Apa jadinya jika wartawan, yang sehari-hari bertemu dengan narasumber harus menghadapi stigma karena punya tato di badannya? Kontributor Mojok di Makassar menceritakan bagaimana perlakuan orang-orang, termasuk narasumber terhadap dirinya dan rekannya yang menjadi jurnalis dengan tato di badan.
***
Menjadi orang yang punya tato sebenarnya adalah salah satu dari banyak keinginan saya sejak SMP. Pemicunya adalah, teman sebangku saya yang jago menggambar.
Selain kerap menghiasi meja di kelas dengan gambar seperti Son Goku (Dragon Ball), hingga tulisan warna-warni ala mural, ia juga sering menawarkan kepada kami, anak laki-laki di kelas untuk ditato sepulang sekolah.
“Pergi beli saja Tanco (semir rambut hitam) nanti saya gambarkan,” ucapan yang selalu kuingat saat kulihat kembali tato pertama di lengan kiriku.
Saya memutuskan untuk benar-benar punya tato di tahun ketiga saat menjadi mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta di Makassar, Sulawesi Selatan. Seingatku, pada awal 2010. Tato pertamaku adalah sketsa wajah dari salah satu tokoh gerakan anarkisme, Mikhail Alexandrovic Bakunin.
Saya kagum dengan pemikirannya. Tapi, saya enggan mengkultuskannya. Intinya saya menganggap bahwa anarkisme bukan semata-mata gerakan sosial. Lebih dalam dari itu, bagi saya, ia adalah wadah spiritualitas. Bak rumput yang terus mengakar, tato di tubuhku semakin bertambah.
Tepat di bawah siku lengan kiri bagian dalam, saya kembali memasang sketsa wajah Joker. Di atas keningnya yang mengerut, terdapat tulisan Why So Serious? Saya terkesan dengan Heath Ledger, pemeran Joker sekaligus musuh utama Batman di The Dark Night, 2008.
Bagi saya, Joker adalah pribadi yang acak, kocak dan tak begitu suka dengan sikap sok pahlawan Bruce Wayne yang diperankan Christian Bale. Sekali lagi itu hanya asumsi pribadi yang mengantarkan saya menyisakan ruang di tubuh, menggambar wajah Joker.
Masih di lengan yang sama, saya juga menggambar sketsa bunga serupa kepalan tangan dan pemandangan alam. Gunung, sawah, sungai yang di tengahnya berdiri rumah serta gubuk sederhana. Di sela dua gunung terbitlah matahari, ada seekor burung terbang mencengkram partitur ke angkasa mengelilingi pedesaan.
Bayangkan, betapa kita diantar untuk mengenang memori masa kecil saat diberi tugas menggambar pemandangan oleh guru di sekolah. Alasan itulah yang membuat saya merajah penuh lengan kiri ini. Itu juga salah satu keinginanku kelak. Tinggal di desa yang tenteram, bertahan hidup dengan bertani dan bernyanyi sesuka hati.
Di dada, saya juga membuat tato bertuliskan, God Give Me Streng to Rebel. Saya terinspirasi membuatnya setelah hampir dua bulan bergelut dengan buku biografi Ali Syariati. Bisa dibilang, kata-kata itu adalah rakitan dari pernyataan emosional sang cendekiawan.
Bunyinya kira-kira seperti ini, “Tuhan Berikan Aku Iman yang Kuat Agar Aku Jadi Pemberontak Sejati”. Selanjutnya di perut, tepat di bawah pusar. Saya menggambar simbol huruf ‘A’ dengan sayap di kedua sisinya. Ini sebenarnya sarat makna karena berhubungan dengan spiritualitas.
Awalnya saya berpikir, menjadi orang bertato di lingkungan kampus adalah hal biasa. Tiap hari, mondar-mandir, ikut kuliah hingga aktif di organisasi pecinta alam. Belakangan, kekhawatiran itu mulai muncul saat lulus kuliah di 2013.
Dapat masalah di pekerjaan karena tato
Saya mulai berpikir, tato mungkin akan jadi penghambat karir dalam dunia pekerjaan. Dua tahun sebelum menjadi jurnalis, saya bekerja di dua tempat berbeda. Serupa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), saya menjadi relawan. Barulah di pertengahan 2015, saya dapat informasi dari seorang kawan, kalau ada media lokal di Kota Makassar yang baru berdiri.
Dengan sedikit rasa percaya diri, saya melamar sampai akhirnya diterima. Seingat saya, sebelum tanda tangan kontrak kerja, saya sampaikan kepada pimpinan redaksi yang kebetulan bertugas ganda sebagai HRD perusahaan kalau tidak salah ingat saat itu.
“Saya punya tato, Kak,” kataku. “Tidak masalah, tato itu seni. Bukan pelaku kriminal. Yang jelas kau tidak bikin pelanggaran hukum,” kira-kira begitu pernyataan mantan bos yang saya ingat. Hari-hari sebagai jurnalis pun saya jalani saat itu. Entah apa yang mendorong saya setiap kali liputan saya selalu menggunakan manset. Saya juga tak memungkiri, sedikit cemas kalau teman-teman seprofesi tahu saya punya tato.
Karena saya yakin, tidak semua dari mereka sepemikiran dengan saya. Pernah suatu ketika, saat liputan di Kantor Wilayah Kementerian Agama Sulawesi Selatan, saya ditegur petugas kantor karena tato yang terlihat. Saat itu saya tidak sadar, ternyata lengan kemeja saya gulung.
“Jangan masuk dulu, Dek, minta tolong ditutup dulu itu lengannya,” kata petugas pria yang berjaga di depan pintu masuk lantai dua kantor saat saya hendak meliput kegiatan yang mereka rilis di sana. Bukan malu, tapi saya merasa tidak enak pada diri sendiri hanya karena tato saya ditegur.
Kejadian hampir sama saya alami saat liputan di suatu acara di lapangan Karebosi. Saat akan mewawancara kapolres yang saat itu hadir, tak sengaja manset yang saya gunakan, ujungnya melorot. Kondisi pada saat itu juga sedang berdesak-desakan dengan jurnalis lainnya. Dari belakang saya dicolek olah salah satu anggota polisi. Seingat saya provos pakai baret biru.
“Kita (kamu) wartawan juga?” tanya petugas sambil melihat sinis lengan kiriku yang memegang handphone. Dengan sedikit kesal, saya menjawab, “Iya bang, masa LSM”. Petugas itu pun berlalu sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Di kantor pemerintahan pun, saya pernah mendapat perlakuan serupa. Meski tidak secara langsung, tapi saya mendengar salah satu pegawai negeri sipil berbicara dengan sesama rekannya.
“Wartawan itu kah? Kenapa wartawan ada tatonya?” Saat itu, situasinya saya bersama beberapa rekan jurnalis sedang menunggu gubernur turun dari lantai dua sehabis memimpin suatu pertemuan.
Mendengar itu, saya hanya bisa tertunduk sambil menghela napas dalam-dalam. Saya juga berusaha menahan amarah karena berpikir harus menyelesaikan tugas liputan.
Tak hanya dalam kondisi meliput, di awal karir menjadi jurnalis, saya juga kerap mendapat cibiran dari rekan seprofesi. Baik yang seangkatan, maupun yang lebih senior. Beberapa yang sering saya dengarkan adalah, “Ahh bukan tato itu di tangan mu, tapi panace (stiker) yang dikasih air langsung hilang,” atau, “Kenapakah kau bertato? Nanti salat mu tidak diterima bagaimana? Terus nanti apa yang orang bilang, masa wartawan baru ada tatonya. Kau tidak malu itu?” Pernyataan menyebalkan itulah yang kalau saya ingat, kadang-kadang rasa dalam batin, campur aduk.
Seiring berjalannya waktu, umpatan yang diawal sering saya dengarkan, perlahan sudah tidak pernah terdengar lagi. Mungkin mereka juga sudah tahu dan barangkali capek sendiri. Tapi pada dasarnya, saya sudah berdamai dengan kondisi dan situasi seperti itu.
Saya merasa bersyukur, mereka yang awalnya menganggap saya berbeda, sudah menerima saya dengan kondisi seperti ini. Saya pun membagikan pengalaman ini ke rekan sesama jurnalis bertato. Namanya Gilang Ramadan.
Ditolak jadi wartawan karena punya tato
Saya bertemu dengan Gilang di sekretariat Alianji Jurnalis Independen (AJI) Makassar 18 Desember 2022. Bak penyidik yang sedang mengambil keterangan saksi, saya duduk berhadapan dengannya. Bedanya, perbincangan kami diiringi dengan instrumen klasik Mozart yang saya putar lewat laptop.
Gilang pun mulai mengisahkan sejumlah pengalamannya, menjadi orang bertato dan berprofesi sebagai jurnalis. “Saya bertato itu semester enam saya lupa tahun berapa itu tapi, kalau di kampus saya angkatan 2011,” ujar Gilang sambil meraba tato dengan aksara Jepang di lengan kirinya.
Gilang bercerita, niatnya membuat tato karena kekesalan terhadap cerita-cerita miring orang di lingkungan tempat tinggalnya. “Awalnya ada masalah keluarga, apalagi kan tetanggaku ini omongannya juga menjengkelkan sekali. Makanya saya buat ini. Arti tato ini, orang yang berkata jelek itu menyebalkan,” ucapnya sembari menyeruput kopi dingin tanpa gula, diselingi dengan tertawa karena mengingat momen yang menurutnya lucu.
Seiring berjalannya waktu, sekaligus mengenang masa-masa suram pengalaman menjadi jurnalis, ia kemudian menambah tato lainnya di lengan yang sama. Ada sketsa clapper board atau papan pengambilan gambar, sketsa handphone, dan juga sketsa laptop.
“Pokoknya yang tato semua ini, Kak yang di lengan selain masalah pribadi, saya kayak mengenang dulu bahwa saya pernah di media ini dan apa yang pernah saya alami,” ujar Gilang sesekali menghela napas panjang.
Di tengah obrolan, mata Gilang sedikit berkaca-kaca tatkala mengingat momen saat melamar pekerjaan di salah satu media lokal di Makassar. Namun, ia ditolak karena diketahui bertato. Saat itu ia datang membawa berkas lamaran sekaligus mempersiapkan diri bila diwawancarai langsung pihak perusahaan media. “Saya kan agak gemuk Kak, jadi pakai kemeja tapi lengannya kayak pendek terus kelihatan itu ujungnya ini tatoku sedikit,” kenang Gilang.
Usai ditanyai soal kesiapan menjadi jurnalis kemudian berapa gaji yang diinginkan, pihak redaksi media itu kemudian mempertanyakan sesuatu yang mencolok di lengan Gilang. “Dia tanya setelah dia lihat, ada tatomu dih? Saya bilang, iya ada, Pak. Dia tanya lagi sejak kapan bertato, saya bilang sejak kuliah. Dia bilang lagi, tidak apa-apakah itu orang kuliah tapi bertato. Nah disitu saya rasa kenapa pertanyaannya semakin nggak nyambung dengan urusan pekerjaan,” ungkap Gilang.
Padahal niat Gilang menjadi jurnalis di tempat baru itu, betul-betul bekerja mengaktualisasikan minatnya sebagai jurnalis setelah di perusahaan media sebelumnya, ia tidak digaji selama empat bulan. “Makanya saya melamar di tempat itu. Nah setelah dia tanya itu, dia sampaikan sama saya tunggu paling lama satu minggu lagi perkembangan informasinya,” imbuh Gilang mengingat perkataan pihak perusahaan media, sambil berharap bahwa di tempat baru nanti bisa melanjutkan karirnya sebagai jurnalis.
Sudah lebih sepekan, Gilang belum mendapat kabar tentang perkembangan lamaran kerjanya. Ia kemudian berinisiatif bertanya kerekannya yang kebetulan bekerja di perusahaan media tersebut. “Nah setelah dia (teman) kasih informasi itu, katanya makanya tidak ada informasi sampai sekarang karena saya ditolak. Karena saya punya tato. Jadi itu teman sampaikan ke saya begitu,” lanjut ayah dua anak ini diselingi tawa lepas mengingat momen konyol tersebut.
Dikira anggota LSM dan Tato ditutup lakban
Di momen lainnya, ketika sudah kembali bekerja sebagai jurnalis di tempat lain, Gilang kembali mendapat pengalaman memilukan sekaligus kocak saat bertugas. Kala itu, ia hendak mewawancarai seorang kepala dinas di lingkungan kantor Gubernur Sulsel. Sehari sebelum bertemu, ia sudah lebih dulu menghubungi pejabat itu.
“Jadi buat janjian di kantornya dia kak. Saya datang ke sana mungkin dia (kepala dinas) nda tahu karena saya pakai baju lengan pendek itu waktu, jadi kelihatan tatoku,” ucap Gilang.
Gilang heran melihat gerak-gerik kepala dinas yang gelisah dan sering memegang handphone saat duduk berdua. Usai dipersilahkan duduk, ia menunggu pejabat itu selesai menelpon. Kira-kira 20 menit ia menunggu. Usai menelpon kepala dinas mendadak bertanya ke Gilang.
“Dari LSM mana dek,” kenangnya kembali tertawa. “Saya bilang bukan LSM pak, tapi yang janjian kemarin sama bapak untuk wawancara hari ini, Pak,” kata Gilang.
Kepala dinas tersebut kemudian mengubah sikapnya. Rupanya ia mengira Gilang orang dari LSM karena gayanya berbeda dari wartawan yang lain.
Ia juga pernah diminta menutupi tatonya dengan benda apapun saat akan meliput kegiatan salah satu partai berbasis keagamaan di Kota Makassar. Karena jika tidak, maka ia tak diizinkan untuk meliput.
Mengingat jarak kantor partai yang cukup jauh dari pusat kota, Gilang berupaya memenuhi keinginan petugas pelaksana kegiatan dari partai tersebut. “Karena itu hari saya pakai lengan pendek, jadi mau tidak mau saya akali pergi beli lakban itu kak untuk tutupi ini tatoku,” katanya kembali tertawa.
Serupa orang luka-luka, satu persatu tato di lengan ia tutupi dengan lakban. Penyelenggara kegiatan akhirnya mengizinkannya untuk meliput. Belum usai sampai di situ, di lantai dua tepat di ruang kegiatan itu digelar, Gilang jadi pusat perhatian oleh petinggi partai bahkan rekan sesama jurnalis. “Kayak jadi bahan tertawaan, Kak. Karena penampilanku paling aneh pakai lengan pendek baru tangan dilakban,” lanjutnya tertawa menutupi wajahnya.
Gilang juga pernah tak diizinkan meliput kegiatan anggota dewan di DPRD Kabupaten Gowa. Ia ditahan petugas keamanan kantor karena datang terlambat, tidak menggunakan atribut dan tatonya kelihatan.
Padahal ia sudah berupaya menjelaskan kepada petugas bahwa kedatangannya untuk meliput. “Tapi tetap tidak diizinkan karena dia lihat penampilanku begini dia kira lagi saya dari LSM,” kenangnya kembali.
Sejam lebih menunggu, Gilang bertemu dengan rekan jurnalis lain yang baru turun dari lantai dua gedung usai meliput. “Anak-anak (jurnalis) tanya saja kenapa nda naik. Saya bilang, saya dilarang sama ini bapak petugas keamanan. Katanya saya nda bisa naik karena begini penampilanku, dia kira saya bukan wartawan,” lanjut Gilang sambil mengenang ekspresi petugas keamanan yang memalingkan wajahnya usai mengetahui bahwa ia adalah jurnalis.
Pengalaman di atas adalah sekelumit contoh bagaimana kami belajar bersabar dan berupaya berdamai dengan kondisi. Bagi kami, tato bukan ajang untuk tampil bergaya. Setiap tinta yang mengalir di dalam daging, terkandung filosofi yang cukup sulit diungkapkan lewat kata-kata.
Reporter: Sahrul Ramadan
Editor: Agung Purwandono