Cerita Sejarah Genteng Godean dan Gunung Berjo yang Semakin Pendek

Cerita Sejarah Genteng Godean dan Gunung Berjo yang Semakin Pendek

Ilustrasi Genteng Godean

Kawasan Godean bukan hanya terkenal karena pasar belutnya. Godean juga dikenal karena industri genteng rumahan yang sudah diwariskan secara turun temurun sejak zaman sebelum kemerdekaan. Kini jumlah perajin genteng makin menurun, demikian juga bahan baku yang semakin sulit. 

***

Menelusuri sejarah bagaimana kawasan Godean, di Kabupaten Sleman, Yogyakarta memulai usaha genteng bukan perkara mudah. Saya tidak menemukan sumber literatur yang secara lengkap menceritakannya. Datang langsung ke dua dusun yang dikenal sebagai pionir perajin genteng di Godean menjadi harapan dari pertanyaan besar saya.

Berbekal petunjuk warga, saya menyusuri jalan-jalan kecil untuk menuju Dusun Berjo. Dusun ini konon menjadi salah satu dusun yang pertama kali mengenalkan industri genteng di Godean.  Secara administratif, Dusun Berjo termasuk dalam Desa Sidoluhur, Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. 

Di Dusun Berjo, industri genteng berawal sebelum kemerdekaan

Sepeda motor saya berhenti, tatkala sebuah papan kayu penanda rumah dari dukuh Dusun Berjo Kidul sudah tampak di depan mata. “Aduh, suami saya lagi kerja bakti,” ujar seorang wanita muda. Namun, keberuntungan di pihak saya, suaminya pulang sebelum saya sempat meninggalkan rumah dukuh itu.

Agus Trihandoko (32), menjabat sebagai Dukuh Dusun Berjo Kidul sejak tahun 2019 silam. Ketika saya bertanya, siapa pembuat genteng pertama kali di Dukuh Berjo Kidul ini, Agus, biasa ia dipanggil, mengaku tidak tahu. “Semua sudah dari nenek moyang,” ujarnya.

Pandangan matanya mulai menerawang. “Kalau saya dapat cerita pertama kali dari simbah,” ungkap Agus. Ia tahu persis bahwa mbah buyutnya dulu seorang perajin genteng di Dusun Berjo Kidul. Katanya, saat itu masih genteng keripik, genteng yang dicetak tanpa alat pres.

Berdasarkan cerita dari simbahnya, Agus bisa menyimpulkan bahwa warga Dusun Berjo Kidul saat itu memilih pekerjaan sebagai perajin genteng karena bahan baku atau sumber utama pembuatannya sangat mudah ditemukan. “Rumah saya ini dulunya masih bukit, batasnya parit kecil itu,” ungkapnya menunjukkan kedekatan antara rumah warga dan bukit yang ditambang sebagai bahan baku genteng.

Kata Agus, pertama kali pembuatan genteng di Dusun Berjo Kidul ini dimulai sekitar tahun 1940. Saat itu, warga Dukuh Berjo Kidul yang mayoritas bekerja sebagai perajin genteng mengambil tanah dari Kawasan Cagar Alam Geologi Gunung Gede Berjo. Sedikit demi sedikit, tanah dikeruk dan dimasukkan ke keronjot untuk dibawa dengan sepeda onthel menuju rumah masing-masing. “Tapi, ada juga yang tidak mau repot dan memilih membeli tanah siap olah di Dusun Kwagon,” ungkapnya.

Genteng yang dijemur jadi pemandangan sehari-hari di Dusun Berjo maupun Kwagon. (Brigitta Adelia/Mojok.co)

Ketika kemajuan teknologi sampai ke Dusun Berjo Kidul, sekitar tahun 1990, perajin genteng mulai menggunakan alat pres genteng jenis paris untuk memudahkan dalam pembuatan genteng. Kemajuan teknologi juga membuat warga Dusun Berjo Kidul beralih mengambil tanah menggunakan mobil kol atau pikap, bahkan truk. 

Terhitung sampai saat ini, masih ada sekitar 15 warga Dusun Berjo Kidul yang masih bertahan sebagai perajin genteng.

Hal serupa bahwa Dusun Berjo menjadi cikal bakal perajin genteng di Kecamatan Godean juga diungkapkan oleh Sukamto (55), yang merupakan perajin genteng di Dusun Berjo Wetan. Menurutnya, pembuatan genteng sudah ada sebelum ia lahir, “Dari nenek moyang,” katanya saat saya bertandang ke rumahnya.

Berdasarkan cerita Sukamto, dahulu para tetua-tetua yang membuat genteng, belum seperti model sekarang ini. “Dulu masih genteng AG, biasanya pada nyebut genteng jawa atau genteng keripik,” ungkapnya.  Berbeda dengan sekarang yang sudah memiliki bermacam-macam model, yaitu genteng paris, genteng plentong, genteng mantili, dan masih banyak lagi yang bisa dipilih oleh pembeli.

Menurut Sukamto, pergantian dari genteng keripik menjadi genteng pres terjadi sekitar tahun 1980. Pergantian itu jenis genteng itu bukan hanya perkara teknologi, melainkan mengejar tambahan jumlah genteng yang mampu diproduksi. “Genteng keripik itu lama prosesnya, butuh tenaga fit. Ibarat kalau genteng keripik jadi 200, kalau genteng pres bisa jadi 500,” ungkapnya. Hal itu juga dilakukan untuk memenuhi permintaan genteng yang sedang tinggi pada perajin genteng di Kecamatan Godean antara tahun 1970 sampai tahun 1990.

Sejarah genteng di Dusun Kwagon

Sebelum datang ke Dusun Berjo, saya terlebih dulu blusukan ke Dusun Kwagon. Dusun Kwagon ini berada di sebelah barat Dusun Berjo dan terpisahkan oleh Jalan Godean. Jika Dusun Berjo masuk wilayah Desa Sidoluhur, maka Dusun Kwagon masuk wilayah Desa Sidorejo, sama-sama di Kecamatan Godean. 

Semakin dekat dengan Dusun Kwagon, saya disuguhkan pemandangan deretan genteng yang sedang dijemur di pinggir jalan. Hampir di setiap rumah warga, saya juga melihat ada tobong yang digunakan untuk membakar genteng. 

Dari kejauhan, tampak seorang laki-laki berusia senja yang sedang duduk memandang jalanan dari teras rumah. Perempuan yang lebih muda mengeluarkan genteng-genteng dari gubuk sederhana untuk dijemur di halaman rumah. 

Sunardi Priyanto (79), merupakan tetua di Dusun Kwagon yang masih aktif membuat genteng. “Adang-adang (red: jaga-jaga), kalau tiba-tiba hujan,” ucapnya sembari menunjuk ke arah istrinya yang sedang menjemur genteng. Kata Sunardi, sudah tiga hari ini Dusun Kwagon diguyur hujan. Bahkan tadi pagi gerimis yang turun sebentar, membuatnya harus membereskan kembali genteng yang sudah ditata di halaman. 

“Dulu ayah saya, perintis pembuatan genteng di Dusun Kwagon” ungkapnya. Seingat Sunardi, sekitar tahun 1955, warga di Dusun Kwagon masih bekerja mendong, tani, dan sebagai pengambil tanah dari bukit untuk dibawa ke dusun-dusun di desa sebelah. “Yang aktif membuat genteng itu dulu bukan sini, tapi Dusun Berjo Kidul dan Dusun Berjo Wetan,” tambahnya.

Tobong Milik Pak Sunardi, orang tua dan kakek buyutnya sudah menekuni usaha genteng sebelum kemerdekaan. (Brigitta Adelia/Mojok.co)

Sunardi tahu betul, bahwa di era itu ayahnya adalah satu-satunya orang yang bisa membuat genteng di Dusun Kwagon. Melihat warga yang selepas mengurus sawah hanya mengobrol untuk membunuh waktu, memunculkan sebuah keprihatinan untuk menciptakan lapangan kerja baru. “Oleh ayah saya, disuruhlah mereka yang masih muda-muda pergi ke bukit untuk mencarikan tanah,” ungkap Sunardi.

Saat era itu, transportasinya masih sederhana, hanya sepeda dengan keronjot yang digunakan untuk membawa tanah menuju pinggir sawah, tempat warga berkumpul. Tumpukan tanah hasil menambang tanah di bukit kemudian dicampurkan dengan tanah yang diambil dari sawah. “Ayah saya mulai mengajarkan membuat genteng keripik,” ucapnya.

Membuat genteng keripik memerlukan tenaga besar. Tanah yang sudah tercampur harus terlebih dahulu diinjak-injak sampai halus untuk dapat dicetak. Belum ada mesin, semua masih dikerjakan menggunakan tenaga manusia. Bahkan untuk mencetaknya pun hanya menggunakan tangan dan alat pencetak sederhana berbahan kayu.

Meski harus mengeluarkan tenaga besar, ternyata warga Dusun Kwagon malah tertarik dengan pembuatan genteng. “Semula hanya warga di sekitar rumah, kemudian hampir semua membuat genteng,” ungkap Sunardi. Pembuatan genteng pun menjadi mayoritas pekerjaan warga Dusun Kwagon di luar waktu bertani.

Berjalannya waktu, di tahun 1970 muncul mesin untuk mencetak genteng. Kata Sunardi, mesin itu disebut mesin pres jenis kodok. Sepuluh tahun berselang, muncul mesin pres genteng baru. “kalau yang tahun 1980 disebut mesin pres jenis paris,” ungkapnya. Mesin pres jenis paris inilah yang masih digunakan oleh warga Dusun Kwagon untuk membuat genteng.

Berbicara tentang era 1980, Sunardi mengungkapkan bahwa tahun itu adalah masa kejayaan genteng di Kecamatan Godean. “Sedang banyak-banyaknya orang membangun rumah,” begitu katanya.

Sempat jaya usai gempa di Jogja

Di sisi lain, sejarah pembuatan genteng di Dusun Kwagon juga diungkapkan oleh Suparyanto (44), sekretaris dukuh. “Benar kata Pak Sunardi, genteng di Kecamatan Godean yang pertama memang dari Dusun Berjo,” ungkapnya. Meskipun baru menjabat pada tahun 2019 silam, namun, laki-laki paruh baya itu tampak menjelaskan dengan terperinci ketika saya bertandang ke rumahnya.

“Dulu, mereka (red: para perajin genteng di Kecamatan Godean) ada yang mengambil bahan dari bukit itu,” ucap Suparyanto menunjuk lahan hijau menjulang tinggi yang terlihat dari depan rumahnya. Bukit itu disebut Bukit Bendo Bakungan Kwagon. Warga yang tinggal di sekitar bukit hanya menjadi tenaga pemuat tanah untuk dibawa ke Dusun Berjo.

Berjalannya waktu, warga Dusun Kwagon juga ingin membuat genteng. Namun, saat itu peralatannya masih sederhana, berbahan kayu dan dijalankan dengan tenaga manusia. Barulah tahun 1980-an, muncul alat pres yang disebut alat pres genteng jenis paris. Semakin berkembangnya teknologi, menurut Suparyanto saat ini juga ada alat pres genteng jenis mantili, morando, terakota, dan lain sebagainya.

Mesin pres genteng paris yang masih digunakan sampai saat ini. (Brigitta Adelia/Mojok.co)

“Menurut saya, masa kejayaan genteng di Kecamatan Godean ini justru pada tahun 2008 sampai sekitar tahun 2015,” ungkapnya. Ia ingat saat gempa melanda Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2006 silam, dan berpusat di Bantul, banyak bangunan yang roboh. Bagai durian runtuh, para perajin genteng di Kecamatan Godean kebanjiran rezeki. “Banyak sekali permintaan genteng untuk proyek renovasi rumah,” ujar Suparyanto.

Bahkan, pada era itu, para perajin genteng di Kecamatan Godean, khususnya Dusun Kwagon, sampai kepayahan memenuhi pesanan. Untuk menanggulangi kekurangan, para perajin genteng mengambil produk dari luar daerah, seperti Kudus, Magelang, dan Kebumen. 

“Ketika di drop itulah, mematikan pasar produk lokal,” ungkap Suparyanto. Pasalnya, beberapa genteng dari luar daerah memiliki harga yang lebih rendah, ada pula yang memiliki kualitas lebih baik. Seperti buah simalakama, akibatnya genteng yang dibuat oleh perajin genteng di Kecamatan Godean menjadi tidak laku.

Menumpuknya genteng yang tidak laku di jual, sementara gaji untuk pekerja menuntut dibayar membuat perajin genteng di Dusun Kwagon kalang kabut. Beberapa di antara mereka memilih menjual genteng di bawah harga pasaran agar bisa balik modal. Mau tidak mau, modal itulah yang digunakan untuk menutup gaji pekerja.

Beberapa perajin mulai kehabisan modal. Mereka pindah dan mencari profesi lain yang lebih menguntungkan. Di Dusun Kwagon, salah satunya adalah beralih pada industri pembuatan bata merah. “Itu mulainya sekitar tahun 2017, warga berpikir bata merah lebih menguntungkan,” ungkap Suparyanto. Pasalnya, pembuatan bata merah memiliki proses yang lebih cepat. Selain itu, bata merah bisa dijual mentah tanpa melalui proses pembakaran dengan tobong. Meskipun harga jual bata merah lebih murah dibanding genteng, tapi perputaran uang untuk modal dan membayar pekerja menjadi lebih cepat.

Merek genteng Sokka dan Sembada Manunggal Sejahtera

Kata Suparyanto, sekitar tahun 2016, di Dusun Kwagon ada asosiasi pembuat genteng. “Seperti paguyuban yang menaungi para perajin genteng,” ungkapnya. Satu tahun berselang, Bupati Kabupaten Sleman, Sri Purnomo, mengumumkan lima kecamatan di Sleman menjadi sentra pembuatan genteng. Terdiri dari dua kecamatan, yaitu Kecamatan Godean dan Kecamatan Seyegan.

Di bawah naungan badan hukum, para perajin genteng diberikan bantuan dan pelatihan yang disalurkan ke lima sentra pembuatan genteng yang tersebar di Desa Sidorejo, Desa Sidoluhur, Desa Sidoagung, Desa Margodadi, dan Desa Margoluwih. Salah satu dampak positif dari berdirinya asosiasi pembuat genteng yang diberi nama Sembada Manunggal Sejahtera, berhasil mendaftarkan hak kekayaan intelektual (HKI) untuk perlindungan produk dan meluncurkan merek kolektif Godean Sembada Manunggal Sejahtera (Godean SMS).

“Setiap sentra genteng yang tergabung di asosiasi, memiliki identitas sendiri-sendiri,” ungkap Suparyanto. Dusun Kwagon merupakan bagian dari Desa Sidorejo, maka identitas genteng di Dusun Kwagon adalah Godean SMS 01. Sedangkan, untuk Desa Sidoluhur adalah Godean SMS 02. Begitu pun seterusnya, sampai Godean SMS 05. Identitas tersebut dituliskan dalam bentak cap di bagian atas genteng dan disertai merek tambahan atau kode pembuat yaitu inisial pembuatnya.

Pekerja di usaha pembuatan genteng di Godean. (Brigitta Adelia/Mojok.co)

Jika kita melewati Jalan Godean, di area sentra genteng, masih ada para perajin yang menuliskan merek genteng Sokka. Kata Suparyanto, genteng Sokka berasal dari Kebumen. “Dulu, perajin genteng di Kebumen, pernah kewalahan seperti kita,” ungkapnya. Para perajin genteng di Kebumen lantas mendatangkan genteng-genteng dari Kecamatan Godean. Menjadi syarat untuk dapat diperjualbelikan di Kebumen, genteng dari Kecamatan Godean, juga harus menggunakan merek dagang Sokka.

Terdapat perbedaan antara genteng yang di produksi di Kecamatan Godean dan genteng yang di produksi di Kebumen. “Genteng dari Kebumen jika dilihat seperti ada glitter melang-meling,” ungkap Suparyanto. Hal itu lantaran tanah di Kebumen memiliki kandungan zat besi yang lebih tinggi dibanding tanah di Kecamatan Godean.

Kerja sama penjualan genteng sejatinya tidak hanya terjadi antar-daerah. Kerja sama penjualan genteng juga terjadi antara Dusun Kwagon dan Dusun Berjo. Menurut Suparyanto, Dusun Berjo lebih dekat dengan jalan raya, sehingga banyak perajin genteng yang membuat toko di pinggir jalan untuk memancing pembeli datang. Maka, banyak perajin genteng di Dusun Berjo yang kemudian tidak lagi memproduksi sendiri dan hanya mengambil dari Dusun Kwagon untuk dipasarkan.

Perajin genteng di Dusun Kwagon saat ini tersisa 40 orang. “Semua tergabung dalam Sembada Manunggal Sejahtera dan aktif mengadakan pertemuan setiap tanggal 23 setiap bulannya,” ungkapnya.

Baca halaman selanjutnya

Proses pembuatan genteng

Proses pembuatan genteng ditentukan alam

Menelusuri pembuatan genteng di Dusun Kwagon dan Dusun Berjo, membuat saya sedikit mengerti pembuatan genteng. Membuat genteng tidak bisa sehari jadi, paling tidak seorang perajin mampu menyelesaikan 1 genteng mulai dari tanah sampai siap jual dalam waktu 3 sampai 4 hari.

Berdasarkan cerita Sunardi, tahapan membuat genteng dimulai dari tanah yang diambil dari bukit dicampur dengan tanah yang diambil dari sawah. “Perbandingannya satu banding satu,” ujarnya. Sunardi akan membayar orang untuk menggiling tanah yang sudah dicampur menggunakan mesin gilingan. Kebetulan, setahu Sunardi, di Dusun Kwagon hanya ada 2 orang yang memiliki gilingan untuk menghaluskan tanah bahan baku genteng.

Dari gilingan campuran tanah bahan baku genteng, didapatkan batan siap olah. Proses selanjutnya adalah menipiskan dengan dibantu pelicin berupa solar dan minyak jelantah sampai berbentuk blek. Setelah itu, barulah Sunardi membawa dan meletakkan batan yang sudah tipis di bagian khusus mesin pres.

“Pres ini perlu tenaga yang besar,” ungkap Sunardi. Pasalnya, untuk melakukan pres, ia harus memutar besi berbentuk lingkaran itu dengan kuat agar mendapatkan tekanan genteng yang tidak mudah hancur dan grimpil. Tenaganya yang tidak lagi kuat seperti saat muda, membuat Sunardi hanya bisa mencetak genteng dengan pres sebanyak 200 sampai 500 genteng saja.

Setelah di cetak dengan mesin pres, genteng yang masih basah diambil menggunakan encak untuk disisir pinggirnya agar tampak rapi. Genteng-genteng yang masih basah itu kemudian ditata di larik-larik bambu untuk diangin-anginkan. “Kendalanya kalau musim kemarau, panas dan anginnya kencang, genteng-genteng yang basah dan setengah kering jadi mudah retak,” ungkapnya.

Genteng yang sudah dicetak diangin-anginkan di larik-larik bambu. (Brigitta Adelia/Mojok.co)

Namun, jika musim hujan tiba, Sunardi menemukan kendala baru. “Gentengnya tidak bisa kering, tidak bisa dijemur,” ujar Sunardi. Hal itu lantas membuat genteng-genteng yang masih setengah kering menumpuk banyak tidak bisa dibakar. 

Jika dipaksakan genteng-genteng yang setengah kering itu dibakar, hasilnya akan retak dan bahkan pecah sehingga harga jualnya turun menjadi sepertiga harga genteng normal. “Kalau harga per 1000 genteng utuh itu satu juta dua ratus, maka harga per 1000 genteng retak hanya tiga ratus rupiah,” ujarnya.

Selain itu, jika musim hujan tiba, Sunardi membutuhkan waktu lebih lama untuk bisa melakukan pembakaran genteng. Pasalnya, membakar genteng harus dilakukan menunggu 5000 sampai 6000 genteng tergantung kapasitas tobong. Apabila hujan, untuk membuat 5000 sampai 6000 genteng membutuhkan waktu sampai dua bulan. Pembakaran biasanya dilakukan selama 12 jam, mulai dari jam 04.00 WIB sampai dengan jam 16.00 WIB. 

Hal serupa juga diungkapkan oleh Maryatin (66), perajin genteng di Dusun Berjo Kidul. “Lawannya para perajin genteng itu memang alam,” ungkapnya. Misalnya saja dalam mencari bahan baku untuk membuat genteng. Selama ini, Maryatin memang tidak pernah menambang sendiri, ia hanya membeli dari mobil kol pengangkut tanah yang lewat di jalan dekat rumahnya. Namun, ketika hujan, jarang mobil pengangkut tanah yang lewat. Hal itu lantaran jika hujan tanah menjadi becek sehingga susah untuk diambil. Berdasarkan pengalamannya, harga tanah untuk ukuran satu mobil kol sekitar Rp100 ribu sampai Rp200 ribu yang bisa menjadi sekitar 900 genteng.

Kendala lain bagi perajin genteng saat musim hujan adalah genteng menjadi lama kering. Menurut pengalaman Maryatin, jika musim hujan, proses membuat 6000 genteng jadi memakan waktu lebih lama, yaitu 4 sampai 6 bulan. “Satu lagi, kelemahan genteng yang dibuat oleh perajin di Kecamatan Godean ini, genteng yang sudah dipasang maupun belum dipasang kalau sudah sekali kena hujan, pasti berlumut,” ujarnya.

Meski demikian, musim kemarau juga membawa kendala bagi perajin genteng, yaitu pecahnya genteng-genteng yang sedang diletakkan di larik-larik bambu ataupun ketika di jemur. Hal itu lantaran saat musim kemarau udara menjadi panas dan intensitas kekuatan angin meningkat, sehingga memberikan tekanan pada genteng yang masih belum kering sepenuhnya. “Hitunglah saat musim kemarau dari 6000 genteng, yang pecah 500 sampai 1000 genteng,” ungkapnya. Beruntung, jika genteng belum masuk dalam proses pembakaran, maka masih bisa didaur ulang menjadi genteng baru.

Masa depan genteng Godean

Industri genteng rumahan di Godean memiliki banyak tantangan. Saat ini perajin genteng dihantui kepastian akan keberlangsungan keberadaan bahan baku pembuatan genteng. “Sekarang ini bahan susah, jika tersedia operasionalnya mahal,” ungkap Agus Trihandoko. 

Bukit atau warga menyebutnya Gunung Gede Berjo yang kini tidak boleh ditambang untuk pembuatan genteng. (Brigitta Adelia/Mojok.co)

Tanah di sekitar Kecamatan Godean sudah mulai habis, sebagian telah menjadi genteng, sebagian lainnya ditambang untuk tol dan pembangunan perumahan. “Mungkin pemerintah memiliki saran bahan baku pengganti untuk membuat genteng,” ungkapnya. Mengingat keahlian warga di daerahnya (Red: Dusun Berjo Kidul) hanya membuat genteng.

Agus melihat volume tanah yang ditambang untuk genteng di Berjo Kidul semakin bertambah banyak. “Gunungnya semakin pendek, tanah semakin habis,” ungkap Agus. Para perajin genteng di Dusun Berjo Kidul mulai mencari bahan baku dari tempat lain. Beberapa memilih mendatangkan tanah dari bukit-bukit di Kabupaten Kulon Progo. Perbedaan bahan baku sebenarnya cukup berdampak pada kualitas genteng. 

Tiga tahun ini, semenjak 2019 atau tak lama setelah terpilih sebagai Dukuh Berjo Kidul, Agus meminta penambangan tanah di Kawasan Cagar Alam Geologi Gunung Gede Berjo dihentikan. “Sayang ekosistem alamnya,” ujar Agus. 

Hal lain yang mengganggu pikirannya saat itu adalah kekhawatiran jika terus ditambang, bukit atau Gunung Berjo makin pendek dan tanahnya akan habis. Akibatnya, anak cucu nanti tidak bisa menyaksikan visual Gunung Gede Berjo dan hanya akan mendengar dari cerita saja. 

Reporter: Brigitta Adelia Dewandari
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA:

Exit mobile version