Mojok mendengar cerita beberapa orang yang punya pengalaman buruk berhadapan dengan debt collector. Pengalaman itu mendatangkan trauma tersendiri bagi mereka. Kenangan yang sulit terlupakan.
***
Kisah pertama datang dari Yoga (28). Pada bulan Ramadan 2022 silam ia sedang mengendarai mobil Honda Brio di daerah Serang, Banten. Kendaraan itu bukan miliknya, melainkan milik kakaknya.
Di tengah perjalanan, ia berhenti di sebuah ATM untuk mengambil uang. Semuanya berjalan normal sampai ia menyadari ada segerombolan orang telah mengerubungi mobilnya di parkiran. Sekelompok lelaki berbadan kekar dengan tampilan sangar.
“Mereka sudah mencecar tukang parkir menanyakan pemilik kendaraan itu. Saat aku keluar, langsung aku samperin,” ujar Yoga.
Bawa mobil kakak, kena sita debt collector
Tanpa basa-basi, keenam orang yang ternyata debt collector itu menanyakan keberadaan pemilik kendaraan sesuai surat resmi. Yoga yang berusaha menenangkan, tapi perdebatan tak terelakkan.
Yoga menjelaskan bahwa ia bukan pemilik kendaraan tersebut. Namun, mereka tidak mempedulikan penjelasan itu. Akhirnya, Yoga memilih untuk menelepon kakaknya untuk meminta arahan.
“Ternyata memang cicilan mobil ini sudah nunggak lima bulan,” katanya.
Para debt collector menekan Yoga agar segera pergi bersama mereka menuju kantor leasing untuk menyerahkan mobil itu. “Kalau utang ingat bayar, jangan maunya pakai doang,” ujar Yoga, menirukan gertakan para penagih utang tersebut.
Setelah berdiskusi dengan kakaknya, ia memilih membawa mobil tersebut sesuai permintaan para kolektor. Yoga mengaku kaget dengan situasi ini, namun bekal pengetahuan tentang hukum terkait fidusia membuatnya bisa mengendalikan situasi.
Saat itu mobil Honda Brio warna merah itu akhirnya tertahan di kantor leasing. Dua pekan kemudian setelah melakukan sejumlah diskusi akhirnya kendaraan bisa kembali dengan syarat pembayaran tunggakan cicilan.
“Memang saat itu mobil menunggak. Kakak saya bilang tidak menerima surat peringatan karena baru pindah alamat. Satu yang saya sayangkan, perlakuan debt collector itu secara perkataan tidak mengenenakkan, gestur fisik mereka juga mengintimidasi,” keluhnya.
Pengalaman Yoga sebenarnya juga terjadi pada banyak orang lain. Mereka yang tak terlibat utang namun harus menanggung beban tekanan dari para penagih. Tak jarang pula mereka harus menerima gertakan yang membuat tertekan.
Suami yang utang, istri yang diinterogasi
Kisah kedua datang dari seorang perempuan di sebuah kabupaten di Jawa Tengah. Sebut saja Lala* (44), ia pernah berhadapan dengan beragam watak debt collector lantaran pinjaman-pinjaman yang suaminya gunakan untuk beragam keperluan.
Beberapa kali ia harus menghadapi debt collector dari bank hingga leasing. Namun menurutnya, debt collector dari lembaga-lembaga itu masih cenderung memiliki batasan yang jelas dalam bertugas.
“Kalau sampai kasar secara fisik nggak pernah. Perkataan agak keras memang iya, menekan, tapi nggak terlalu kasar juga,” terangnya.
Ia memaklumi kerja tugas para kolektor untuk mengejar target setoran dari tunggakan-tunggakan cicilan debitur. Di situ, ia juga dalam kondisi yang tak bisa banyak menyanggah lantaran suaminya memang benar-benar mengajukan kredit atau pinjaman.
Sang suami pernah kredit motor menggunakan namanya. Pekerjaan Lala memang punya kredibilitas di mata lembaga pemberi pinjaman sehingga suaminya manfaatkan. Namun, cicilan belum lunas, ternyata motor itu oleh suaminya gadaikan ke orang lain.
“Akhirnya saya baru tahu suami saya sudah lama nggak bayar saat ada kolektor datang. Saya diinterogasi di rumah saya sendiri padahal tidak tahu apa-apa,” keluhnya. Sang suami memang sering pergi, termasuk saat kebetulan para penagih menghampiri kediamannya.
Debt collector resmi ada aturannya
Mengingat kredit motor menggunakan nama Lala, akhirnya perempuan ini memutar otak untuk mencari uang. Terkadang ia harus meminjam saudara untuk menutupi persoalan keuangan dari lelaki yang kini sudah jadi mantan suaminya itu.
Meski begitu, ia mengaku bersyukur, lantaran mereka tidak pernah mengganggu rumahnya selain di jam kerja. Selain itu juga tidak pernah memberikan ancaman menyangkut pihak lain selain ia dan suaminya.
Debt collector yang menagih utang dari lembaga pemberi kredit resmi memang bekerja di bawah aturan yang jelas. Para penagih ini biasanya direkrut dari lembaga outsourcing atau agensi khusus.
Salah satu aturan yang melandasi kerja kolektor adalah Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/17/DASP Tanggal 7 Juni 2012. Aturan ini mengatur etika kerja kolektor seperti membawa kartu identitas resmi, larangan melakukan kekerasan fisik maupun verbal, hingga proses penagihan yang tidak boleh melibatkan pihak lain selain peminjam.
Selain itu, pihak kolektor tidak boleh melakukan penagihan di luar jam 08.00 hingga 20.00. Penagihan di luar waktu itu, hanya bisa dilakukan jika ada kesepakatan. Aturan-aturan ini harus ditegakkan penyedia jasa penagihan dan pemberi kredit.
Debt collector matikan listrik rumah
Lain hal saat ia harus menghadapi beberapa debt collector sewaan perseorangan. Lala mengaku pernah mendapat tekanan verbal yang bukan hanya menyangkut dirinya, bahkan anaknya.
Suatu masa pada 2012 lalu, suaminya pergi dari rumah nyaris dua pekan. Ia tidak bisa dihubungi dan tidak jelas keberadaannya. Saat itulah, tiba-tiba ada tiga orang yang menghampiri kediaman Lala. Kala momen itu terjadi, perempuan ini hanya bersama anak lelakinya yang masih berusia sembilan tahun.
Rumah Lala berada di sudut perkampungan, sebelahnya kanan merupakan bangunan SD dan sisi kirinya kebun yang langsung berbatasan dengan pemakaman. Kunjungan pertama penagih utang terjadi di sore hari setelah Lala pulang kerja.
Mereka menanyakan keberadaan sang suami. Lala pun menjelaskan seadanya bahwa suaminya sudah beberapa hari belum pulang ke rumah. Mereka tidak serta merta percaya. Menunggu dan mencecar Lala dengan sejumlah pertanyaan lainnya.
Lala bercerita, para kolektor datang untuk menagih tanggungan suaminya senilai Rp25 juta. Lala jelas tidak punya uang sebanyak itu untuk membuat mereka pergi.
“Mengangsur 10 persennya saja saat itu tidak ada uang,” kenangnya.
Beberapa hari berselang, di akhir pekan saat perempuan ini libur bekerja, para kolektor ini kembali datang. Lala tak sempat menghindar lantaran kehadiran mereka tepat saat ia sedang menjemur pakaian di halaman depan rumah.
Setelah menyampaikan maksud kedatangan kembali dan tidak menemukan jawaban memuaskan, seorang kolektor berujar, “Kemarin tengah malam listrik rumahmu anjlok ya? Itu aku yang matikan dari luar biar suamimu keluar.”
Perkataan yang membuat kaki Lala bergetar. Ia tak kuasa membayangkan keberadaan orang asing tengah malam di sekitar rumahnya, saat ia hanya berdua dengan anak kecilnya.
Imbauan dari Gubernur DIY agar debt collector menagih utang dengan sopan.
Ancam akan bawa anak
Mata Lala sudah berlinang. Namun, para kolektor itu belum gentar. Mereka masih berada di halaman rumah meski perempuan ini tidak bisa memberikan apa-apa. Bahkan sekadar kepastian kapan suaminya pulang.
Sekitar satu jam sejak ucapan keras yang menohok hati Lala terucap, akhirnya kolektor itu menunjukkan gestur hendak beranjak pergi. Mereka menghampiri Lala yang sedang terduduk di teras rumah.
Alih-alih berpamitan dengan sopan, mereka berujar, “Suamimu suruh cepat balik, selesaikan urusannya, atau nanti anakmu kami bawa.”
Mereka lalu melenggang pergi meninggalkan Lala yang tengah penuh kekhawatiran. Setelah itu, Lala langsung bergegas mencari anaknya yang sedang bermain bersama teman-temannya di kampung.
“Untuk beberapa hari sampai suami pulang, saya melarang anak main. Dia bingung, nggak tahu apa-apa, tapi menanggung beban juga,” ucap Lala bergetar.
Tiga hari berselang, suaminya pulang. Amarah melontar deras dari diri Lala pada suaminya. Bertahun-tahun ia berhadapan dengan penagih utang yang mencari suaminya. Namun, momen ketika anaknya terancam membuatnya tak punya toleransi lagi.
Kenangan kelam berhadapan dengan debt collector terus tertancap di benak Lala hingga sekarang. Suaranya terdengar berat saat menceritakan momen-momen yang ia anggap terburuk dalam hidupnya itu.
Pengakuan mantan debt collector
Kerja debt collector memang perlu pengendalian emosi sehingga bisa menerapkan etika yang baik pada para debitur. Ami Nugroho (39), lelaki yang pernah menggeluti dunia penagihan pada medio 2004-2014 di Jogja mengakui profesinya sebenarnya lebih butuh kemampuan komunikasi alih-alih kata kasar dan kekerasan
“Nagih itu kuncinya kulo nuwun. Datang baik akan dibales baik. Kalau Orang Jawa kan begitu,” ujar Ami.
Ia bergelut pada ranah penagihan kartu kredit yang menurutnya banyak berhadapan dengan kalangan menengah ke atas. Mereka yang tagihannya menunggak biasanya sedang mengalami gangguan finansial.
“Nasabah itu ada tiga karakter, pertama dia emang orangnya nakal, kedua ekonomi tidak stabil, ketiga ketakutan,” katanya.
Baginya, kolektor punya fungsi untuk menjembatani antara kreditur dan debitur di lapangan. Tidak sekadar menagih, mereka harus menimbulkan rasa tanggung jawab di benak pengutang. Hal itu tidak bisa sekadar dengan memberikan ancaman.
Sosok yang pernah mengelola agensi jasa penagihan ini mengakui di lapangan masih banyak kolektor yang terlalu mengandalkan kemampuan untuk menakut-nakuti debitur. Padahal ada banyak siasat untuk menimbulkan kesadaran membayar hutang.
Ia misalnya, punya trik memberikan dampak sosial dengan menceritakan permasalahan penunggak kepada tetangganya. Selain itu ia juga selalu bertandem dengan rekan yang punya karakter berbeda. Ami berlaku halus dan rekannya bertugas memberikan sedikit tekanan.
“Sayangnya kadang kan kolektor tidak kepikiran cara-cara seperti ini. Ada siasat supaya tidak perlu keras-keras,” katanya.
Profesi penagih memang kerap diasosiasikan dengan sosok garang berlatar belakang dunia jalanan. Namun Ami menilai seharusnya tetap menggunakan etika saat melakukan pekerjaan ini.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Mantan Debt Collector Berbagi Cerita Beratnya Jadi Penagih Utang