Pengusaha Pertashop menjerit karena usaha mereka yang bermitra dengan Pertamina kini sepi. Sebagian bahkan memilih menutup usahanya karena lebih tinggi biaya operasional dibandingkan pendapatan.
***
Sebuah gerai Pertashop di Jalan Purwomartani, Kalasan, Sleman terlihat lengang. Di tengah terik, Rabu siang (11/1), pegawai bernama Feri sedang duduk di samping mesin sembari menunggu satu dua pembeli yang datang.
Dalam sehari, gerai ini buka sejak pukul enam pagi hingga sembilan malam dengan dua shift penjaga. Hari ini, Feri berjaga di shift kedua sejak pukul 13.30 sampai gerai tutup malam nanti.
“Siang begini memang sedang sepi. Banyak pembeli kalau pagi dan sore, saat pekerja berangkat dan pulang kerja,” terang lelaki yang sudah sekitar sebelas bulan bekerja di tempat tersebut.
Namun, ia mengakui kalau ada perbedaan yang signifikan saat awal-awal gerai ini buka pada Februari 2022 silam dengan beberapa bulan belakangan ini. Perbedaan itu terjadi sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM non-subsidi, Pertamax.
Untuk mengetahui perjalanan Pertashop ini, saya lalu menghubungi sang pemilik yang bernama Pulung Nur Indrawan (55). Siang ini, ia sedang tidak ada bisa hadir di gerai.
Semuanya berawal sejak adanya tawaran agen dari Pertamina. Penjelasan tentang peluang yang bisa dihasilkan lewat satu gerai Pertashop membuat Pulung tergerak untuk mengeluakan modal.
Pertama, ia menyewa lahan yang cukup strategis di pinggir jalan seharga Rp180 juta untuk sepuluh tahun. Setelah melewati sejumlah proses, akhirnya ia diterima sebagai mitra Pertamina, melalui skema kerja sama paket Pertashop Gold.
“Biaya untuk moduler Pertashop Gold itu Rp250 juta. Itu yang paling murah. Estimasi balik modal 3-4 tahun. Awalnya terlihat memungkinkan, tapi sekarang mulai tidak yakin lagi,” katanya.
Pertamina memang menawarkan tiga jenis kemitraan Pertashop. Pertama paket gold sebesar Rp250 juta, paket platinum sebesar Rp400 juta, dan paket diamond seharga Rp500 juta. Itu belum termasuk biaya sewa lahan dan penataan area di awal.
Saat awal membuka usaha, rata-rata gerai Pertashop milik Pulung menghabiskan Pertamax sebanyak 1.000 liter. Hal itu mendatangkan optimisme yang cukup besar tentang masa depan usahanya.
“Saat harga Pertamax masih Rp9 ribu per liter laris manis. Kemudian, seiring kenaikan harga BBM, omzetnya mulai turun signifikan,” terang lelaki yang sehari-hari bekerja sebagai pemborong proyek bangunan ini.
Selain urusan, kenaikan harga BBM non-subsidi yang memengaruhi minat beli masyarakat di Pertashop, Pulung juga mengeluhkan seringnya losses saat proses pembongkaran BBM dari mobil tanki. Ada pula losses yang terjadi karena penguapan dari tangka penyimpanan meski jumlahnya tidak seberapa.
Beberapa bulan belakangan, dengan segala kondisi ini, ia mengaku hanya bisa menjual rata-rata maksimal 500 liter per hari. Hasil itu, jika sudah dipotong segala bentuk biaya operasional, Pulung mengaku hanya mengantongi untuk bersih Rp1-2 juta per bulan.
Alasan banyak Pertashop mulai mengalami penurunan
Ketua Himpunan Pertashop Merah Putih Indonesia (HPMPI) DIY, Satya Prapanca membenarkan kalau banyak mitra Pertamina yang mulai mengalami penurunan omzet. Bahkan beberapa gerai di DIY mulai tutup.
“Terakhir saya dapat laporan, di Gunungkidul misalnya, sudah ada empat yang memilih tutup,” jelasnya.
Satya yang juga mengelola dua gerai Pertashop juga mengalami penurunan tersebut. Bahkan ia sudah merencanakan untuk menutup sementara gerainya untuk mengurangi beban operasional yang ditanggung.
“Memang, harga Pertamax mulai agak menurun lagi. Tapi ini kebetulan jarak 4.5 kilometer dari tempat saya ada SPBU baru, jadi mungkin terpengaruh,” terangnya.
Satya menyoroti salah satu penyebab utama lesunya sejumlah usaha Pertashop disebabkan disparitas harga BBM subsidi dengan non-subsidi. Saat harga Pertamax masih di angka Rp9 ribu dan Pertalite Rp7.650, Pertashop masih banyak jadi pilihan.
Namun saat terjadi lonjakan harga Pertamax menjadi Rp14.500 per liter dan Pertalite Rp10.000 per liter, terjadi penurunan minat ke Pertashop yang cukup signifikan. Hal itu karena jarak kedua jenis BBM itu yang cukup jauh, sehingga sebagian pengguna Pertamax beralih ke Pertalite.
“Kemudian ketika Pertamax agak turun ke Rp13.900 lalu turun lagi ke Rp12.800 perilaku konsumen kok tetap sama. Lihatnya sudah semakin ke yang murah yakni Pertalite,” jelasnya.
Satya menyadari bahwa kenaikan harga BBM ini salah satunya disebabkan lonjakan minyak dunia akibat sejumlah konflik. Pertamina hanya berlaku sebagai operator dan harga ditentukan melalui kebijakan pemerintah.
“Tetapi, selanjutnya, bagaimana solusi konkrit dari pertamina? Sebab kami bermitranya ke Pertamina,” terangnya.
Urusan ini, ia melihat Pertamina sudah berupaya melakukan sejumlah langkah untuk membantu para pelaku usaha Pertashop. Salah satunya dengan menindak tegas sejumlah SPBU yang menjual BBM bersubsidi dengan jerigen ke pengecer. Hal itu sudah sejalan dengan Surat Edaran dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan yang melarang menjual BBM bersubdisi secara eceran.
“Tapi kita kan sesama UMKM ya. Mereka yang jual bensin eceran juga untuk bertahan hidup. Jadi itu urusan lain yang bukan ranah kami,” terangnya.