Friend with benefits (FWB) diartikan sebagai hubungan pertemanan dengan keintiman secara seksual, tetapi tidak ada komitmen hubungan jangka panjang. Banyak risiko yang mengintai, tapi rata-rata pelaku sulit berhenti.
***
Satu per satu pesan di DM Twitter ia buka. Profil demi profil pengirim pesan pun dilihat; mulai dari kalangan mahasiswa, remaja-remaja SMA, golongan pekerja, hingga akun-akun alter sama seperti dirinya. Para pengirim pesan memang dari beragam kalangan. Tapi isi pesan punya maksud serupa: mengajak kenalan, kencan, dan persetubuhan.
Della (bukan nama sebenarnya), adalah penerima pesan tersebut. Usianya baru saja menginjak kepala dua bulan kemarin. Ia juga masih tergolong “pemain baru” dalam relasi ini. Dalam pengakuannya, baru sekitar enam bulan ke belakang ia memulai safari asmara tanpa komitmen di dunia friend with benefits (FWB).
Usianya memang masih 20 tahun, jam terbangnya juga belum banyak. Namun, jangan salah, segala macam jenis lelaki pernah ia temui. Mulai dari yang tajir melintir, pria-pria mokondo, hingga lelaki-lelaki insomnia kesepian yang sedang butuh teman tidur, pernah tidur dengannya.
Mahasiswa angkatan 2020 salah satu kampus negeri di Jogja ini juga sesumbar, bahwa segala jenis dan kelas penginapan pernah ia susuri. Dari yang seharga Anggur Merah per malam, sampai yang bertarif setengah juta rupiah untuk sekali inap, pernah ia bikin berantakan spreinya.
“Penginapan mana di Jogja yang belum pernah aku inapi?” kelakarnya, sambil menghisap rokok mungil rasa mentol favoritnya. “Yang AC-nya nggak nyala aja pernah dapet. Ngaku doang hotel, tapi pakai kipas,” Della melepas tawa sambil mengumpat.
Alasan FWB yang nggak jelas
Siang itu, perempuan berambut sebahu ini mengaku, ada 16 pesan di DM-nya yang belum ia buka. Beberapa di antaranya sekilas dari “orang lama”, alias lelaki yang pernah sekali dua kali ia kencani. Sementara yang lain, adalah kenalan-kenalan baru—yang mungkin—mengenal Della lewat akun base @FWBESS. Ia memang cukup aktif mencari mutual di akun yang memiliki 240 ribu pengikut di Twitter ini.
“Pertama kenal cowok di sini [FWBESS] waktu bulan puasa kemarin,” ujarnya, mengingat-ingat kapan pertama ia memulai petualangan asmaranya tersebut. “Sat-set, siangnya DM-DM-an, malemnya check in,” sambungnya, sambil tertawa lepas memamerkan giginya yang berbehel.
Della mengaku tak tahu pasti apa motivasi awalnya mau masuk dunia FWB tersebut. Jika FWB dianggap karena gagalnya peran orang tua, ia malah berasal dari keluarga yang cenderung baik-baik saja. Ia juga beberapa kali pernah berpacaran ketika masih SMA. Sedangkan dalam lingkar pertemanan, Della mengaku juga tak memiliki masalah dengan kawan-kawan bermainnya.
“Aku lebih ke penasaran aja mungkin ya, gimana gitu rasanya having sex dengan orang lain yang bukan kekasih,” ujarnya.
Sampai saat ini, Della masih sering melakukan relasi ini. Biasanya, ketika sedang “mau”, ia akan mengunggah foto selfie-nya di kolom komentar @FWBESS, dengan menambahkan keterangan spesifik ajakan berkencan. Setelah foto diri ia posting, puluhan notifikasi pesan biasanya langsung menghujani DM-nya.
“Ya aku pilih-pilih dulu tentunya, mana yang sesuai tipeku. Nggak sembarangan aku milih,” katanya.
“Kalau aku tertarik, biasanya akan aku bales. Tidak berlanjut ke WA, biasanya kami terus kontekan lewat DM aja,” tukasnya sambil berlalu untuk memesan segelas es jeruk dan kentang goreng untuk menemani obrolan kami.
Sementara itu, kisah sedikit berbeda disampaikan Rehan (bukan nama sebenarnya). Pria 30 tahun yang bekerja sebagai humas salah satu kampus di Jogja ini, bisa dibilang aktor lama dalam semesta FWB. Sudah sejak masa kuliah, atau kurang lebih 10 tahun lalu, ia memulai petualangannya.
“Mungkin sebelum istilah FWB belum ada, aku udah FWB-an,” ujarnya diiringi tawa kecil.
“Dulu biasanya kenal partner FWB lewat Facebook, lebih ribet pokoknya dari yang sekarang,” imbuhnya.
Lebih dari satu dekade menjalani relasi ini, banyak perempuan telah ia kencani. Namun, Rehan mengaku memiliki kode etik tak tertulis: hanya mau berhubungan dengan partner yang berasal dari luar kota. Baginya, berhubungan dengan perempuan yang bukan se-kota, cenderung lebih aman. Dalam bahasanya: “lebih mudah untuk mengakhiri”.
“Jogja itu sempit. Ya kalau aku FWB-an sama yang se-kota, nongkrong ke manapun pasti ketemu-ketemu lagi,” ujarnya.
“Prinsip FWB kan jangan sampai timbul perasaan, ya kalau tiap hari ketemu pasti jatuhnya bakal sayang-sayang juga. Ini sekadar jaga-jaga aja.”
Kini, Rehan telah memiliki kekasih, yang ia temui bukan dari relasinya di FWB. Rahasia terbesarnya ini masih ia pendam—dan akan tetap dipendam. Meski sekarang masih sering curi-curi kesempatan berselancar di Twitter dan berkencan buta tanpa sepengetahuan kekasihnya, di hatinya yang terdalam ia ingin mengakhiri petualangannya tersebut.
“Pasti nanti bakal berhenti kok. Apalagi pas udah nikah.”
Filter yang mengecoh
Della terkesiap. Wajahnya memucat. Dari kejauhan, ia memperhatikan secara seksama lelaki yang memakai flanel bercorak hitam-merah, yang tengah duduk dan asyik dengan gawainya di sebuah coffe shop. Della jarang berdoa, bukan orang yang religius. Namun, saat itu mulutnya sibuk dengan komat-kamit mantra dan puja-puji Tuhan.
“Brengsek, ketipu filter!” ujarnya, mengulang ekspresi ketika pertama kali melihat lelaki yang sedari tadi ia perhatikan.
Saat itu, Della telah sepakat ketemuan dengan kenalan barunya, yang ia jumpai di @FWBESS. Ia bercerita bahwa lelaki itu benar-benar sesuai standarnya. Dalam bahasanya: ganteng maksimal.
Semalam suntuk ia dan kenalannya itu saling berbalas pesan di DM, bertukar foto selfie alias pap, dan merencanakan kencan untuk hari besok: ketemuan di mana, mau jalan ke mana aja, dan menginap di mana.
“Ambyar,” keluhnya mengumpat. Dengan geleng-geleng, “di Twitter fotonya cakep, eh pas ketemu kok nggak banget. Mana aku udah booking penginapan,” kekesalannya berlanjut.
Telanjur tidak enak karena lelaki tersebut juga melihatnya, Della pun terpaksa menemui kenalannya. Mereka pun mengobrol dengan topik mengalir, yang sore harinya berlanjut dengan nonton film di bioskop. Namun, Della yang memang kurang terkesan, mencari-cari alasan agar nantinya tidak perlu menginap bersama lelaki itu.
“Aku ngaku aja dapat kabar nenekku meninggal,” ujarnya tertawa.
“Nggak aku blokir, di Twitter juga masih follow-followan. Cuman emang nggak pernah DM-an lagi aja,” pungkasnya, saat ditanya kelanjutan hubungannya dengan lelaki tersebut.
Sementara pengalaman Rehan lebih ekstrim lagi. Ia mengaku pernah hampir digrebek ketika sedang mau esek-esek dengan pasangan FWB-nya. Rehan berkisah, waktu itu dirinya mengenal perempuan asal kota tetangga itu di Facebook. Mereka intens berhubungan selama beberapa hari sebelum akhirnya memutuskan untuk meet up.
Di malam hari, ketika sudah sama-sama sepakat memutuskan untuk check in, partnernya itu justru mengajak Rehan untuk menginap saja di indekos sang perempuan. Alasannya, menurut Rehan, kosnya bebas atau kos LV, bahkan si perempuan juga sering membawa mantan kekasihnya menginap di sana.
“Ternyata bukan LV. Itu kos putri biasa aja, yang kalau mau bawa cowok kudu sembunyi-sembunyi,” tuturnya.
Parahnya lagi, pada malam itu, kamar tetangga kos partnernya itu ada yang digrebek pemilik karena ketahuan membawa lelaki. Jantung Rehan pun berdetak kencang serasa mau pecah kala itu, apalagi ketika terdengar pemilik kos menuju kamar yang ia inapi.
“Untungnya ibu kos cuman ngetuk pintu sambil nasehatin partnerku buat nggak bawa laki-laki ke kos. Selama itu aku ngumpet aja di kamar mandi [kamar mandi dalam] sampai ibu kos pergi,” katanya, menyiratkan kelegaan.
“Nggak lagi deh. Paling bener emang cari penginapan aja. Kalau punya uang sekalian hotel yang rada mahalan,” tukasnya.
Risiko yang mengintai
Menjalin asmara instan dalam relasi FWB punya banyak risiko. Salah satunya adalah potensi kekerasan seksual yang dapat mengintai kapan saja. Memang, hingga tulisan ini dibuat, belum ada studi komprehensif yang membahas seberapa besar angka kekerasan seksual dalam relasi FWB. Kendati demikian, potensi ini bukan berarti nihil.
Rehan, misalnya, mengaku punya rekam jejak sebagai pelaku kekerasan seksual dalam FWB. Bahkan, menurutnya, perilaku-perilaku serupa sebagaimana yang ia lakukan, pasti juga dialami banyak orang.
“Aku merekam,” katanya, sedikit ragu. “Mungkin ini dosa terbesar yang pernah aku lakuin di FWB.”
Rehan mengaku, beberapa kali ia mendokumentasikan kegiatan seksualnya bersama partner FWB-nya. Beberapa ia lakukan dengan persetujuan. Namun, ada juga yang ia ambil dengan sedikit memanipulasi, memaksa, atau malah secara diam-diam tanpa sepengetahuan sang partner.
“Aku bilang aja buat kenang-kenangan. Memang banyak yang menolak [direkam]. Ya gila aja, siapa yang mau direkam waktu lagi enak-enak? Tapi ya dengan sedikit effort, seringnya tetep dapet aja [rekamannya],” tuturnya.
Dalam pengakuannya, Rehan bercerita bahwa rekaman-rekaman ini hanya untuk konsumsi pribadinya. Namun, ada kalanya memang beberapa teman dekatnya ia kasih unjuk video tersebut.
“Aku masih punya rekamannya!” katanya. “Tapi aku bersumpah, sekali pun nggak aku sebar ke medsos, ya cuman dilihat ke antar-teman aja.”
Apa yang dilakukan Rehan—dan mungkin beberapa pelaku FWB lain—adalah bukti bahwa dalam relasi FWB tersimpan bahaya yang mengintai. Kendati mengaku “tidak akan menyebarnya”, nyatanya kejahatan ini sangat sering terjadi di Indonesia. Umumnya, ini menimpa perempuan.
Komnas Perempuan, dalam Catatan Tahunan (Catahu) 2021 lalu menyebut, terdapat 510 laporan kasus Kekerasan Gender Berbasis Siber (KGBS) sepanjang 2020. Pola ini mungkin meningkat di tahun-tahun berikutnya, mengingat mulai terbukanya platform-platform laporan.
Dari 510 kasus yang dilaporkan, 71 di antaranya berbentuk revenge porn atau non-consensual phornography, yakni tindakan menyebar foto/video intim tanpa persetujuan dengan niat balas dendam, merusak, atau mempermalukan korban.
“Revenge porn hanya ditemui di ranah personal karena memang ada relasi personal antara pelaku dan korban,” tulis Komnas Perempuan dalam Catahu 2021.
Sementara itu, Della—yang punya posisi lebih rentan—memahami potensi kekerasan seksual yang bisa kapan saja ia alami dalam FWB. Meski selama ini ia mengaku belum pernah mengalaminya, dirinya tetap khawatir karena jika kekerasan seksual menimpanya, ia akan serasa makan buah simalakama.
“Kalau mau lapor ke siapa? Mau curhat juga nanti malah dikira lonte,” ujarnya.
“Amit-amit. Jangan sampai kena deh. Kalo sampai aku nemu videoku nyebar, mending aku minggat ke planet lain.”
Takut, tapi terlanjur basah
Selain kekerasan seksual, masalah lain yang mengintai dalam relasi FWB adalah penyakit kelamin. Sebagaimana disampaikan Project and Collaboration Medical Editor Alodokter, dr. Kevin Adrian Djantin, bahwa pelaku FWB—yang seringkali melibatkan hubungan seksual—berisiko terkena penyakit menular seksual (PMS). Dalam paparannya, ia menjelaskan bahwa risiko penyakit kelamin seperti sifilis, gonore, hepatitis B, bahkan HIV, sangat mungkin terjadi.
“Risiko semakin tinggi jika Anda atau pasangan sering berhubungan intim tanpa kondom atau berganti-ganti pasangan,” tegasnya.
Terkait risiko ini, Della sepenuhnya paham. Jujur, yang paling ia takuti adalah seandainya tiba-tiba dirinya divonis HIV. Ia mengaku masih memendam harapan besar laiknya orang lain di kemudian hari, seperti berkeluarga, memiliki anak, dan sebagainya. Namun, entah mengapa, ia merasa sulit untuk keluar dari lingkaran FWB ini.
“Pengen berhenti, dapat pacar seperti orang-orang normal. Tapi tiap kali ada dapat DM ajakan kencan, sulit untuk nolak,” katanya.
“Soal penyakit jelas takut, tapi gimana lagi kalau udah ‘terlanjur basah’, mati besok pun kita serasa gak peduli,” sambungnya, diiringi tawa yang khas.
Sementara Rehan, mengaku tipe yang sembarangan ketika pertama mengenal FWB. Sangat sering berganti pasangan, berhubungan seks tanpa kondom, adalah jalan ninjanya waktu itu. Namun, kini ia lebih menahan diri. Dirinya hanya mau berhubungan badan dengan partner FWB yang pernah ia kencani sebelumnya. Selain itu, ia juga lebih rutin memeriksa kesehatan reproduksinya.
“Apalagi kan aku mau nikah, mau hubungan yang serius. Gak lucu kan kalau pengalaman asmaraku mentok di mbak-mbak stranger?” ujarnya.
“Percuma aku mengasah ‘senjata’ kalau pas udah tajam malah penyakitan,” pungkasnya, sambil mematikan layar ponsel yang sekilas ber-wallpaper fotonya bersama sang kekasih.
Reporter: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono