oleh amukan-amukan massa. Kelompok yang berseteru turun ke jalan Babarsari dan Seturan menenteng senjata tajam.
Sementara itu, di depan Polda DIY, massa aksi dari Papua berunjuk rasa. Menuntut keadilan dari polisi untuk mengusut pelaku kekerasan pada salah satu mahasiswa dari Papua yang terjadi di Jambusari. Mahasiswa dari Papua menjadi korbannya.
Kecemasan ini juga diperparah dengan pesan-pesan hoaks yang beredar di WhatsApp. Sebuah pesan di grup WhatsApp daerah Ino dan Markus berbunyi: Buat yang punya keluarga lagi studi di Jogja tolong sampaikan agar hati-hati. Ada bentrokan anak-anak kita dengan Maluku di Babarsari. Dua anak Maluku tewas. Padahal, tak ada korban meninggal dalam kerusuhan ini.
“Belum lagi, ada beberapa foto korban kekerasan, yang memang bukan dari kasus di sini. Ini memperparah kepanikan yang kami rasakan,” kata Markus yang kemudian dibenarkan Ino.
Ino harus merelakan janji bimbingan dengan dosennya yang harusnya dilakukan pada Senin (3/7) ditunda. Menurut Ino, sang dosen pun memaklumi situasi yang sedang ia alami sehingga janji temu pun diubah lain hari. Padahal ia sudah mendambakan segera bisa diwisuda dari kampusnya.
Pada waktu kerusuhan di hari Senin, sejumlah kampus yang berada di kawasan Babarsari dan Seturan memang memilih meniadakan aktivitas mahasiswanya. Kepolisian menutup sejumlah ruas jalan menyusul keributan yang memanas.
Kerusuhan memang mereda setelah Senin. Markus, Ino, dan belasan temannya juga sudah kembali dari tempat pengungsian pada hari Selasa. Namun, para mahasiswa dari Indonesia Timur belum bisa bernafas lega. Bagi mereka, sebelum para pelaku kekerasan diproses hukum oleh kepolisian, situasinya belum aman.
Mojok yang menghubungi mereka sejak Selasa, juga baru bisa berbincang pada Senin (11/7), pekan depannya. Mereka mengaku belum tenang dan berani berbicara sebelum situasi benar-benar mereda. Selain Ino dan Markus, ada satu kawan mereka yang datang menyusul, namun ia tak berbicara banyak. Lebih banyak mendengar dan membenarkan ucapan kedua kawannya.
Ketegangan dan kekhawatiran juga dirasakan oleh Gaga* (26), mahasiswa asal Maluku Utara yang kini berkuliah di kampus yang letaknya tak jauh dari pusat kerusuhan. Sebelum kepolisian menetapkan tersangka pelaku kekerasan, ia jarang melakukan aktivitas di luar kosnya. Demi menghindari hal yang tak diinginkan.
“Saya dan beberapa teman saat kejadian lebih memilih di kos saja. Secara saya dari Maluku, riskan juga. Sebelum polisi menetapkan tersangka ya saya membatasi diri untuk keluar,” katanya saat dihubungi Mojok.
John* (27), pria asal Papua yang belum lama ini menyelesaikan studi S1 di Jogja juga merasa tak tenang ketika konflik semacam ini terjadi. Ia punya harapan besar agar adik-adiknya yang masih dalam masa kuliah bisa belajar dengan tenang tanpa gangguan dan tekanan.
“Saya kebetulan sudah lulus, saya bisa pulang [ke Papua] dalam waktu dekat. Tapi saya mikir adik-adik saya, yang tidak tahu menahu tentang konflik ini kemudian menjadi was-was. Ada imbauan dari IPMAPA agar saling mengingatkan dan berjaga-jaga karena ada sejumlah aksi. Ini tentu mengganggu psikologis teman-teman juga,” ungkapnya.
Sebelumnya, tokoh masyarakat NTT, Maluku, dan Papua sempat menyampaikan pesan perdamaian di Polda DIY. Mereka yang berkumpul di antaranya Drs. John S Keban (NTT), Daniel Damaledo, SE, MA (NTT), Hillarius Ngaji Merro, SH (NTT), Dr. Jacky Latupeirissa MA, (Maluku), Kristovel, SE (Maluku), Pendeta Beny Dimara (Papua) dan Renaldy (Papua).
Mereka ingin semuanya segera berdamai. Menyelesaikan permasalahan dengan baik dan saling menahan diri. Jacky Latupeirissa juga mengingatkan agar tidak ada sweeping yang dapat membahayakan sesama.
“Sekarang kembali ke masing-masing, tidak ada yang sweeping, jangan percaya seluruh berita hoaks dari medsos yang menimbulkan keresahan yang ini kita tidak inginkan bersama. Hindari provokasi medsos menimbulkan keresahan membuat saudara tidak tenang,” ujar Jacky, Kamis (6/7).
Tak berselang lama pada Sabtu (9/7), Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda DIY akhirnya telah melengkapi tersangka kerusuhan Babarsari menjadi lima orang. Dua tersangka terkait keributan di tempat karaoke dan tiga orang lainnya terkait kekerasan di Jambusari. Kelompok-kelompok yang berseteru juga telah bersepakat untuk damai.
Konflik harus dipisahkan dari mahasiswa
Mahasiswa yang Mojok temui menyayangkan konflik seperti ini terus terjadi. Hal ini bukan saja menimbulkan korban berjatuhan, tapi mencederai niat tulus banyak mahasiswa dari Indonesia Timur yang hendak belajar di Jogja. Mereka juga berharap, masyarakat tidak mudah menggeneralisasi.
“Kami tidak pernah terlibat dengan perkumpulan yang mengarah ke kekerasan dan tindak-tindak kejahatan. Saya yakin, mayoritas teman-teman mahasiswa dari timur tidak terlibat. Kalau ada, itu hanya anomali belaka,” kata Ino tegas.
Dampak yang dirasakan para mahasiswa tak hanya rasa khawatir saat kerusuhan semacam ini terjadi. Secara jangka panjang, mereka memikul beban stigmatisasi bahkan diskriminasi yang semakin subur setelah pertikaian.
“Wes diusir kabeh wae seko Jogja, cah-cah timur, (Sudah diusir aja semua anak-anak timur dari Jogja),” ucap Ino menirukan pesan yang ia temukan di komentar unggahan terkait kericuhan di Babarsari. Wajahnya tersenyum getir setelahnya.
Rupa-rupa komentar semacam itu jamak ia dan kawan-kawannya temui di masa-masa seperti ini. Namun, mereka tak bisa membalas komentar tersebut. Meski mereka punya banyak alasan untuk membela diri. Di tengah situasi seperti ini, harapan mereka tak pernah padam.
“Situasinya panas, kami tidak mau memperkeruh keadaan. Kami paham kekecewaan warga Jogja, tapi kami (mahasiswa Indonesia Timur) tidak tahu dan tidak terlibat dalam konflik seperti ini,” ucapnya.
Bagi mahasiswa-mahasiswa yang Mojok temui, tanpa konflik ini, mereka sudah mengalami diskriminasi dalam berbagai hal. Mereka tahu, setelah ada kejadian macam ini, sentimen akan meningkat.
“Salah satu hal klasik yang kami alami adalah kesusahan mencari kos. Barangkali setelah kasus ini, akan semakin sulit, Tapi kami harap masyarakat Jogja bisa menyadari dan menghilangkan dimensi ‘mahasiswa’ dari konflik antarkelompok ini,” ungkap Ino.
Selain Ino, John juga berharap agar masyarakat Jogja bisa melihat banyak sisi-sisi lain dari mahasiswa Papua di Jogja. Banyak di antara mereka, yang menurut John, punya aktivitas lain yang positif namun kerap tertutup oleh konflik-konflik atas nama kelompok seperti yang terjadi di kericuhan Babarsari.
“Saya berharap jangan menggeneralisir. Itu kan oknum yang membawa nama daerah tertentu,” ucap John.
Dalam kesempatan di Polda DIY, Presiden Ikatan Pelajar-Mahasiswa Papua Yogyakarta, Yundi Wonda juga menyampaikan bahwa para pemuda Papua ke DIY dengan niat baik demi meneruskan pendidikan. Tak ingin terlibat dalam hal yang melanggar aturan dan ketertiban.
“Kami mahasiswa ingin Jogja tetap sebagai kota pendidikan, tetap aman, dan tetap damai. Tapi kami juga minta untuk pelaku penganiayaan harus bertanggungjawab untuk hukum maupun proses pengobatan teman kami,” katanya.
Tindakan hukum saja belum cukup
Ketua Pusat Studi Kawasan Indonesia Timur Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Argo Twikromo melihat bahwa siklus konflik yang terjadi antarkelompok dari Indonesia Timur di Jogja tak cukup diselesaikan dengan tindakan hukum saja.
“Hukum memang cepat dan cara yang adil untuk menyelesaikan masalah. Tapi kunci untuk ke depan adalah membuka ruang dan menghilangkan sekat antara warga Jogja dan pendatang yang selama ini tidak terkoneksi,” ujarnya saat ditemui Mojok, Rabu (13/7).
Argo mengakui bahwa salah satu elemen yang paling terdampak secara jangka panjang dari kasus kericuhan di Babarsari maupun peristiwa serupa adalah mahasiswa dari Indonesia Timur. Mereka yang ke Jogja dengan niat belajar, harus mendapatkan hal-hal kurang mengenakkan. Baginya, pihak universitas yang memiliki banyak mahasiswa dari kawasan timur Indonesia juga perlu memberikan ruang yang luas untuk mengekspresikan diri.
“Agar mereka bisa muncul, keberadaan dan aktivitas positifnya diketahui orang banyak. Selama ini mereka terputus koneksinya, masyarakat akan melihat saat ada kasus-kasus buruk saja,” jelasnya.
“Hal seperti ini bukan dilatarbelakangi mahasiswa, tapi mereka kena imbas. Ketika mahasiswa ketakutan, ya para rektor dan petinggi kampus perlu merangkul,” pungkasnya.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
*)Nama narasumber kami samarkan atas permintaan yang bersangkutan.