Apa jadinya kalau mahasiswa asal Malang dan Jogja yang medok memaksakan diri pakai bahasa gaul Jakarta, macam “lo-gue” dalam komunikasi sehari-hari? Orang menyebut fenomena ini dengan sebutan bahasa Jawakarta.
Mojok berbincang dengan tiga mahasiswa yang biasa berbahasa Jawa medok kemudian mencampuradukannya dengan bahasa gaul ala ibu kota. Kami juga berbincang dengan dua mahasiswa asal Jabodetabek yang kuliah di Yogyakarta dan Malang tentang bahasa pergaulan mereka sehari-hari.
***
Meski nggak ada sebutan resmi, saya menyebut fenomena bercampurnya bahasa gaul ala Jakarta dengan bahasa Jawa sebagai fenomena Jawakarta di liputan ini.
Jawakarta merupakan fenomena bahasa pergaulan, baik di Jakarta sendiri maupun di Jawa yang mencampurkan bahasa gaul Jakarta (Betawi) dengan bahasa Jawa.
Di tempat saya kuliah, Universitas Brawijaya (UB) di Malang, Jawa Timur, khususnya di lingkungan sosial humaniora, Jawakarta adalah hal biasa. Saking masifnya penggunaan Jawakarta, teman-teman saya sampai berseloroh “Kampus kita serasa di Jakarta, ya.”
Begitu juga yang terjadi di Universitas Gadjah Mada (UGM) yang notabene letaknya di Yogyakarta. Selanjutnya, meski secara geografis Jakarta berada di Pulau Jawa, tentu kita sama-sama paham bahwa masyarakat Jakarta dan sekitarnya tidak menyebut dirinya orang Jawa. Jadi meskipun Yogyakarta atau Malang satu pulau dengan Jakarta, ya tetap namanya merantau ke Jawa.
Dosa berat arek Malang
Sebagai arek Malang, Fernanda (22) pernah melakukan sesuatu yang ia anggap sebagai ‘dosa berat’. Ia lebih tergila-gila dengan bahasa gaul ala anak Jakarta daripada fasih berkomunikasi dengan bahasa walikan khas Malang. Semua gara-gara teman-temannya yang menilai mukanya terlalu garang, tapi logatnya medok!
Saya mengenal Fernanda karena sama-sama kuliah di Fisip Universitas Brawijaya.
“Jadi gara-garanya banyak anak Jabodetabek kuliah di UB kan, terutama di Fisip. Teman-teman kuliah juga kebanyakan dari sana,” kata Fernanda. Suatu kali, ada seorang teman yang memperhatikannya.
Temannya ini orang Jakarta. Fernanda sedang termenung saat itu. “Muka lu garang, tapi medok banget,” kata Fernanda menirukan omongan temannya. Fernanda tersentak mendengar celotehan temannya itu
Omongan itu membuatnya insecure. Gara-gara itulah ia kemudian lebih banyak berkomunikasi menggunakan “lo-gue” dibandingkan “aku-kon”. Ia bercerita pengalaman di latihan pertama dengan Lembaga Semi Otonom (LSO) tim basket fakultas. Dengan sok asiknya ia bercakap-cakap, “Lo anak mana?” tentu dengan sentuhan medok. Ia bahkan sempat saling barter pengetahuan bahasa dengan temannya dari Tangerang dengan mengasimilasi dialek Jakarta.
“Kalau aku merasa dapat Jakartanya dari temanku ya karena merhatiin dan niruin cara bicaranya, sih. Kayak misal “ya” di kalimat “duluan ya” itu jadi “yak”, “gak” jadi “kagak”, terus pakai kata seceng, goceng, ceban,” terangnya.
Kalau dibahasakan Jawakarta mungkin bisa jadi, “Gue nyilih duit lu ceban yak.”
Ia pun kemudian bertukar pengetahuan dengan menyisipkan kata “oke” jadi oyi, “sebentar” jadi sek pada temannya itu.
Kapok Jawakarta
Awalnya ia biasa dan oke-oke saja menggunakan Jawakarta. Lalu pada titik tertentu Fernanda mulai merasa tak nyaman. Apalagi ada trigger dan candaan teman non-Jabodetabeknya.
“Arek Malang ngomong lo gue.”
Omongan itu kembali membuatnya nggak nyaman. “Nggak leluasa (ngomong lo gue), kayak ada sesuatu yang aku kubur. Akhirnya aku mikir, untuk berkomunikasi lancar nggak perlu memaksakan diri. Akhirnya nyoba gimana caranya biar nggak memaksakan diri, nggak menghilangkan esensi diri sendiri,” kenangnya.
Sebagai arek Singosari (Kabupaten Malang) sejati yang kebetulan kuliah di Malang juga, Fernanda berpikir bukan dirinya yang perlu beradaptasi. Ia tak tutup mata pada kenyamanan teman-temannya. Namun, ia tetap ingin jadi inklusif tapi dengan cara yang lain.
Kepada saya, Fernanda mengungkapkan harapannya agar orang-orang yang pernah dia ajak bicara “lo-gue” kehilangan memorinya. “Sekarang kalau ingat masa-masa itu, aku maluuu,” katanya tertawa.
Lain lagi dengan Gredyon (22), mahasiswa Ilmu Komunikasi di Malang yang tak sengaja menggunakan diksi bahasa Jawa dengan teman-teman Jabodetabeknya saat menanyakan tenda, “Eh, teropnya mana?” tanyanya. Alhasil membuat dahi teman-temannya berkernyit bertanya-tanya. Atau temannya yang keceplosan “Lo mau nangdi? (Kamu mau kemana)”
Sebenarnya bukan kali ini saja saya menyimak maupun mendengar percakapan Jawakarta. Tapi setiap kali diceritakan kembali dengan kisah yang sama atau baru, saya tetap tak bisa menahan rasa geli.
Hampir sepanjang masa kuliah, saya akrab dengan lalu-lalang percakapan sejenis “Iyo, gue enggak eroh (Iya, saya tidak mengerti)” atau seloroh “gue tunggu lo di enggok-enggokan Gajayana (aku tunggu kamu di persimpangan Gajayana)” dengan atau tanpa penutur yang tak jarang medok mulai dari level 1 sampai 8.
Trik berteman sampai kepengin membuat nyaman
Zaki (22) kurang lebih punya pengalaman sama. Ia memutuskan dirinyalah yang perlu beradaptasi dengan ikut menggunakan “lo-gue” demi kelancaran komunikasi. Di tempat kuliahnya, lebih banyak mahasiswa yang bukan berasal dari Jawa. Ia merasa dampak besarnya jumlah mahasiswa Jabodetabek memberikan sumbangsih pada fenomena Jawakarta di lingkungannya.
Mengapa bukan mereka (anak Jabodetabek) saja yang menyesuaikan diri dengan bahasa setempat? Zaki merasa hal tersebut memang mungkin perlu dipikirkan tapi ia menyebutnya ‘penggunaan by context’ dimana ia merasa tak ada salahnya juga menggunakan “lo-gue” di tengah kampusnya yang berada di Yogyakarta.
Fernanda, Gredyon, dan Zaki berangkat dari kacamata yang serupa meski tak persis sama. Awalnya ingin membuat satu pertemanan yang nyaman bagi teman-teman Jabodetabek yang tak biasa pakai bahasa Jawa atau pakai “aku-kamu”.
“Aku tau ada orang Jakarta itu risih pakai ‘aku-kamu’, kalau aku pakai ‘lo-gue’ nggak ada masalah, toh,” ujar Gredyon yang circle pertemanannya memang Jabodetabek abis. Gredyon mengatakan, memaksakan diri menggunakan bahasa Jawa atau “aku-kamu” secara nggak langsung mengurangi circle pertemanan. Ia menghindari hal itu.
Ketiganya mengamini inilah cara terefektif buat menjangkau dan membuat nyaman. Tak peduli apakah Fernanda dari Malang, Gredyon Probolinggo atau Zaki Yogya asli. Trik berteman ini nyatanya efektif memperluas relasi pertemanan mereka.
Baca halaman selanjutnya…
Dari ngotot “lo-gue” akhirnya belajar bahasa Jawa
Dari ngotot “lo-gue” akhirnya belajar bahasa Jawa
Abdul (23) dari UB dan Almarizti (21) dari UGM adalah mahasiswa asal asal Bogor dan Jakarta Selatan yang saat ini telah menyerap bahasa Jawa sekitar 60 persen. Tadinya mereka kaum yang kekeuh menggunakan “lo-gue” di tahun pertama kuliah.
Abdul awalnya bertahan dengan bahasa “lo-gue” yang biasa ia pakai di tempat asalnya. Namun, kadang-kadang Abdul mendapat gestur risih dari lawan bicaranya.
“Semenjak itu, aku agak membatasi hubungan dengan orang yang nggak terbiasa dengan ‘lo-gue’. Cuma ngobrol sama orang Jabodetabek atau orang Jawa yang menerima ‘lo-gue’ itu,” katanya.
Setahun pertama di Jawa menjadi fase yang sulit bagi Abdul. Namun, pada suatu titik tertentu ia merasa tak bisa meneruskannya. Apalagi saat tugas kelompok semakin banyak dan ia menyadari tak bisa terus-terusan membatasi diri. Ia mengingat sebuah pepatah yang dekat dengan kondisinya saat itu, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung.
“Nggak bisa sombong dengan harus membawa budaya asal ke tempat orang,” ucapnya menambahkan. Ketika Abdul membayangkan lagi untuk kembali ke masa tersebut, ia justru merasa dirinya sebagai sosok arogan.
Alma bercerita kalau di jurusannya banyak orang Jawa dan non-Jawa. Lingkungan yang beragam ini membuatnya merasa perlu beradaptasi menyesuaikan diri.
“Aku merasa nggak etis tetap mempertahankan ‘lo-gue’ di tengah keberagaman mahasiswa,” ungkapnya kepada saya. Mahasiswi Jurusan Ilmu Aktuaria ini menganggap dirinya yang perlu menyesuaikan diri. Meski tak dipungkiri ia kadang salah paham karena sulit membedakan temannya yang memang pakai bahasa Jawa kasar dan sedang marah. Khususnya penggunaan kata jancuk atau jancok kira-kira seperti “wes mangan a, cok?” atau “rambutmu kok ngono sih, cok?”
Bukan tanpa tantangan ketika Abdul harus bisa switch bahasa dengan lugas sesuai dengan orang yang diajak bicara. Pernah di suatu waktu dia keceplosan menyebut temannya dengan ‘kamu’. Alhasil dia berakhir dengan ejekan bercanda dari teman-teman dari daerah asalnya. “Eh, Jawa Jawa!” kenangnya tertawa.
Kini Abdul sudah bisa bercakap-cakap dengan bahasa Jawa atau Jawakarta, minimal saat pulang kampung ke Bogor, ia bisa ngobrol dengan tukang nasi goreng. Sekali waktu, ia mengajak tukang nasi goreng tersebut bercakap dalam bahasa Jawa dan berakhir dengan dapat bonus sosis tapi harga nasgor biasa.
“Lumayan privilege,” ujarnya senang.
Jawakarta adalah fenomena cara berpikir
Saya mewawancarai Abdul Hair, Dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Brawijaya khususnya kajian cultural studies. Terkait Jawakarta, menurutnya, Jakarta bukan persoalan wilayah tapi fenomena cara pikir. Di kampus tempat ia mengajar, fenomena seperti ini hampir nyaris tak ada perlawanan. Memang ada yang mengeluh dan merasa janggal. Namun, sebagian orang tetap percaya bahwa Jakarta termasuk “lo-gue” adalah cara pikir modern.
Memandang fenomena Jawakarta, kata Abdul Hair, perlu melihat Jakarta secara epistemik atau reduksi secara kasar adalah fenomena cara berpikir dan bukan sebagai wilayah.
“Koncoku loh, Duro (Madura), lo gue lo gue, loh,” katanya ikutan curcol di sela-sela wawancara.
Hal ini bukan Jakarta versus daerah tapi pusat versus pinggiran, yang mana cara berpikir pusat tidak harus terjadi di Jakarta tapi bisa di mana saja, baik di Malang atau Jogja. Maka tidak heran ada atau tidaknya penutur bahasa gaul, penggunaan “lo-gue” tetap bisa tumbuh subur seperti tanaman yang rajin disirami.
Berdasarkan observasinya selama jadi dosen bertahun-tahun, Abdul Hair menjelaskan beberapa alasan singkat kenapa fenomena Jawakarta bisa terjadi. Pertama, dimulai dari jumlah mahasiswa asal Jabodetabek yang tak bisa dibilang kecil. Tadinya hanya bicara “lo-gue” sesama penutur, tapi lama kelamaan, non-Jabodetabek ikut menyerap bahasa ini. Jawakarta juga tidak mengharuskan kehadiran orang Jakarta daalam sebuah percakapan.
Kedua, secara khusus, ada organisasi-organisasi yang menghimpun jurusan di tempatnya mengajar kebanyakan isinya mahasiswa Jabodetabek. Dari pengamatannya, untuk menang suara di himpunan tersebut memang tak perlu jadi orang Jakarta dulu, yang penting punya pola pikir Jakarta. Ia sendiri bersinggungan dengan orang-orang tersebut sehingga dapat mengambil kesimpulan demikian.
Saya bertanya, cara pikir Jakarta itu apa, sih? “Cara berpikir yang menganggap jakarta adalah simbol modernisasi sehingga orang-orang ingin naik kelas dan cara naik kelas paling mudah adalah dengan bahasa,” katanya.
“Lo-gue” untuk modal sosial dan ekonomi
Pierre Bourdieu seorang sosiolog, antropolog dan filsuf Perancis memperkenalkan konsep modal sosial yang bisa dikonversi menjadi modal ekonomi.
“Nah, dalam kasus Jakarta, orang lebih susah dapat modal ekonomi kalau masuk di lingkungan (pertemanan) luar Jakarta. Kenapa orang lebih pengin jadi Jakarta karena konversi ekonomi lebih mudah dan peluang kerja buat jurusan tertentu (soshum) itu memang ada di Jakarta,” katanya menerangkan.
Jadi memang masuk akal kalau Jawakarta secara tidak langsung menjadi trik berteman dan trik memperluas relasi, seperti yang dipikirkan Fernanda, Gredyon, dan Zaki.
Apakah ini juga pengaruh dari media massa? “Media Jakarta sentris sudah lama, tapi fenomena ini Jawakarta ini baru ada sekarang. Jadi media bukan penyebab utamanya. Media ibaratnya sebagai mikrofon saja,” terang Abdul Hair lagi.
Reporter: Ussy Sara Salim
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Cerita Mahasiswa yang Nggak Ikut Wisuda karena Merasa Nggak Sakral-sakral Amat dan reportase menarik lainnya di kanal Liputan.