Warmindo dan mahasiswa itu punya hubungan dekat. Keberadaannya jadi andalan ketika mahasiswa butuh asupan makan dengan harga terjangkau.
Mojok bertemu dengan beberapa mahasiswa baik dari Semarang maupun Yogyakarta yang pernah terbantu hidupnya oleh keberadaan warmindo. Ada yang dapat makan gratis selama sebulan, hingga boleh berutang karena sedang tak pegang uang.
***
Suatu hari di tahun 2013, dua orang mahasiswa merasakan lapar di tengah malam. Saat itu gerimis tipis sedang turun di Semarang, tempat kedua mahasiswa ini menempuh studi. Mereka milih sebuah warmindo untuk tempat mengganjal perut. Selain terjangkau secara harga, jaraknya hanya lima menit berjalan kaki dari kos mereka.
“Saat itu suasananya cocok sekali untuk makan mie dokdok dengan kuah nyemek,” kenang Ikki (31). Saat itu, lelaki asal Pekalongan ini masih menjadi mahasiswa di Universitas Islam Sultan Agung (Unisulla).
Warmindo langganan mereka terletak tak jauh dari Masjid Agung Jawa Tengah. Masuk ke gang perkampungan. Ikki mengaku setiap pekan hampir pasti minimal makan tiga sampai empat kali di warmindo langganannya tersebut.
Ia mengaku lupa nama warmindo itu. Namun, ia ingat betul bahwa itu tempat makan sederhana, bangunannya cenderung kecil ketimbang banyak warung serupa yang letaknya ada di sekitar kampus. Cat temboknya kusam dengan warna yang sedikit pudar. Pemandangan rentengan minuman sachet selalu terngiang di benak pelanggan.
Selain itu, menunya standar, mulai dari nasi telor, orak-arik, hingga oseng-oseng. Meski sederhana, ia merasa cocok dengan olahan Aa’ asal Kuningan di tempat itu. Terutama urusan mie, baik mie instan atau mie dokdok, keduanya terasa menggugah selera makan.
Kecopetan di warmindo
Malam itu, Ikki bersama karibnya yang berasal dari Kalimantan sampai di lokasi saat kondisi warung sedang ramai. Tempat duduk depan etalase menu makanan penuh oleh pelanggan lain. Mereka pun memilih tempat yang tersisa.
Rekan Ikki lalu menggeletakkan ponsel, dompet, dan rokok di atas meja supaya bisa duduk lebih nyaman tanpa ganjalan di saku celana. Setelah pembeli di depan etalase mulai sepi, Ikki menyuruh rekan untuk memesan. Sedangkan dirinya, tengah sibuk dengan ponsel di genggaman.
“Setelah itu kami makan seperti biasa,” ujarnya.
Semula mereka tak merasakan keganjilan. Sampai saat hendak membayar, tiba-tiba rekan Ikki kebingungan mencari dompetnya. Ia bertanya, apakah Ikki menyimpan dompet itu sebab tadi sang rekan merasa meletakannya di meja. Sedangkan Ikki merasa bahwa sang rekan membawa dompet itu saat memesan.
Sambil mengecek ke kolong dan sekitar, dua mahasiswa ini beradu pendapat. Wajah mereka tampak panik. Hal itu, menarik perhatian Aa’ warmindo untuk menghampiri dan menanyakan situasi yang terjadi.
“Melihat kami panik, Aa burjo nyamperin dan nanyain, kami jelaskan situasinya sampai dia ikut bantu. Dan kesimpulannya, kemungkinan besar ada yang mengambil saat kami lengah,” kenangnya.
Gratis makan sebulan di warmindo
Situasi itu masih tergambar jelas di ingatan Ikki. Wajah sang kawan memerah, nyaris menitikkan air mata. Ia bingung sekaligus pasrah, tanggal kiriman uang masih lama, sedangkan nyaris semua uang jajan sisanya tersimpan di dompet itu.
Ikki mencoba membantu menenangkan dan sedikit bertanggung jawab karena lalai mengawasi meja. Ia menawarkan untuk membayar semua makanan yang rekannya pesan malam itu. Namun tiba-tiba Aa warmindo menyela.
“Udah ikhlasin saja uangnya. Nanti masnya yang kehilangan dompet kalau makan ke sini saja. Saya gratisin, sampai akhir bulan nunggu kiriman uang lagi,” kata Ikki, menirukan ucapan sang Aa warmindo.
Mendengar itu, wajah sang rekan yang tadi sudah memerah, malah justru pecah air mata. “Saya terharu di situ. Malah ikutan nangis,” kata Ikki.
Selama sisa bulan itu, Aa warmindo berbadan agak gempal itu memberikan makan gratis setiap mahasiswa itu datang. Ikki tentu tidak ikut makan gratis. Tapi ia sempat menjadi saksi saat beberapa kali menemani sang rekan menikmati nasi telur dan indomie tanpa perlu mengeluarkan sepeser uang pun.
Setelah kiriman uang datang, sang rekan sempat menghampiri Aa warmindo untuk mencoba membayar segala hal yang pernah ia berikan secara gratis. Tapi Aa itu tak mau menerimanya. Ia ikhlas dan memberi pesan agar lebih hati-hati menjaga barang saat makan.
Kebaikan penjaga warmindo itu tak pernah mereka berdua lupakan. Menjadi kenangan yang tertinggal di Semarang selama masa mereka tinggal di sana medio 2012-2017.
Warmindo bagi mereka bukan sekadar tempat mengganjal perut. Nongkrong bersama teman, rapat organisasi, sampai menonton bola bersama adalah kegiatan rutin yang kerap mereka lakukan di tempat kecil ini.
“Buka sampai malam. Biasanya sampai jam 12. Tapi kalau ada jadwal bola malah sering nggak tutup seharian seperti warung madura,” kenangnya.
Warmindo banyak menyimpan kesan baik
Memang, layaknya warung kelontong madura, keberadaan warmindo begitu menjamur di kota seperti Jogja, Solo, dan Semarang. Di sekitar kampus, keberadaannya ada di hampir setiap sudut jalan. Menjadi pilihan utama para mahasiswa untuk kebutuhan makan harian.
Mojok pernah melempar pertanyaan seputar kenangan di warmindo lewat Twitter. Ada banyak cerita yang warganet bagikan. Kebanyakan di antara mereka berbagi kenangan tentang betapa besar peran warmindo menemani mereka saat mahasiswa.
Ada yang bercerita bahwa Aa warmindo seperti sudah jadi teman sendiri. Saat memasuki semester tua, sebagian teman sudah lulus dan cabut dari kota, Aa warmindo hadir untuk menemani kesepian mereka yang belum tamat skripsinya.
Selain itu, kebaikan sederhana seperti menggratiskan kerupuk, gorengan, sampai memberi bonus lauk saat makan sahur selama bulan Ramadan. Beberapa warganet bahkan mengatakan bahwa mereka boleh berhutang.
Mahasiswa Universitas Negeri Semarang, Firman Aji (25) bercerita, kalau dulu sempat rutin berhutang di warmindo yang letaknya tepat di depan kontrakannya tinggal. Warung itu bernama Warmindo Inyong, meski namanya bergaya Banyumasan, tapi pemiliknya dari Kuningan.
Saking dekatnya dari kontrakan, Firman dan enam teman lainnya kerap pesan lewat pintu belakang warmindo. Tinggal mengucapkan pesanan dan meninggalkan uang, maka makanan pun terhidang.
Warmindo yang mengizinkan untuk berutang
Kadang kala, mereka kehabisan uang. Kebetulan saja warmindo itu, mengizinkan mereka untuk berutang. Awalnya sesekali, lambat laun nyaris setiap kehabisan uang mereka berutang.
“Sampai ada di titik, kita hampir nggak seperti transaksi jual beli langsung. Kalau punya uang pun, kita kadang pesan, baru nanti selang beberapa jam atau keesokan harinya baru bayar,” kenang Firman.
Warmindo sudah bertransformasi jadi dapur darurat mereka tatkala sedang masa prihatin. Hal itu sangat membantu mereka, meski kadang Firman mengaku tak enak hati. Hal itu lantaran sang Aa’ juga jarang menagih.
Mereka mengontrak di rumah itu sampai awal 2020. Saat pindah, Firman dan teman-temannya mengaku masih punya utang beberapa porsi makan. Tapi mereka belum berencana untuk langsung melunasinya. Hal itu, berlangsung sampai setahun lebih.
“Sekarang kami sadar, ternyata ya zalim juga. Sering lupa bayar saking terbiasanya,” ujar Firman dengan nada sesal.
Sampai suatu ketika, di tahun 2021, mereka berkumpul kembali. Momen nongkrong bersama yang sudah jarang mereka lakukan sejak berpisah tempat tinggal. Saat itulah, salah satu di antara mereka teringat utang di warmindo.
“Kita akhirnya bareng-bareng berkunjung ke sana dengan niat membayar utang dan meminta maaf. Tapi ternyata, warmindo itu sudah tidak ada, kiosnya beralih jadi tempat laundry,” kenangnya.
Firman merasa menyesal. Ia tak tahu ke mana perginya sang pemilik warmindo. Namun, ia punya komitmen, andai suatu saat, bisa berjumpa kembali, selain membayar utang, ia ingin memberikan sesuatu yang lebih bagi Aa’ warmindo dan keluarganya.
Pada 2019, ia ingat, sang Aa’ punya anak yang masih kecil. Barangkali takdir mempertemukan, ia ingin memberikan sesuatu yang berharga untuk sang anak. Baginya, keluarga warmindo itu punya jasa yang amat besar dalam hidup.
Saat ini, sepengamatan saya memang tak banyak warmindo yang menerima bon. Hal itu kerap tertulis di etalase kaca tempat menata lauk-lauk. Bon, meski membantu, memang kerap terlupa sehingga menjadi kerugian bagi pemilik warung.
Akrab dengan pelanggan
Di sebagian warmindo yang saya kunjungi, memang tampak relasi yang akrab antara penjual dan pembeli. Salah satunya di Burjoan Babarengan yang terletak di Condongcatur, Sleman.
Seorang Aa’ bernama Ari (26), tampak ringan menyapa pelanggan-pelanggan yang datang. Bahkan Ari hafal sebagian nama pelanggan. Sebelum pelanggan memesan, Andri seperti bisa menebak apa yang hendak mereka minta.
Lelaki asal kuningan itu memang sejak lulus SMP sudah membantu mengelola warung ini. Usia yang masih muda, membuatnya bisa akrab dengan mayoritas pelanggan dari kalangan mahasiswa. Beragam obrolan, mulai dari gim sampai urusan bola.
Ari yang merupakan fans Persib Bandung kerap bertukar pendapat dengan sebagian mahasiswa yang kebanyakan Sleman Fans. Bersama pelanggan, malam panjang ia habiskan.
Di warmindo lain, saya berjumpa dengan Maman Suniman (55). Lelaki asli Kuningan ini sejak remaja sudah jadi pegawai warmindo di berbagai kota. Sampai akhirnya pada 2019, ia bekerja di Burjo Kabita yang terletak di Jalan Perumas, Sleman.
Puluhan tahun menjaga warmindo, Maman melihat bahwa aspek pelayanan dan kedekatan dengan pelanggan adalah hal penting yang memang perlu dimiliki setiap Aa’. Usia sudah beranjak senja, tapi harus tetap berusaha untuk nyambung saat ngobrol dengan mahasiswa dan anak muda.
“Jadi, memang selain urusan masakan, utamanya itu di service. Pelayanan harus baik,” ujarnya.
Tak heran, apabila banyak kisah indah terekam di bangku-bangku usang warmindo. Kisah susah dan senang yang beriringan dengan dinamika kehidupan mahasiswa. Semoga mereka tak lupa jasa-jasa Aa’ dari Kuningan saat sukes kelak.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Mengungkap Alasan Warung Burjo dan Warmindo Kuningan Tidak Jualan Bubur Kacang Hijau Lagi dan reportase menarik lainnya di kanal Liputan.