Kisah Loper Koran, Terus Bertahan Demi Sesuap Nasi Meski Sepi Pembeli

Ilustrasi Kisah Loper Koran, Terus Bertahan Demi Sesuap Nasi Meski Sepi Pembeli. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Meski semakin jarang, keberadaan loper koran masih terlihat di beberapa sudut jalan. Mereka terus bertahan di masa surut media cetak. 

Mojok bertemu dengan sejumlah penjaja koran di jalan untuk menggali cerita mereka. Kondisi terkini yang mereka alami dan alasan-alasan untuk tetap bertahan pada situasi yang serba tak pasti.

***

Turun hujan di pagi hari adalah derita bagi para loper koran. Pagi adalah waktu paling ideal untuk menjajakan kabar terbaru yang termuat di media cetak untuk para pengendara yang berhenti di lampu merah. Tapi cuaca memang kadang tak sesuai harapan.

Buat Dawan (34), Kamis (2/3) bukan hari yang menyenangkan. Hujan deras turun sejak sekitar tujuh, tepat saat simpang empat Ring Road Condongcatur, Sleman sedang ramai oleh pengendara yang hendak berangkat kerja.

Tetapi lelaki asal Muntilan ini tak patah arang. Payung dibentangkan dan plastik ia sarungkan ke setumpuk koran yang siap untuk dijual. Di tengah guyuran air, ia menghampiri satu per satu kendaraan yang sedang berhenti karena lampu merah.

Sayang, hujan membuat pengendara sulit menaruh perhatian pada para loper koran ini. Mobil enggan membuka kacanya. Apalagi para pengendara motor, terlampau sulit untuk bertransaksi secarik kertas yang begitu rentan terkena basah.

Saat saya datang sekitar pukul sembilan pagi untuk membeli selembar Harian Kompas. Dawan mematok harga sebesar Rp7 ribu. 

“Ini koran pertama yang laku hari ini,” ujarnya saat kami duduk berbincang di emperan toko.

Pekerjaan menjanjikan pada masanya

Lelaki ini sudah berjualan koran sejak usianya masih remaja. “Sejak usia 15 tahun saya sudah jualan koran di sini,” katanya. Saat itu, ia mendapat tawaran oleh seorang teman. Putus sekolah membuatnya merasa perlu segera mendapat pendapatan sendiri.

Saat awal berjualan, medio 2004-2005, meski internet dan media online mulai tumbuh, tapi media cetak masih punya harapan. Di Jogja misalnya, salah satu koran besar yakni Harian Jogja, baru lahir pada 2008. Media ini lahir 20 Mei bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional. Tahun 2011, Tribun Jogja terbit pertama kalinya. Artinya koran saat itu masih jadi daya tarik bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi terbaru.

Jelang 2010-an, menurut Dawan, ia masih bisa menjual puluhan koran setiap hari. Bahkan sampai seratus eksemplar saat sedang ramai atau ada informasi menarik yang termuat di surat kabar.

“Kalau dulu, sehari dapat untung bersih seratus ribu itu sudah biasa. Sekarang agak ngenes,” curhatnya.

Dawan ditemui Mojok saat jualan koran di perempatan Condongcatur. MOJOK.CO
Dawan ditemui Mojok saat jualan koran di perempatan Condongcatur, . (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Saat itu, menurutnya koran paling laris adalah Kedaulatan Rakyat (KR). Per hari ia bisa menjual lebih dari 20 eksemplar koran paling legendaris di Jogja ini. Beberapa surat kabar lain yang menurutnya laris adalah Harian Kompas dan Jawa Pos.

Pada masa kejayaan surat kabar, para loper koran ini pun kerap mendapat beberapa bantuan dari media. Mulai dari seragam bahkan bingkisan atau tunjangan saat hari raya.

Pendapatan loper koran

Namun, era itu sudah lewat. Menurut Dawan, sejak 2014, perlahan tapi pasti penjualannya menurun. Saat ini mendapat Rp30 ribu sampai Rp40 ribu dari penjualan koran per hari sudah terhitung bagus menurutnya.

Ia menjelaskan kalau keuntungan dari setiap koran berbeda-beda. Semakin murah harga jual koran, keuntungan yang ia dapat juga semakin sedikit. 

“Tribun Jogja itu koran paling murah. Harganya dua ribu. Keuntungan saya hanya Rp600 per eksemplarnya,” terangnya.

Ia lalu menjelaskan keuntungan penjualan beberapa surat kabar lain. KR misalnya, keuntungannya Rp1.500 per lembar, Harian Kompas juga sama. Paling menguntungkan menurutnya dari Jawa Pos, ia bisa mendapat Rp2.000 jika berhasil menjual per eksemplar. Namun, Jawa Pos di Jogja menurutnya punya sedikit peminat.

Sudah belasan tahun Dawan melakoni pekerjaan ini. Penghasilan semakin surut, tapi ia mengaku masih ingin bertahan. Alasannya, lelaki ini belum terpikir pekerjaan lain yang bisa ia lakukan.

“Kalau koran kan modalnya cuma awak sehat saja. Saya ambil di agen pagi hari, lalu jual, yang nggak laku saya kembalikan,” terangnya. Setiap pagi, sekitar pukul 6.30 ia mengambil beberapa barang jualan di agen terdekat sebelum mangkal di simpang empat.

Bertahan jadi loper koran meski tak lagi menjanjikan

Di sisi lain simpang empat Condongcatur, tepatnya di sisi selatan, seorang perempuan tampak menghampiri satu per satu kendaraan dengan langkah gontai. Rompi kuning berlogo salah satu surat kabar melekat di tubuhnya. Topi yang dibalut jilbab juga sedikit melindungi kepalanya dari panas.

Loper koran itu bernama Sutinah (62). Ia berasal dari Muntilan, Magelang, tapi sudah lama tinggal di sebuah kos sederhana yang terletak di selatan Pakuwon Mall. Sejak 13 tahun silam, ia sudah berjualan koran di titik tersebut.

Berbeda dengan Dawan yang usianya masih produktif untuk bekerja, tubuh renta membuat Sutinah hanya bisa mengandalkan dagangan ini. Suaminya telah meninggal. Ia punya lima anak yang meski sudah besar bahkan berkeluarga,  tapi belum begitu mampu untuk membantu menutupi kehidupan orang tuanya.

“Ya saya tinggal bareng salah satu anak saya yang jadi pegawai mall di situ. Ngekos bareng,” tuturnya.

“Orang kecil kaya saya kalau nggak kerja sendiri ya nggak bisa makan,” paparnya. Hal itu, membuatnya mencoba terus bertahan meski penghasilan berjualan surat kabar semakin tak menjanjikan.

Kini, setiap hari Sutinah membawa 40 eksemplar koran dari agen. Namun, hampir pasti tidak habis terjual. Hari ini saja, baru laku tiga, termasuk satu edisi Harian Jogja yang saya beli darinya. 

Sutinah (62), bertahan jadi loper koran meski pendapatan pas-pasan. (Haammam Izzuddin/Mojok.co)

Perempuan ini mengenang kalau dulu setiap hari ia membawa 100-130 eksemplar koran dari agen. Meski tidak selalu habis, tapi porsi terjualnya lebih besar ketimbang yang tak laku.

“Ya begini sekarang. Semakin susah karena HP sudah bagus-bagus,” ujarnya sambil menunjuk HP yang saya genggam. 

Pekerjaan yang tergilas zaman

Terkadang, ia bisa mendapat uang lebih tatkala ada pembeli yang menolak kembalian. Kadang-kadang, mereka memang sengaja memberikan uang lebih karena iba dengan para loper ini. 

Sutinah mengaku tak punya banyak angan-angan di masa depan. Selama agen masih memberikan stok surat kabar untuk ia jual, pekerjaan ini akan terus ia lakoni. Selama tubuhnya masih kuat menjajakan di tengah terik matahari.

Belakangan, kondisi media cetak memang semakin memprihatinkan. Terbaru, salah satu surat kabar besar, Republika, telah memutuskan berhenti cetak. Harian Republika yang sudah 30 tahun mewarnai dinamika surat kabar Indonesia resmi menerbitkan edisi terakhirnya pada 31 Desember 2022 silam. 

Pada data Serikat Perusahaan Pers, meski tidak signifikan, oplah surat kabar harian di Indonesia sempat mengalami kenaikan setiap tahun  pada medio 2008-2014. Pada 2014, total oplah telah mencapai 9,65 juta. Setelah itu oplahnya konsisten terus menurun. Hal serupa juga dialami sejumlah format media cetak lain seperti surat kabar mingguan, tabloid, dan majalah.

Menurunnya jumlah pembaca seturut dengan merosotnya kue iklan untuk media cetak. Hal ini membuat sumber-sumber pendapatan bagi koran menurun dari seluruh sisi.

Melihat kondisi ini, loper sebagai salah satu ujung tombak distribusi koran menjadi profesi yang sudah di titik nadir. Menunggu waktu sampai nanti tergilas zaman. Hilang dari jalan-jalan.

Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Ada Koran di Jepang yang Bisa Dimakan, Bagaimana Bisa?  Dan reportase menarik lainnya di kanal Liputan.

Exit mobile version