Kalau semua desa di DIY melakukan apa yang dilakukan Desa Panggungharjo dalam pengelolaan sampah, niscaya Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan tanpa sampah. Kelurahan ini mengajak warga turut mengelola sampah dan bisa menukarnya dengan emas. Mereka juga mempekerjakan mantan begal Alas Roban hingga orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
***
Begal dan ODGJ yang bekerja di tempat pengelolaan sampah
Namanya Ahmad Yulianto (52), tapi akrab di panggil Amat. Siang itu saya melihatnya tengah mengangkut pupuk kompos di area Kelompok Usaha Pengelolaan Sampah (Kupas) Panggungharjo, Sewon Bantul. Tampangnya sangar.
Lengan dan lehernya penuh tato. Informasi yang saya dapat, ia pernah masuk penjara berkali-kali. Pernah jadi begal di Alas Roban. Bahkan ia pernah belasan tahun ada di balik jeruji besi.
Saya menyapanya dan meminta izin untuk berbincang di waktu istirahatnya. Kami kemudian duduk di halaman Kupas Panggungharjo.
“Saya bersyukur bisa gabung di sini sejak akhir 2017 lalu,” kata Amat menjelaskan kenapa bisa jadi pekerja di Kupas Panggungharjo.
“Dulunya, saya malang melintang di jalanan. Melakukan hal yang di luar batas kemanusiaan. Tapi Alhamdulillah, 2017 itu saya terkena operasi gabungan dari Satpol PP,” sambungnya.
Sejak terciduk dari jalanan, Amat lalu masuk ke tempat rehabilitasi milik dinas sosial. Petugas memberinya tawaran untuk bekerja. Amat yang ingin memulai hidup baru pun menyambut tawaran tersebut. Hingga akhirnya ia diterima sebagai pegawai di Kupas Panggungharjo.
Ia merasa bersyukur karena pihak Kupas tidak mempersulitnya untuk bekerja. Padahal saat itu, ia pun tak punya keluarga, rumah, bahkan kartu identitas. Amat kemudian mendapat bantuan sehingga bisa memiliki KTP beralamatkan Panggungharjo.
“Orang jalanan seperti saya, nggak jelas alamatnya, bisa diterima. Saya merasa belajar banyak untuk hidup normal dan bergaul dengan masyarakat,” ujar Amat.
Amat adalah satu dari 35 warga yang tergabung di bumdes ini. Manajer Kupas Panggungharjo, Sekar Mirah Satriani yang menemani saya mengatakan para pekerja datang dari beragam latar belakang. Mulai ODGJ, difabel, sampai mantan narapidana, semua bisa bekerja dan mendapat upah sesuai UMK.
Sekar menunjukkan sebuah video di ponselnya yang menunjukkan seorang pekerja dengan kondisi ODGJ bernama Mila yang tengah bekerja. Pada video itu, tampak Mila sedang marah-marah, tapi pekerja lain memakluminya.
“Bahkan di sampingnya itu ada pekerja lain yang terlihat cuek sekali. Ya dia memang tidak bisa mendengar omelan Mila. Dia namanya Erika, kebetulan memang bisu dan tuli,” ujarnya tersenyum.
Sejarah pengelolaan sampah Panggungharjo
Saat menginjakkan kaki di area Kupas Panggungharjo, mata ini memandang tumpukan sampah di sejumlah titiknya. Para pekerja juga sibuk melakukan tugas memilah hingga menggotong sampah yang sudah tersortir.
Ada banyak pekerja yang tampak baru kembali bertugas setelah jeda istirahat siang. Sekilas terlihat datang dari beragam latar belakang. Saya berkunjung ke sana pada Jumat (10/2) sekitar pukul 13.00.
Di antara pekerja, banyak sampah berserakan di sekitar mesin-mesin pemilah dan pencacah. Namun, saat indera penciuman saya mengendus, bau menyengat tidak begitu terasa. Berkeliling tanpa menggunakan masker pun tak membuat hidung saya terganggu. Memang ada bau sampah, tapi tak semenyengat biasanya.
Hal ini bisa terjadi lantaran, pengelolaan sampah yang tergabung dalam Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Panggungharjo ini punya sejumlah strategi khusus. Tempat yang letaknya tak jauh dari permukiman, membuat mereka merancang pengelolaan dengan matang supaya tak mengganggu masyarakat.
Untuk mengetahui rahasia di balik ciamiknya Kupas Panggungharjo dalam mengolah sampah, saya berbincang dengan Sekar panjang lebar.
Sejak 2013, desa yang terletak di Kapanewon Sewon ini mulai melakukan pembenahan di sejumlah aspek. Mereka mendirikan bumdes sebagai salah satu pilar ekonomi desa. Kupas jadi bumdes pertama yang berdiri di antara banyak bumdes lain yang akhirnya menyusul.
“Pengelolaan sampah sejak awal memang jadi visi jangka panjang Pak Lurah Wahyudi Anggoro. Jadi pertama kali, langsung menginisiasi ini,” kata Sekar.
Saat awal berdiri, gagasan pengelolaan sampah lewat Kupas membuat Panggungharjo mendapat perhatian. Setahun berselang, Kupas jadi salah satu modal Panggungharjo meraih juara satu Lomba Desa Tingkat Nasional.
Dulu memang sampah menjadi isu besar di desa ini. Sepanjang jalan desa di pinggiran sawah terdapat banyak tumpukan sampah. Menimbulkan bau menyengat yang meresahkan. Bukan hanya bagi sebagian masyarakat, tapi juga orang luar yang datang. Sebab tumpukan sampah itu berada di jalan yang tergolong strategis dan jadi pintu masuk desa.
“Pokoknya dulu lewat di jalan itu baunya, masyaallah sekali,” kenang Sekar dengan ekspresi prihatin.
Pengelolaan sampah itu pun berlanjut dan berkembang perlahan. Lima tahun berjalan sampai 2018, sistem pengelolaan sampah di sini juga belum begitu lengkap dan terintegrasi.
Slogan Desa Bersih Tanpa TPA
Pada masa itu, Kupas Panggungharjo masih mengandalkan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) TPST Piyungan sebagai pembuangan akhir. Belum ada pengelolaan mandiri yang menghasilkan sejumlah luaran yang bernilai ekonomi.
Namun, pengurus melihat tantangan jangka panjang, TPST Piyungan yang menjadi destinasi terakhir sampah dari Sleman, Yogyakarta, dan Bantul beberapa tahun belakangan mengalami banyak permasalahan. Terutama terkait kapasitasnya yang tak lagi mampu menampung volume sampah masyarakat yang semakin melimpah.
Hal itu tampak dari meluapnya sampah di beberapa titik TPS seperti Lempuyangan dan Purawisata. Pada waktu-waktu tertentu, penuhnya TPST Piyungan membuat sampah di TPS betul-betul menggunung. Bahkan sampai berserakan di badan jalan. Menimbulkan bau tidak sedap bagi pengendara yang melintas.
“Kita sudah mulai mikir kalau TPST Piyungan tidak bisa kami harapkan. Kalau tutup bagaimana? Akhirnya sistemnya mulai kami optimalkan,” jelasnya.
Panggungharjo kemudian punya komitmen lewat slogan “Desa bersih Tanpa TPA”. Bumdes Kupas menjadi ujung tombak untuk membuat sampah dari masyarakat terkelola tanpa terpengaruh kondisi TPA.
Kupas mengelola tiga kategori sampah menjadi bernilai ekonomi. Pertama, sampah organik yang berupa sisa makanan dan sampah dapur. Kedua, sampah residu yakni sampah anorganik seperti sobekan plastik yang tidak memiliki nilai ekonomi. Ketiga, sampah anorganik rongsok yang masih bisa dijual kembali.
Mengolah residu sampah jadi paving
Sampah organik di Kupas diproses menjadi sejumlah produk seperti pupuk kompos, media tanam lunak, dan media tanam komplit. Ketiga produk ini memiliki kemasan khusus yang membuatnya menarik dan bernilai jual baik.
Selain itu, sampah organik yang tidak bisa menjadi produk tadi juga masih bernilai. Kupas menjualnya ke tempat budidaya maggot. Setiap ember berisi sekitar delapan kilogram sampah organik bernilai Rp10 ribu sampai Rp12 ribu.
“Kami juga berencana, mulai budidaya maggot. Rencananya pertengahan 2023 nanti,” ujar Sekar.
Selanjutnya, Kupas mengolah sampah kategori residu menjadi sebuah produk paving. Sampah residu terpilah yang mengalami proses pembakaran. Setelah itu proses pencetakan yang menghasilkan paving bernilai Rp10 ribu per biji. Sebulan, Sekar menaksir Kupas bisa menghasilkan 4.000 biji.
“Kami baru mulai pembuatan paving itu sejak awal tahun ini. Sudah ada pemesannya, jadi memang ini lumayan untuk jadi pemasukan usaha,” paparnya.