Perempuan-perempuan paruh baya ini memilih untuk tidak berpangku tangan di rumah. Mereka mengisi hari-harinya dengan pacul, batu, dan pasir sebagai kuli atau orang-orang yang mengandalkan fisiknya untuk bekerja.
***
Hari mulai mendung saat azan asar terdengar berkumandang dari berbagai penjuru arah. Namun, semangat Satimi (55) tidak goyah. Tangannya terus mengayunkan pacul, menggali tanah di pinggiran jalan Desa Sukoharjo, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta.
Saat saya mendekat, ia menyunggingkan senyum ramah. Tidak menunjukkan rasa lelah setelah seharian melakukan pekerjaan fisik.
Sejak jam delapan pagi, Satimi dan tujuh buruh perempuan lain sedang mengerjakan proyek perbaikan jalan desa. Mereka bekerja berdampingan dengan para buruh laki-laki. Para perempuan menjadi laden sedangkan laki-laki menjadi tukang.
Tukang lebih cenderung mengerjakan pekerjaan teknis yang membutuhkan keahlian khusus seperti membangun fondasi konstruksi selokan di samping jalan dan mengaci temboknya. Sedangkan laden tugasnya membantu tugas tukang.
Satimi membantu tukang untuk urusan seperti mencangkul dan mengangkat bahan material. Keduanya membutuhkan tenaga yang sama beratnya.
“Semua yang perempuan jadi laden saja,” ujar Satimi singkat, sambil memindah tanah yang ia cangkul ke gerobak dorong.
Di proyek perbaikan jalan sepanjang kurang lebih lima puluh meter ini, tampak kuli perempuan lain mengerjakan beragam hal. Selain mencangkul seperti Satimi, ada pula yang mengangkat dan menuangkan adonan semen hingga memecah batu.
Para buruh perempuan ini dibayar Rp75 ribu untuk bekerja delapan jam sehari. Jumlah itu menurut Satimi sudah lumayan untuk dibawa pulang dan membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Sedangkan buruh laki-laki yang menjadi tukang, menurutnya diberi bayaran sedikit lebih tinggi karena pekerjaannya yang membutuhkan kemampuan khusus. Mereka saling bahu membahu mengerjakan proyek yang sudah berjalan sekitar setengah bulan belakangan.
Satimi berasal dari Manisrenggo. Sebuah kecamatan di Kabupaten Klaten yang berbatasan langsung dengan Provinsi DIY. Para pekerja ini kebanyakan datang dari luar Jogja. Sebagian dari beberapa wilayah di Klaten seperti Jatiwarno dan Manisrenggo. Ada juga yang berasal dari Butuh, Purworejo.
Meski terlihat lancar dan kuat melakukan pekerjaan berat ini, Satimi ternyata baru setahun nyemplung menjadi buruh pekerjaan konstruksi dan bangunan. Di usia yang sudah kepala lima, setahun belakangan ibu tiga anak yang sudah punya satu cucu ini malah memilih pekerjaan fisik yang menguras banyak keringat.
“Sebelumnya ya saya di rumah saja. Tapi lihat teman-teman (ibu-ibu) pada bergerak (kerja), jadi pengen ikutan,” katanya riang.
“Hitung-hitung bisa mendapat tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga,” lanjutnya.
Selain itu Satimi mengaku tidak banyak pilihan pekerjaan yang bisa ia lakukan. Di rumah tidak punya ladang yang bisa dikerjakan. Sehingga saat tawaran untuk menjadi kuli ini datang, ia sambut dengan senang.
Ketiga anaknya laki-laki. Dua di antara mereka masih tinggal di satu rumah yang sama. Satimi mengaku, ia masih mengurus segala urusan rumah tangga sebelum dan sesudah melakukan pekerjaan berat ini.
“Ya masih masuh (mencuci) dan masak lah di rumah,” ucapnya.
Sejak memutuskan menjadi buruh, ia mengaku sudah terlibat empat proyek termasuk yang sedang ia lakoni sekarang. Sekali terlibat, tawaran-tawaran untuk bekerja memang kerap datang. Mulai dari proyek jalan sampai pembangunan rumah.
Rahasia kuat bekerja
Untuk melakoni pekerjaan ini, Satimi mengaku tak perlu latihan apa-apa. Badan pegal setelah bekerja sudah jadi hal yang biasa. Kendati begitu, setelah pulang, ia tidak bisa langsung beristirahat total karena ada pekerjaan rumah yang harus dituntaskan.
Baginya kuncinya hanya satu yakni semangat. Bagaimana pun caranya, ia mengaku harus kuat. Terlebih lagi, ia punya banyak teman senasib yang membuatnya terus semangat.
“Pokok e pie carane diusahakke kudu kuat,” ujarnya tanpa ragu.
Ia mengaku banyak belajar dari Surani (47), teman sekampung yang sudah terlebih dulu nyemplung menjadi kuli bangunan. Di pekerjaan ini, Surani punya bagian yang mendorong gerobak yang sudah terisi tanah hasil kedukan Surani.
Kendati begitu, ia mengaku melakukan apa saja yang yang diperintahkan mandornya. Kadang ikut mengaduk semen dan memecah batu.
“Pokoknya saling bantu saja. Kadang kalau tukangnya butuh bantuan ngaci, ya saya bantu juga,” ujar Suparni yang mengaku sudah puluhan tahun menekuni pekerjaan ini.
Jam kerja mereka kurang dari tiga puluh menit lagi usai. Namun, tiba-tiba mendung yang sejak tadi menggelayuti berganti menjadi guyuran hujan deras. Para pekerja ini menghentikan pekerjaannya dan menepi ke gubuk teduh. Jika hujan deras begini mereka bisa mentas lebih dini.
Sebagai teman sekampung, Satimi dan Surani pulang bersama. Mereka berdua berboncengan menaiki motor. Sore ini mereka menerabas hujan. Tidak ingin menunggu lebih lama untuk segera sampai rumah dan bertemu keluarga.
Di Jogja, penampakkan para buruh perempuan yang mengerjakan pekerjaan fisik berat kerap terlihat di berbagai tempat. Selain para buruh proyek-proyek konstruksi bangunan, ada pula pekerjaan buruh gendong di Pasar Beringharjo dan Giwangan yang identik dengan perempuan. Kebanyakan di antara mereka sudah paruh baya. Namun, semangat dan tenaganya tidak kalah jika diadu dengan yang muda.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono