Muhammadiyah itu cinta seni. Kalau ada kadernya nyinyir dengan pada kesenian, justru dipertanyakan Muhammadiyah-nya.
***
Mata Haedar Nashir berkaca-kaca. Tangannya tak lepas dari ponsel dan merekam dua orang wanita yang sedang bersenandung tembang keroncong di atas panggung Edutorium Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).
Betapa tidak mengharukan, dua sosok yang sedang menyanyikan lagu itu adalah perempuan hebat. Pertama Siti Noordjanah Djohantini, istri Haedar sekaligus Ketua Umum PP Aisyiah. Sedangkan satunya lagi, yang tak kalah membuat haru nakhkoda Muhammadiyah ini, adalah maestro keroncong Waldjinah.
Haedar terlihat betul-betul menikmati malam penuh senandung lagu dan alunan berbagai instrumen musik ini. Sehingga ketika ia harus naik panggung, ia memberikan beberapa kalimat yang tegas. Kendati memang pembawaan sosok ini begitu tenang saat berbicara.
Tak ada kata haram untuk seni kecuali menjauhkan dari Tuhan
Profesor di bidang sosiologi ini ambil bagian menyerahkan anugerah kebudayaan kepada tiga sosok yang dianggap maestro seni dari Surakarta. Ketiganya hadir dari tiga generasi yang berbeda tapi punya kesamaan dalam mengenalkan musik keroncong ke level yang berbeda dari sebelumnya.
Peraih penghargaan ini yakni almarhum Gesang Martohartono dan Didi Kempot yang diwakili keluarga dan Bu Waldjinah yang masih bisa datang langsung ke atas panggung. Meski sudah lanjut usia dan harus berkursi roda, kekhidmatan pencipta lagu Walang Kekek dan Lelo Ledung untuk musik keroncong tidak surut.
Selanjutnya, sosok istri Didi Kempot, Saputri mengenakan gamis berwarna hitam naik ke atas panggung untuk mewakili suaminya. Kepergian Godfather of Brokenheart pada 2020 silam memang mengagetkan banyak orang. Namun, karyanya terus terkenang hingga masa-masa mendatang.
“Penghargaan ini tidak seberapa dibanding karya dan kehikmatan ketiga tokoh seniman dan budayawan Indonesia ini,” ujar Haedar mengapresiasi saat di atas panggung.
Ia menegaskan bahwa organisasi Islam dengan amal usaha yang begitu besar ini tidaklah asing dengan seni budaya. Tidak ada kata haram untuk seni kecuali menjauhkan dari Allah SWT.
“Allah itu indah dan mencintai keindahan,” tegasnya.
Seni, bagi Haedar, dapat menumbuhkan kehalusan rasa dan hati. Sesuatu yang baginya perlu ada dalam setiap diri dari warga Muhammadiyah. Hal itu adalah bagian irfani dalam diri Muhammadiyah.
Momen penyerahan penghargaan itu dilangsungkan pada agenda Malam Mangayubagyo. Agenda ini menjadi tempat bertemu para peserta dan penggembira Muktamar dari seluruh Indonesia yang telah memenuhi Kota Surakarta. Bergembira usai sidang-sidang pleno krusial dan menentukan yang dijalani seharian.
Sejak awal, acara ini menyajikan beragam penampilan yang kental dengan nuansa musik lokal. Dibuka dengan grup band berawakkan sejumlah anggota Pemuda Muhammadiyah Jawa Tengah. Lalu dilanjut dengan penampilan dari orkes keroncong Swara Baskara. Orkes keroncong yang sudah mulai berkarya sejak 1994 itu mengaransemen lagu Sang Surya dan theme song Muktamar ke-48.
Seorang pengurus wilayah Aisyiah Jawa Tengah yang mungkin tidak banyak dikenal juga turut sumbang suara. Tak disangka, perempuan bernama Saudah itu merupakan penyanyi sekaligus pencipta lagu. Penampilan membawakan lagu ciptaannya yang berjudul Malioboro disambut meriah para penonton.
“Malioboro, soyo wengi soyo asik. Warung lesehan, warung kopi opo angkringan…,” tembangnya merdu.
Acara semakin seru ketika bocah kecil bernama Arda naik ke atas panggung. Ia menyanyikan mengcover beberapa lagu dengan merdu. Tak heran, ternyata bakat bocah asal Klaten ini dulu ditemukan oleh almarhum Didi Kempot.
Hiburan memasuki puncaknya saat Sabrang Mowo Damar Panuluh bersama grup band Letto naik ke atas panggung. Penampilan mereka kali ini berbeda karena ditemani grup Gamelan Gayam-16 dari Jogja. Menambah syahdu lantunan lirik bermakna dalam yang dibawakan Letto.
Saat hendak membawakan lagu Permintaan Hati, Sabrang mengajak Tantri Kotak untuk turut menyumbang suara. Para penggembira muktamar terlihat semakin gembira. Mulai dari yang muda sampai tua, terdengar menyanyi bersama.
“Ini lagu yang biasa ibu-ibu dengarkan di sinetron zaman dahulu,” kata Sabrang yang disambut tawa para penggembira.
Tantri juga sempat menyumbang satu lagu berjudul Manusia Manusiawi yang ia ciptakan sendiri. Sebelum akhirnya turun panggung karena akan tampil lagi pada pembukaan muktamar di Stadion Manahan keesokan harinya.
Semakin malam, suasana semakin syahdu. Hujan turun semakin deras di luar Editorium UMS. Sebagian besar penonton yang tidak bisa masuk ke dalam gedung disediakan tenda besar di luar untuk menikmati penampilan di layar lebar yang disediakan.
Letto menutup penampilan dengan membawakan Ruang Rindu. Di lagu terakhir ini, banyak penonton ikut berdiri. Titik-titik lampu senter dari ponsel para hadirin mewarnai gelapnya lampu Editorium. Satu dua hadirin yang sudah lanjut usia, meski awalnya terlihat ragu, akhirnya ikut mengangkat ponselnya setelah semakin banyak yang berlaku serupa.
Malam Mangayubagyo usai sekitar pukul setengah sebelas malam. Suasana hangat terasa saat para peserta keluar dari dalam gedung. Bertemu dan saling sapa dengan rekan jauh yang dipertemukan dalam agenda lima tahunan ini.
Nuansa seni dan budaya dalam Muktamar
Nuansa seni dan budaya terasa kental dalam gelaran muktamar kali ini. Namun hal serupa sebenarnya bukan hal baru, meski kadang tidak disadari oleh banyak orang.
Sosok yang menjadi penanggung jawab dari sesi Malam Mangayubagyo, Wahyudi Nasution menjelaskan bahwa muktamar selalu punya sisi kesenian yang ditonjolkan. Keroncong ditonjolkan pada gelaran kali ini lantaran Surakarta memang dikenal rumahnya para musisi keroncong legendaris.
Namun ia ingat, dahulu pada Muktamar ke-49 1990 di Yogyakarta, Emha Ainun Nadjib diberi amanah oleh PP Aisyiah untuk menggelar sebuah pementasan teater bertajuk Keluarga Sakinah. Pementasan itu menggandeng sejumlah nama-nama besar di kancah teater Jogja seperti sutradara Agung Waskito.
Saat itu, arena muktamar juga diwarnai banyak lukisan dari para perupa Jogja. Hal itu, menurut Wahyudi, jadi bukti bahwa musyawarah besar organisasi ini selalu kental dengan nuansa seni dan budaya.
“Jadi salah kalau orang mestigma Muhammadiyah anti-kesenian. Muhammadiyah itu dekat dengan seni dan budaya,” ujar lelaki yang pernah terlibat dalam pementasan bertajuk Jogja Lautan Hijab yang fenomenal tahun 1988 silam.
“Berlaku juga, kalau orang Muhammadiyah nyinyir dengan pada kesenian justru dipertanyakan Muhammadiyah-nya,” sambungnya.
Wahyudi mengenang bahwa dulu, budayawan Kuntowijoyo pernah menggagas Majelis Kebudayaan di Muhammadiyah. Hal itu menunjukkan bahwa Muhammadiyah selalu punya perhatian besar terhadapnya. Saat ini, wacara untuk mengembangkan status Lembaga Seni Budaya dan Olahraga (LSBO) Muhammadiyah menjadi Majelis Kebudayaan juga mencuat lagi.
Banyak seniman dan budayawan besar yang lahir dari lingkungan Muhammadiyah. Mulai dari Buya Hamka, Muhammad Diponegoro, Kuntowijoyo, Amri Yahya, Arifin C Noer, hingga Emha Ainun Nadjib.
Selain nama-nama besar tersebut, banyak orang Muhammadiyah di daerah yang berkhidmat dalam ranah seni, namun jarang mendapatkan sorotan. Buat, Wahyudi, Muktamar memang semestinya jadi ajang untuk mewadahi hal-hal itu. Supaya aktivitas kesenian Muhammadiyah lebih dikenal luas.
“Banyak orang Muhammadiyah yang hebat dan pencipta karya seni. Itulah yang ingin ditunjukkan dalam Malam Mangayubagyo. Bukan anti kesenian tapi justru sangat perhatian pada seni dan budaya,” pungkasnya.
Muktamar Muhammadiyah ke-48 berlangsung pada 18-20 November 2022. Hari pertama diwarnai sidang tanwir dan ditutup dengan Malam Mangayubagyo. Hari kedua pembukaan resmi di Stadion Manahan serta beberapa sidang muktamar. Hari ketiga merupakan penentuan sosok ketua umum terpilih yang akan menakhkodai Muhammadiyah lima tahun ke depan.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono