Mojok menelusuri sejarah takjil yang konon berawal dari Kampung Kauman, Jogja. Tradisi yang sudah berlangsung lintas generasi dengan menu gulai kambing yang khas dan menyimpan kisah unik.
***
Sore hari sekitar pukul setengah lima jemaah mulai berduyun-duyun mendatangi Masjid Gedhe Kauman. Mereka yang baru datang langsung duduk di ubin berwarna kuning, berlindung dari terik sore Jogja yang masih cukup menyengat.
Di bagian depan masjid, Triono (72) dan Bambang (70) duduk bersandar pada tiang masjid. Wajah mereka tampak lelah dengan bibir yang sudah kering. Mereka berdua baru saja usai menata bungkus-bungkus menu berbuka yang untuk para jemaah yang datang.
“Hari ini menunya gulai ayam,” kata Triono.
Triono yang merupakan warga Kauman mengaku belum lama ikut membantu mengurus beragam keperluan di Masjid Gedhe. “Ya baru sejak tahun 1979,” ujarnya sambil terkekeh. Waktu 43 tahun bagi kebanyakan orang tentu bukan waktu yang sebentar.
Tradisi menghadirkan takjil bagi para jemaah memang sudah lama berlangsung di masjid Kraton Jogja ini. Triono sejak kecil sudah menyaksikan tradisi tersebut. Meski sudah ada beberapa perbedaan dalam penyajiannya.
“Dulu itu warga yang masak di dapur masjid,” sahut Bambang.
“Saya kalau masak nasi dulu dari jam 10 pagi,” imbuhnya.
Ia ingat betul, dulu para warga bergotong-royok memasak menu takjil menggunakan api berbahan kayu bakar. Penyajiannya pun khas dengan wadah piring dari seng.
Saat ini setiap hari di bulan Ramadan, Masjid Gedhe menyediakan takjil sebanyak 1.500-2.000 porsi. Dulu, seingat dua lelaki ini, jumlahnya tidak sebanyak itu. Namun, suasananya tetap khidmat dan semarak.
Pada masa mereka berdua remaja, belum banyak masjid-masjid di Jogja yang menyediakan takjil dengan jumlah banyak. Sehingga, keberadaan menu berbuka gratis di Masjid Gedhe jadi buruan banyak orang. Terlebih, menunya memang cukup beragam.
Sejarah takjil pertama di Indonesia
Di Jogja, Masjid Gedhe memang termasuk pionir tradisi menghadirkan menu untuk menyegerakan berbuka. Masjid ini memang tergolong tua, didirikan pada hari Ahad Wage 29 Mei 1773 Masehi. Salah satu masjid tertua di Jogja.
Istilah takjil berasal dari penggalan hadis tentang keutamakan menyegerakan berbuka saat puasa. Takjil asal katanya Ajjalu atau ajjala–yu’ajjilu–ta’jilan yang artinya ‘momentum’, ‘tergesa-gesa’, ‘menyegerakan’, atau ‘mempercepat’. Sedangkan pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) takjil memiliki makna makanan untuk berbuka puasa yang disegerakan.
Di Indonesia, beberapa catatan menyebut budaya takjil sudah ditemukan di beberapa daerah pada abad kesembilan belas. Salah satunya dari catatan De Atjehers oleh Snouck Hurgonje yang menyebut masyarakat lokal Aceh antara 1891-1892 telah mengadakan buka bersama di masjid. Saat itu, para jemaah menyantap menu bubur pedas.
Melansir dari Muhammadiyah.or.id, Profesor Munir Mulkhan dalam bukunya yang berjudul Kiai Ahmad Dahlan – Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan, menyebut bahwa sejarah takjil populer pertama kali berawal dari Kampung Kauman Yogyakarta, sekitar Masjid Gedhe.
Menurut catatan Munir, Muhammadiyah yang besar di Kauman menguatkan tradisi takjil sesuai prinsip mengakhirkan sahur menjelang subuh dan menyegerakan berbuka saat magrib.
Sumber lain dalam artikel “Merayakan Budaya, Berpuasa Gembira” pada majalah Suara Muhammadiyah menyebut sejarah takjil bermula di Kauman sejak 1950-an. Tradisi ini menjadi cara menarik minat masyarakat untuk datang ke masjid dan menyemarakkan Ramadan.
Namun, anggota takmir Masjid Gedhe Kauman, Budi Setiawan, menilai bahwa tradisi di Masjid Gedhe Kauman sebenarnya sudah bermula jauh lama dari itu. Budi yang juga tokoh masyarakat Kampung Kauman menganggap kebiasaan berbuka bersama di masjid kemungkinan sudah ada sebelum Muhammadiyah berkembang.
“Tahunnya tidak tahu pasti. Namun, perkiraan saya sudah lebih lama lagi tradisinya. Tapi saya percaya itu sudah sejak masa awal Keraton punya Masjid Gedhe,” paparnya saat Mojok temui.
Berkah dari gulai kambing
Berdasarkan cerita turun temurun di Kampung Kauman, sejarah takjil bermula dari pemberian Keraton Jogja pada abdi dalem yang bertugas di Masjid Gedhe. Pada bulan Ramadan, abdi dalem yang sedang caos (piket) sore mendapat makanan untuk berbuka.
Menurut Budi, pada waktu lainnya, termasuk di luar Ramadan, abdi dalem memang tidak mendapat jatah seperti itu. Alhasil hal tersebut menjadi sesuatu yang istimewa.
“Selain itu orang memandang sesuatu dari Keraton itu kan sesuatu yang istimewa. Akhirnya orang-orang pada datang dan ingin ikut menyantap,” paparnya.
Budi menilai bahwa takjil semakin populer saat masjid sudah mulai mengorganisir tradisi tersebut. Seiring dengan kemunculan organisasi Muhammadiyah, kebiasaan tersebut pun semakin diperkuat.
Jumlah makanan yang terbatas akhirnya membuat masjid menginisiasi untuk membuat masakan sendiri. Menyediakan lebih banyak untuk jemaah yang hadir.
Namun, menyediakan makanan dengan jumlah banyak membutuhkan dana yang tak sedikit. Pada momen tertentu, kebetulan ada orang yang sedang menjalankan akikah untuk anaknya. Daging kambing akikah tersebut lantas banyak disalurkan melalui masjid.
“Untuk harinya, kalau aqiqah kan cari yang baik. Dipilih hari Kamis atau malam Jumat,” terangnya.
Tradisi menu gulai kambing pada hari Kamis pun berlanjut hingga saat ini. Saat tidak ada orang yang akiqah maka masjid mengeluarkan dana untuk membeli daging kambing sendiri bagi para jemaah.
“Setiap menunya gulai kambing itu pasti porsinya bertambah. Memang itu menu spesial yang banyak jemaah sukai,” ujar lelaki yang sudah sejak 1980-an menjadi anggota takmir Masjid Gedhe ini.
“Banyak yang dulu mahasiswa ngekos di sekitar Kauman suka sekali gulainya. Setelah lulus masih sering kemari. Bukan lagi untuk sekadar makan, tapi ya nyumbang juga,” imbuhnya.
Gulai kambing ini sudah jadi identitas yang melekat pada tradisi takjil di Masjid Gedhe Kauman. Seperti menu lainnya, dahulu yang memasak gulai kambing adalah para pengurus masjid, tapi belakangan sudah pesan lewat katering miliki warga sekitar.
“Supaya lebih praktis juga,” kata Budi yang juga menjabat sebagai Ketua Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC).
Tradisi Ramadan di Kauman Jogja
Geliat Ramadan tak hanya terasa di masjid tapi juga menyalur di sudut-sudut gang Kampung Kauman. Salah satunya dengan keberadaan pasar sore yang menyediakan aneka menu berbuka puasa.
Pintu masuk pasar sore terletak di sisi utara Kauman, tepatnya di tepi Jalan Ahmad Dahlan. Di gang sempit puluhan pedagang berdesakan dengan para pembeli yang ramai setiap hari selama Ramadan. Tahun 2023 ini untuk kali pertama pasar ini kembali buka setelah tiga tahun tutup karena pandemi.
Di sepanjang gang, pedagang yang berjualan kebanyakan warga setempat. Namun, ada juga yang berasal dari luar kampung. Saat berkunjung ke sana saya membeli seporsi nasi biryani dari penjual keturunan India asli.
“Kalau sejarahnya, pasar sore itu berawal sekitar tahun 1990-an,” jelas Budi.
Salah satu penjual paling legendaris di sana bernama Mbah Wono. Ia menjajakan menu ramesan hingga gorengan. Masakan Mbah Wono disebut miroso atau membekas di lidah para pelanggan. Sehingga orang rela antre untuk membelinya.
Larisnya dagangan Mbah Wono saat Ramadan membuat banyak pedagang lain ingin turut menjajal peruntungan. Sehingga akhirnya, pasar dengan puluhan pedagang pun muncul.
“Akhirnya pihak RW melakukan penataan. Kalau tidak begitu, sangat semrawut karena gang kecil dan pedagangnya terlalu banyak,” kata Budi.
Bagi Budi, pasar sore di masa Ramadan tak bisa terbangun dan bertahan tanpa dukungan tradisi menyemarakkan Bulan Suci yang kuat. Kauman memang penuh hiruk-pikuk saat Ramadan. Sebuah ciri khas yang melekat sebagai Kampung Muslim.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Menjajal Tiga Kuliner Kambing Khas Jogja, Bumbu Sederhana yang Bersaing dengan Solo dan tulisan lainnya di kanal Liputan.