Selama 40 tahun, Sriyati setia menjual bensin eceran untuk menyambung hidup keluarganya. Di usianya yang lanjut usia, ia memilih kos daripada menyusahkan hidup anak-anaknya.
***
Di pinggir Jalan Patangpuluhan, Wirobrajan, Kota Yogyakarta, seorang nenek duduk termenung menatap ramainya jalan. Di depannya ada deretan botol kaca berisi cairan berwarna kebiruan. Dalam diamnya, ia berharap satu dua pemotor berhenti untuk membeli bensin yang ia jajakan itu.
Saat banyak pedagang bensin eceran mulai memanfaatkan mesin modern yang kerap disebut pom mini, masih ada sebagian yang bertahan dengan cara tradisional. Mereka yang tak punya banyak modal dan juga lahan untuk punya pom mini atau bahkan Pertashop memilih untuk menjual bensin eceran dengan cara sederhana. Menggunakan wadah botol kaca. Salah satunya adalah nenek bernama Sriyati (64) ini.
Sudah lama saya menjadi saksi perempuan lansia ini menjajakan bensin di Jalan Patangpuluhan. Saat pertama menginjakkan kaki di Jogja, 2011 silam, saya melihat Sri sudah mangkal di trotoar depan salah satu bangunan milik Madrasah Muallimin Muhammadiyah.
Ternyata, waktu berjalan, sampai sekarang ia masih bertahan di tempat itu. Pada sebuah siang, Selasa (7/2), saya berbincang sambil menemaninya menunggu pembeli yang datang.
Sudah sekitar 40 tahun berjualan bensin eceran
Saat saya hampiri, senyum Sri merekah. Menampakkan dua gigi depan yang tersisa di gusinya. Lalu mempersilahkan saya duduk di sebuah bangku sederhana.
“Aku di sini setiap hari dari jam lima pagi. Nanti pulang sekitar jam satu siang,” terangnya. Ia mulai berjualan saat fajar baru menyingsing, berharap banyak pekerja yang tergesa menuju kantor mampir membeli bensin.
Rutinitas itu telah ia lakoni puluhan tahun. Perempuan asal Klaten ini mengaku sudah sekitar 40 tahun mengadu nasib di Jogja. Awalnya, bersama sang suami, ia menjadi karyawan di sebuah toko yang terletak di Sonosewu, Kasihan, Bantul. Toko milik orang Tionghoa.
Berkat kebaikan hati sang majikan, Sri dan suami akhirnya bisa membuka usaha. Dulunya mereka menempati sebuah lapak tepat di sisi simpang empat Jalan Patangpuluhan. Di seberang gedung Bank Jogja.
“Dulu kami dikasih modal sama majikan. Dia nyuruh kami buka usaha. Suami saya buka bengkel kecil lalu saya menjual bensin,” kenangnya jauh ke belakang.
Usaha kecil itu, mampu membuat keluarga kecil mereka menyambung hidup dari hari ke hari. Menyewa rumah kontrakan dan menghidupi dua anak mereka.
Tapi di sela waktunya berjualan, Sri menambah penghasilan dengan menjadi buruh cuci di tempat beberapa orang. Hal itu ia lakoni demi menutup kebutuhan belanja rumah yang kadang belum terpenuhi dari usaha suami dan jualan bensinnya.
Pada 2010, sang suami meninggal. Anak mereka pun sudah besar dan tinggal dengan keluarga masing-masing. Sri memilih untuk tinggal menyewa kamar seharga Rp350 ribu per bulan seorang diri.
“Yo aku saiki opo-opo dewe. Sak kuate, sak tekane,” ujarnya tegar.
“Ya namanya anak sudah besar ya sama keluarganya. Saya mau ikut, tapi kadang tidak cocok sama menantu. Jadi lebih pilih hidup sendiri saja,” sambungnya.
Sejak saat itu pula, dagangannya pindah seratus meter ke barat. Di tempat yang saat ini ia tempati. Tepatnya di depan Toko Roti 1918 Mualimin. Saat siang, teduhnya pepohonan di sepanjang trotoar dapat menghindarkan Sri dari terik matahari.
Taat aturan berjualan Pertamax
Di usia senjanya, Sri memilih tetap menjadi penjual bensin eceran. Ia tak punya banyak pilihan lagi. Kendati kini, hasilnya berjualan tak sebanyak dulu.
“Sejak ganti jualan Pertamax setahunan lalu, sehari paling banyak ya terjual 20 liter. Segitu sudah alhamdulillah,” terangnya.
Dulu, saat belum beralih jualan BBM non-subsidi, Sri mengaku bisa menjual 30-40 liter per hari. Saat larangan penjualan BBM diperketat, ia hanya punya pilihan untuk berjualan Pertamax. Untuk kulakan di SPBU terdekat pun, ia biasanya dibantu oleh seorang saudara. Lantaran ia hanya punya sepeda tua peninggalan suaminya.
Per liter Pertamax Sri hargai Rp15 ribu per liter. Saat ini, harga Pertamax di penyalur BBM resmi Pertamina berada di angka Rp12.800. Margin itu yang diandalkan Sri untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
“Selain di botol, itu ada sekitar 10 liter di jerigen yang nyantol di sepeda,” terangnya sambil menunjuk sepeda yang tersandar di pagar, menerangkan stok Pertamax yang ia punya. Sehari ini baru terjual sekitar sepuluh liter. Waktu hampir menunjukkan pukul satu siang, sebentar lagi Sri akan beranjak pulang.
Larangan menjual BBM subsidi berbarengan dengan kenaikan harga Pertamax yang cukup signifikan, menurut Sri jadi alasan utama penjualannya berkurang drastis. Orang jadi memilih mengantre panjang di SPBU untuk mendapatkan Pertalite yang kini harganya Rp10 ribu per liter.
Ia mengaku, mengetahui masih banyak pedagang yang bisa mencari celah menjual Pertalite. Tapi ia mengaku lebih tenang berjualan barang yang tidak dilarang. Meski pendapatannya jadi tidak terlalu besar.
“Ya masih ada banyak memang yang jualan Pertalite eceran. Tapi ya sudah saya sih tidak mempermasalahkan itu. Wong due pilihane masing-masing,” terangnya.
Seringkali ada pemotor yang berhenti lalu bertanya, “Ini Pertalite atau Pertamax njih Bu?” Meski berharap Pertalite, mereka akhirnya tetap membelinya. Ketimbang harus kehabisan bensin di jalan.