Dulu menu utama di warung burjo dan warmindo tidak lain adalah bubur kacang hijau dan Indomie. Kini mencari bubur kacang hijau di warung-warung tersebut tidak mudah. Meski ada embel-embel “burjo”, belum tentu warung tersebut menyediakan menu itu.
Mojok mengungkap, mengapa bubur kayang hijau menghilang di warung burjo dan warmindo di Yogyakarta.
***
Pada sebuah malam Minggu yang agak kesepian, saya memutuskan untuk keluar kos dan berkunjung ke sebuah warung bernama “Burjoan Babarengan”. Warung yang dari namanya saja sudah menandakan corak “Sunda” ini terletak di Condongcatur, Sleman.
Malam ini saya ingin menyantap seporsi bubur kacang hijau, sesuai dengan nama warung ini. Di Jogja, dulu warung-warung yang pengelolanya para perantau dari Kuningan ini memang populer dengan sebutan burjoan. Namun, belakangan nama warmindo alias warung makan indomie lebih melekat padanya.
Saya pun memasuki warung ini, menyapa Aa yang dari penampakannya masih tergolong muda. Lelaki yang mengenakan lekton biru ini dengan segera menanyakan pesanan saya.
Namun, saat saya memesan seporsi bubur kacang hijau, raut wajahnya tiba-tiba berubah. “Waduh Mas, sini nggak jualan burjo,” ujarnya dengan nada sedikit menyesal. Ia lalu memberi tahu beberapa warung serupa terdekat yang masih menjual bubur kacang hijau.
Meski punya nama burjoan yang artinya tempat makan bubur kacang hijau, warung ini ternyata tidak menyediakan menu tersebut. Saya akhirnya memesan minum, sembari mengajak Aa bernama Ari (25) ini berbincang.
Seperti banyak saudara dan keluarganya, sejak remaja Ari sudah merantau dari Kuningan untuk berniaga. Pada 2014, Ari baru saja menyelesaikan jenjang sekolah menengah pertama, saat memutuskan hijrah ke Jogja untuk menjaga warung ini.
“Sejak mulai bantu mengelola warung ini memang sudah tidak jualan burjo,” terangnya.
Kendati tidak menyediakan menu bubur tersebut, warung ini tetap mendapat label warung burjo lantaran aspek historisnya. Pada awal perkembangannya di Jogja, warung semacam ini memang hanya menjual dua menu makanan yakni mie instan Indomie dan bubur kacang hijau.
Pelanggan mahasiswa kurang berminat pada bubur kacang hijau
Sambil mengisap rokoknya, Ari menjelaskan kalau salah satu alasan bubur kacang hijau mulai ditiadakan adalah peminatnya yang berkurang. Di tempat warung burjo berkembang pesat seperti Jogja, Solo, dan Semarang, pasar utama usaha ini adalah kalangan pelajar dan mahasiswa.
“Sedangkan mereka itu kan banyak yang dana terbatas, makan penginnya yang kenyang sekalian. Jadi lebih memilih nasi dan lauk,” terang Ari.
“Ya dengar dari kerabat dan saudara di Solo dan Semarang yang usaha ini juga, buburnya memang pada mulai hilang,” sambungnya.
Hal itu membuat warung burjo atau warmindo mengeksplorasi beragam menu-menu makanan berat. Mie instan tetap dipertahankan karena peminatnya pun masih banyak. Menu lauk pendamping nasi seperti telur, ayam, ati, ikan pindang, hingga lele jamak ditemui di warmindo. Ditambah lagi beberapa jenis sayur serta oseng tempe dan mie.
Warung burjo memang menyediakan tempat yang cukup luas, sehingga selain untuk memenuhi kebutuhan pangan, bisa jadi pilihan para mahasiswa untuk nongkrong. Malam Minggu ini, pelanggan di warung Ari juga didominasi para mahasiswa yang memesan minum sambil berbincang hangat dan bermain gim di ponselnya.
Setelah berbincang singkat dengan Ari, saya jadi penasaran dan melanjutkan pencarian bubur kacang hijau di warung serupa lain. Ari berkata bahwa di Jalan Kaliurang, Sleman masih cukup banyak warmindo yang menjual bubur.
“Mungkin karena di daerah atas agak dingin, jadi pada banyak yang cari hangat-hangat kaya burjo,” ujarnya tersenyum.
Sebelum saya melenggang jauh ke utara, saya coba mencari ke beberapa tempat terdekat. Pencarian ini akhirnya membawa saya ke Warmindo Kabita di Jalan Perumnas, Sleman.
Awalnya saya cukup ragu. Hal itu dikarenakan warung ini tidak berlabel burjoan seperti tempat Ari. Selain itu, menu lauk pauk pendamping nasi di sini pun jauh lebih beragam. Tidak ada tanda-tanda keberadaan bubur kacang hijau.
Namun, keraguan itu terbantahkan tatkala penjaga warmindo ini mengonfirmasi keberadaan bubur yang saya cari. “Ada… mau yang panas atau es?” ujarnya, seolah menenangkan raut ragu di wajah saat saya bertanya.
Ciri khas bubur kacang hijau di warmindo
Setelah bubur kacang hijau hangat saya pesan, Maman menjelaskan bahwa memang tidak begitu banyak warmindo yang masih menjual menu satu ini. Peminatnya tidak banyak, selain itu proses memasaknya juga lama dan lebih ribet.
“Ya, banyak juga yang anak baru tidak pintar buatnya,” terang lelaki yang mengaku sudah belajar membuat bubur kacang hijau sejak 1982. Sebelum ke Jogja, ia pernah ikut berdagang di Bogor dan Lampung.
Selain warmindo semacam ini, di Jogja ada pula pedagang Madura yang identik dengan bubur kacang hijaunya. Biasanya mereka berjualan menggunakan tenda berwarna kuning yang mudah dijumpai di pinggiran jalan.
Namun, keduanya punya sedikit perbedaan dalam ciri khas buburnya. Warmindo memiliki terkstur kacang hijau dan ketan hitam yang lebih lembut sedangkan pedagang Madura lebih keras teksturnya.
Jika memesan es bubur kacang di Warmindo, biasanya juga tidak menggunakan sirup seperti es bubur kacang hijau di pedagang Madura. “Kalau yang Kuningan biasanya pakai susu saja, kadang ada juga yang pakai keju,” paparnya.
Maman menjelaskan, warmindo yang masih berjualan bubur kacang hijau hampir semua pengelolanya orang Kuningan asli. Belakangan memang sudah banyak berkembang warmindo yang pengelolanya bukan perantau dari kabupaten di sisi timur Majalengka ini.
Berbeda dengan di Jogja, warung-warung serupa di Jabodetabek mayoritas masih menjadikan bubur kacang hijau sebagai andalan. Alih-alih burjoan atau warmindo, di sana orang menyebut warung milik orang Kuningan ini warkop alias warung kopi.
“Kalau di Jakarta dan sekitarnya memang mayoritas masih jual burjo. Nggak ada nasi dengan macam-macam lauk seperti ini. Adanya Indomie, burjo, dan kadang roti bakar. Bahkan dulu pas di Lampung, dagangan saya ada miso-nya. Memang beda-beda menyesuaikan daerah,” terangnya.
Burjo untuk merawat sejarah orang Kuningan
Kendati sudah tidak begitu banyak permintaan, sebagian warmindo di Jogja masih mempertahankan keberadaan bubur kacang hijau. Hal ini sebagai upaya merawat sejarah orang Kuningan yang sudah merantau untuk menjual menu satu ini sejak puluhan tahun silam.
Sejarah perantau asal Kuningan berdagang bubur kacang hijau konon sudah berawal sejak era 40-an silam. Melansir Kompas.com, salah satu pedagang pemrakarsa usaha ini bernama Rurah Salim.
Pada 1943, Rurah merantau ke Jogja dan menjual burjo dengan cara dipanggul berkeliling. Berjalannya waktu, ketika para pedagang mulai membuka lapak hingga akhirnya menu itu hilang, nama burjo tetap melekat. Terutama bagi generasi lama yang sempat mencicipi hangat dan dinginnya bubur ini saat disantap sembari mendengar suara orang bercakap dengan dialek Sunda di dapur.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono