Kalau perantau asal Kuningan, Jawa Barat di Jogja identik dengan warung burjo atau warmindo, tidak demikian dengan perantau asal Ciamis dan Tasikmalaya. Mereka menguasai lidah orang Jogja melalui kerupuk kaleng yang banyak ada di warung makan, toko kelontong, dan warmindo. Sejak tahun 1930-an.
Di Jogja, ada puluhan pabrik kerupuk yang menyuplai toko kelontong, warung makan, hingga penjual sayur keliling. Beberapa merek terkenal yang mudah dijumpai di antaranya Subar, Sabur, DK, Putra Jaya, Sala, hingga Harapan.
Keberadaan pabrik-pabrik kerupuk di Jogja ini sudah ada cukup lama. Bahkan ada yang disebut-sebut sudah eksis sejak tahun 1930-an. Mojok berjumpa dan menggali kisah dari para perantau Sunda dari Ciamis dan Tasikmalaya yang menjadi aktor penguasa bisnis kerupuk di Jogja. Mulai dari yang tertua hingga salah satu pemain terbesar yang menguasai pasar Jogja.
***
Selasa (6/9) pagi, sekitar pukul sembilan, para pekerja di pabrik kerupuk Harapan tengah sibuk bekerja. Beberapa di antara mereka sedang hilir mudik di halaman depan. Menata ribuan bakal calon kerupuk bulat berwarna oranye untuk dijemur di bawah terik matahari.
Di dalam ruang produksi sederhana, dua unit mesin terus menderu mengolah adonan menjadi cetakan bulat berongga. Siap untuk diproses selanjutnya hingga nanti berakhir di halaman depan untuk dijemur.
Lelaki paruh baya berbadan gempal sedari tadi berkeliling mengawasi setiap proses produksi. Sembari mengapit rokok di sela jarinya, ia memberi instruksi menggunakan bahasa Sunda pada para pekerja. Sesekali, lelaki yang rambutnya telah memutih ini ikut memegang berbagai piranti mesin.
Sosok itu bernama Mastur (63), pemilik pabrik kerupuk Harapan yang berada di Tamanan, Banguntapan, Bantul. Letak pabrik ini beberapa ratus meter saja di selatan Terminal Giwangan Yogyakarta.
Mastur mendirikan pabrik yang setiap harinya memproduksi sekitar 30 ribu kerupuk pada tahun 2005 silam. Namun, jauh sebelum mendirikan pabrik sendiri, ia sudah lama berkecimpung di dunia pengolahan salah satu kondimen makanan paling digemari masyarakat Indonesia ini.
“Saya itu mulai di kerupuk sejak 1977. Berawal dari Solo,” ujarnya.
Kini kami sudah duduk di ruang tamu sederhana rumahnya. Rumah yang menyatu dengan pabrik yang ia kelola.
Tahun 1977, ia mengikuti jejak kakaknya bekerja di pabrik kerupuk milik orang Ciamis di Solo. Mastur muda berkeliling menjajakan kerupuk di kota itu. Sambil belajar banyak hal mengenai produksi hingga distribusinya.
Pada tahun 1983, sang kakak melebarkan sayap pabrik bermerek Sala milik juragannya itu ke Jogja. Mendirikan rumah produksi sendiri tapi masih dengan naungan bosnya. Mastur ikut serta pindah mengikuti kakaknya.
Mastur turut membantu membangun Sala hingga kini dikenal sebagai salah satu pabrik dengan kapasitas produksi tinggi di Jogja. Darinya, saya mengetahui beberapa penguasa pasar kerupuk di daerah ini.
“Kalau sekarang ini di Jogja yang besar itu Sabar, Subur, dan Sala,” jelasnya.
Subur dan Sabar menjadi contoh dua pabrik besar yang didirikan perantau dari Ciamis. Di Jogja, menurut Mastur, kini kebanyakan memang didominasi orang dari Ciamis. Sedangkan sisanya, ada yang dari Tasikmalaya seperti Harapan miliknya, Sala, hingga Putra Jaya.
Sabar dan Subur, pabrik dengan produksi besar yang legendaris
Usai mendapatkan cukup banyak informasi dari Mastur, esok harinya saya menyambangi pabrik Subur yang terletak di Wonocatur, Banguntapan, Bantul. Di halaman depan, tampak ribuan cetakan kerupuk berwarna putih sedang dijemur.
Subur didirikan oleh Haji Solihin pada tahun 1965. Kini, sang pendiri sudah memilih beristirahat dan yang mengelola bisnisnya adalah sang anak yang bernama Aulia Hamzah (42). Lelaki yang akrab disapa Uli ini menemui saya di halaman depan pabriknya.
Hampir serupa dengan Mastur, Uli bercerita bahwa ayahnya dulu berkenalan dengan dunia kerupuk saat bekerja dengan sesama orang Ciamis di Salatiga. Ada beberapa saudara sang ayah yang terlebih dahulu bekerja di sana.
“Kemudian, kakaknya beliau atau paman saya, terlebih dahulu membuat pabrik di Muntilan. Bapak juga sempat ikut dulu ke sana. Sebelum akhirnya membuka usaha sendiri di Jogja,” ujar Uli.
Setelah bekerja dan berhasil mengumpulkan modal, tahun 1965 Haji Solihin membuka pabrik sendiri dengan menyewa lahan dan bangunan di Jomblangan yang letaknya di selatan Jalan Wonosari. Baru lima tahun setelahnya, ia membeli tanah dan membangun pabrik yang bertahan hingga sekarang ini.
Pabrik ini memproduksi sekitar 50.000 kerupuk setiap harinya. Kira-kira, bahan baku untuk menghasilkan jumlah tersebut, perlu empat kuintal adonan. Semua produksi pabrik ini merupakan kerupuk berwarna putih. Lain dengan Harapan yang memproduksi dua warna yakni oranye dan putih.
“Ya ini mungkin sudah berkurang. Dulu bisa lebih banyak lagi. Sekarang malah yang lebih besar produksinya itu pabrik Sabar,” ujar Uli yang mendapat tugas mengelola pabrik Subur sejak 2007.
Sabar memang dikenal sebagai salah satu produsen kerupuk terbesar di Jogja. Menurut taksiran Uli, kapasitas setiap hari membuat kerupuk dari sekitar tujuh kuintal adonan. Artinya, produksi setiap harinya, lebih dari 50.000 kerupuk. Tak heran jika kaleng-kaleng bermerek Sabar mudah dijumpai di warung-warung makan.
Meski kini tumbuh lebih besar, pemilik Sabar dulunya pernah bekerja dan menimba ilmu di Subur. Kedua pemilik ini masih saudara satu trah keluarga besar.
“Dulu pemiliknya itu sempat kerja di sini. Kemudian tahun 1980-an buka sendiri di sana. Awalnya bahkan pabrik di sana punya adik bapak saya, kemudian mereka beli. Adik bapak tidak bisa mengelola karena ada kerjaan lain,” jelasnya.
Menelusuri pabrik-pabrik kerupuk tertua
Jika Subur dan Sabar menjadi pabrik dengan produksi yang tergolong paling besar, saya lantas menelusuri jejak rumah produksi kudapan berbahan dasar tepung tapioka dengan campuran bawang putih tertua di Jogja.
Menurut penuturan Mastur sebelumnya, pabrik yang lebih tua dari Subur adalah DK. Jika yang mengelola Subur kini generasi kedua, DK sudah turun hingga generasi ketiga.
Saya lantas menyambangi pabrik DK yang letaknya di Banyuraden, Gamping, Sleman dan menjumpai Joko Nugroho (50). Ia merupakan cucu dari pendiri pabrik legendaris ini.
Sepintas, pabrik ini tak sebesar dua pabrik yang saya sambangi sebelumnya. Menurut Joko, hanya ada empat karyawan produksi. Serta lima belas sales yang bertugas memasarkan kerupuk ke berbagai penjuru Jogja.
Namun, di balik itu, DK merupakan generasi pertama perantau Ciamis yang berbisnis kerupuk di Jogja. Joko bercerita bahwa Kartawiharja, sang kakek, sudah merantau ke Jogja tahun 1931. Awalnya bekerja sebagai buruh bangunan hingga kemudian mulai merintis bisnis yang masih eksis hingga sekarang berkat anak keturunan yang melestarikannya.
“Cerita bapak saya waktu itu harga kerupuk itu istilahnya ‘setali’, belum pakai rupiah sebelum merdeka,” kenangnya.
Joko mulai mengurusi pabrik ini sejak tahun 1995. Ia ingin terus merawat dan mempertahankan usaha yang telah menjadi sumber kehidupan lintas generasi keluarganya. Dari enam saudaranya, hanya Joko yang meneruskan bisnis warisan orang tuanya.
Merek DK sendiri berasal dari nama bapak Joko. Bapaknya bernama Muhammad Duki.
“Jadi dulu memang banyak penamaan merek yang dari singkatan nama,” ujarnya tertawa.
Menurut cerita yang didengar Joko dari bapaknya, setelah DK hadir ada beberapa pabrik kerupuk yang kemudian menyusul berdiri. Dua pabrik yang menurutnya menjadi pionir awal menyusul kehadiran DK di Jogja yakni SHD dan KMD.
“SHD itu singkatan dari nama Sahidin, kalau KMD itu Komarudin. Tapi dua itu sekarang sudah tutup semua sepertinya yang di Jogja,” ujarnya.
DK, KMD, dan SHD menurut Joko adalah beberapa pabrik kerupuk awal yang menjadi penanda kehadiran para perantau dari Ciamis di Jogja. Seiring waktu, saking banyaknya pabrik kerupuk di Jogja, sulit melacak untuk mengetahui detail jumlahnya.
Kerupuk, makanan kuno yang masih eksis
Kerupuk dalam khazanah kuliner Nusantara memang sudah punya riwayat yang panjang. Ahli gastronomi dari UNY, Dr Minta Harsana mengungkapkan bahwa kudapan renyah pendamping makan ini sudah tercatat Prasasti Batu Pura. Di sana ada catatan tentang kerupuk rambak terbuat dari kulit kerbau atau sapi, semenjak abad ke-9 M atau ke-10 M di Pulau Jawa.
Sedangkan untuk riwayat para pengusaha kerupuk dari Ciamis dan Tasikmalaya, Minta memaparkan ada referensi yang menyebut bahwa generasi awalnya sudah muncul di tahun 1930.
“Salah satu pengusaha kerupuk pertama berasal dari Tasikmalaya bernama Sahidin dan Sukarma. Berjualan semenjak tahun 1930 di Jalan Kopo depan Rumah Sakit Emanuel Bandung,” ujarnya pada Mojok.
Pegawai yang dulu pernah mengabdi di pabrik Sahidin dan Sukarma, cukup banyak yang berhasil mendirikan usaha kerupuk sendiri. Sekarang pun pengusaha kerupuk, terutama dari Ciamis dan Tasikmalaya sudah tersebar hampir di seluruh penjuru Indonesia.
Keluarga di balik bisnis kerupuk
Dari tiga pemilik pabrik yang saya jumpai, tergambar banyak jejaring pemilik pabrik lain yang masih sekeluarga. Bukan hanya di Jogja, namun juga hingga beberapa daerah lain di Jawa.
Mastur, pemilik kerupuk Harapan misalnya, menuturkan bahwa keluarga dekatnya yang kini mengelola usaha kerupuk setidaknya ada empat. Kalau keluarga besar atau trah, bahkan Mastur berujar bisa sampai sepuluh orang yang terjun di bisnis kerupuk.
“Di Purworejo ada satu kakak saya, di Bandung ada adik istri. Kalau di Jogja keponakan sama kakak saya juga mengelola pabrik,” ujarnya.
Selain Mastur, Uli pemilik Subur juga memaparkan banyak sanak saudara yang juga punya usaha di bidang yang sama. Merek ternama lain di Jogja juga masih merupakan saudaranya. Mulai dari Sabar, Nining, Subur Wonosari, dan beberapa merek lain.
“Wah, sampai nggak hafal. Intinya kalau trah itu banyak. Kumpul trah itu biasanya baru ketemu,” ujarnya kebingungan.
Selain relasi keluarga, para pekerja pabrik berasal dari beberapa daerah asal pemiliknya juga turut membuat jejaring pengusaha kerupuk dari Ciamis dan Tasikmalaya semakin menguat. Banyak pekerja yang telah matang secara pengalaman dan berhasil mengumpulkan modal, akhirnya membuka usaha sendiri di bidang yang sama.
Di pabrik-pabrik yang saya kunjungi terdapat mess bagi para pekerja dari tanah Sunda yang mencari peruntungan bekerja di tempat para senior pendahulunya. Bukan hanya para karyawan produksi saja, bahkan sales pun, di pabrik DK, didatangkan dari Jawa Barat.
Saat berkeliling di pabrik-pabrik tersebut, percakapan berbahasa Sunda jadi hal yang lazim terdengar. Memang ada sejumlah pekerja dari daerah lain, termasuk pekerja lokal dari Jogja yang kebanyakan dari Gunungkidul, tetapi jumlahnya nggak banyak.
Prof Bambang Hudayana dari Departemen Antropologi UGM melihat bahwa para perantau dari Ciamis dan Tasikmalaya ini punya kemiripan dengan perantau dari Madura. Mereka banyak membawa pekerja dari daerahnya sehingga terjadi relasi yang kuat sekaligus transfer pengalaman.
“Daerah yang masyarakatnya banyak merantau ini punya ciri khas yang serupa. Mereka punya budaya patronase atau patron-klien. Seperti bapak dan anak. Jadi yang merantau dan berhasil akan mengundang dari desanya untuk ikut numpang membantu pekerjaan,” ujarnya.
Hal itulah yang menciptakan rantai sosial yang kuat. Menjadi modal sosial yang menguatkan di perantauan. Hingga akhirnya, para pekerja pun nantinya ketika sudah siap bisa merintis usaha sendiri di perantauan.
Bagaimana para pemilik kerupuk kaleng dari Sunda ini mendistribusikan produk mereka di Jogja? Baca kisah selanjutnya, Minggu (11/9/2022).
Reporter: Hammam Izuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA: Toko Kelontong Madura, Toko Kecil yang Berani Mepet Indomaret dan Alfamart