Ada 1001 alasan untuk menyebut mengapa skripsi tak selesai-selesai. Salah satu jawaban bijak yang biasa terdengar adalah, semua orang berhak menentukan kapan dia lulus. Lulus cepat maupun lulus lama, pasti punya jalannya masing-masing.
Namun, tidak sedikit alasan skripsi tak kunjung selesai karena faktor dari dosen pembimbing. Mojok berbincang dengan tiga mahasiswa semester akhir dari tiga kampus berbeda di Yogyakarta. Mereka adalah Rafi, mahasiswa semester 11, Selena mahasiswi semester 9, dan Abu mahasiswa semester 13.
***
Abu dengan santai menenteng Surat Keterangan Pernah Kuliah (SKPK) ke tongkrongannya. Idealnya, surat tersebut ia terima karena dianggap tidak sanggup menyelesaikan studi sesuai waktu yang telah ditentukan. Bahasa kasarnya drop out (DO). Namun, ia punya cerita lain, kepada saya sambil tertawa, pria berjanggut tebal itu menceritakan semuanya.
Ganti judul karena dosen menilai terlalu politis
Pada mulanya ia pertama kali mengajukan judul skripsi itu di semester 10. Judulnya diterima bahkan sudah mengerjakan sampai Bab 3. Artinya, sebentar lagi ia akan menjalani seminar proposal (sempro). Namun, saat bimbingan di Bab 3 itu, dosen pembimbing (dosbim) meminta mengganti judul karena judul yang ia pilih dianggap terlalu politis.
Bingung bukan main, ia merasa dengan judul yang pertama bisa mengerjakan dengan mudah. Variabelnya sudah ada, dan tempat mengumpulkan datanya pun dia sudah tahu. Bercampur rasa kesal akhirnya Abu mengalah. Di semester 11, ia mengganti judulnya dan harus mengulang lagi dari awal.
“Bingung terus nggak tau harus mulai dari mana. Tapi tetap intens nanyain ke pembimbing. Kan tanggung jawabnya bimbing mahasiswa ya. Ya hampir setiap hari tak tanyain. Rasa kesel sih ada. Karena alasannya terlalu politis gitu,” katanya kesal.
Semester sudah terjepit, sementara dengan bergantinya judul makin membuatnya lulus lebih lama. Atas saran dosen pembimbing, ia meneliti perkara alih fungsi lahan se-kabupaten. Judul yang sebelumnya hanya membahas satu kecamatan saja. Diceritakannya lah hal ini kepada atasan di tempat Abu magang.
“Itu kamu cocoknya jadi PNS Dinas Agraria dan Tata Ruang. Bukan mahasiswa skripsi. Terlalu berat soalnya. Ini emang proyek gede ini. bukan proyek mahasiswa skripsi,” jawaban dari atasannya ketika ia menceritakan hal tersebut.
Dengan jawaban itu, ia merasa sedikit down. Menganggap bahwa skripsinya tidak akan selesai. Ia tetap menyelesaikan skripsinya meski ala kadarnya saja. Apalagi penelitian ini sama sekali tidak mendapat dana dari pihak manapun. Termasuk kampus.
“Yaudahlah seadanya aja. Orang gak dikasih duit sama kampus juga. kan skripsi sebenarnya cuma syarat administrasi sih,” ujarnya.
Terhalang sidang karena mata kuliah yang harus ngulang
Hari demi hari berjalan, akhirnya Abu bisa menyelesaikan skripsinya. Langkah terakhir yang ia ambil hanyalah tinggal sidang akhir. Namun, itu semua terhalang oleh mata kuliah yang harus ngulang. Sementara semesternya sudah mencapai angka 12. “Ku kira masa studi ku itu cuma 12 semester,” ucapnya.
Ia bercerita kepada saya bahwa ia harus mengulang 15 SKS. Sebenarnya bisa dilakukan dengan mudah. Tinggal mengulang saja. Sialnya pergantian kurikulum membuat hal ini sedikit rumit. Mata kuliah yang bermasalah sebelumnya, tidak ada lagi ada di kurikulum baru. Karena hal ini ia mengurusnya ke jurusan.
“Aku menghubungi bagian admin. Pak, ini kira-kira bisa keluar nggak nilainya Waduh udah ganti kurikulum. Jadi kurikulum baru udah beda dengan yang lama,” tuturnya saat mempraktikkan bicara dengan admin jurusan.
Sebelumnya, saat di semester 9, angka 15 SKS itu sebenarnya bisa berkurang. Ada nilainya yang tidak keluar di sistem. Untuk mengeluarkannya, kampus Abu menyediakan keringanan seperti remedial. Abu tinggal mengerjakan tugas tambahan.
Semua sudah ia kerjakan dan bahkan sudah direspon “oke” oleh dosen pengampu. Namun, nilainya tetap tidak bisa keluar. Abu kebingungan, sebab mau protes pun dosen pengampunya saat itu sudah pensiun.
“Akhirnya aku ngulang. Keburu pensiun. Padahal selang beberapa hari doang sebelum pensiun ngumpulin tugas,” ujar mahasiswa semester 13 itu.
Sempat mau DO atas keinginan sendiri
Oleh jurusan di kampusnya, ia mendapat saran yang sedikit mengejutkan. Yaitu dengan pengajuan Surat Keterangan Pernah Kuliah (SKPK). Setelah itu nanti pakai sistem Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) untuk mendapatkan nilai dari mata kuliah yang bermasalah. Masalahnya, RPL ini lumayan memakan biaya. Karena itu Abu kebingungan.
“Akhirnya direkomendasikan suruh pengajuan SKPK. Jadi DO ini atas permintaan aku sendiri. Kalau udah SKPK nanti ikut RPL,” katanya sambil tertawa.
Oke, karena yang ngasih saran adalah pihak jurusan di kampusnya. Maka dengan berat hati Abu melakukan itu. Karena biaya RPL yang lumayan besar, dengan adanya SKPK tersebut, Abu berniat untuk kerja terlebih dahulu.
Saat sudah bekerja, Abu mendapat informasi kalau masa studinya mendapat penambahan menjadi 14 semester. Ia mendapat kabar dari dosbim skripsinya saat tengah bekerja. Dengan segera kabar itu ia pastikan ke jurusan.
“Saat aku konfirmasi ke akademik. Bu ini ada perpanjangan masa studi. Loh emang segitu mas. Makanya saya bingung kenapa mas Abu ini minta surat SKPK,” kata bagian akademik itu kepada Abu.
Saran yang diterima adalah cepat urus surat pencabutan SKPK. Dengan cepat Abu melakukan hal itu. Akhirnya ia resmi menjadi mahasiswa lagi dari yang sebelumnya akses sistem informasi akademik saja sudah tidak bisa. Kini ia mengulang dan sekelas dengan mahasiswa angkatan 2020, 2019, dan adik kelas yang lain.
Baca halaman selanjutnya
Dosen super sibuk, tiga kali batal sidang di hari H