Wisuda seringkali dianggap sebagai proses sakral bagi mahasiswa. Banyak yang menilai merayakan momen kelulusan ini secara spesial adalah keharusan. Apalagi perlu perjuangan untuk merampungkan tugas akhir yang seringkali berjalan dramatis. Namun, ternyata tidak sedikit yang justru nggak ikut wisuda karena berbagai alasan.
Mojok bertemu dengan empat orang anak muda yang nggak ikut wisuda. Bagi mereka, wisuda tidak jadi peristiwa yang sakral-sakral amat. Apalagi harus dikhidmati dengan berbagai prosesi.
***
Nggak ikut wisuda karena malu terlalu lama revisi skripsi
Azura Aulia Azzahra adalah mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi UPN “Veteran” Yogyakarta. Mahasiswa angkatan 2017 ini memaknai wisuda sebagai cara untuk menunjukkan suka cita, kebahagiaan, dan rasa syukur. Meski begitu, ia tidak ikut berpartisipasi karena beberapa alasan.
“Aku sidang Juni dan surat keterangan lulusnya baru keluar November. Jadwal wisudanya itu Januari,” jelas perempuan asal Brebes ini.
Ia merasa malu merayakan wisuda karena membutuhkan waktu hampir enam bulan untuk menyelesaikan revisi skripsi. Sedangkan teman-teman yang sidang di bulan yang sama, telah wisuda pada bulan Juli.
Azura memiliki kisah tersendiri soal revisi skripsi ini. Awalnya, ia percaya diri dan merasa tidak ada yang salah dengan skripsinya. Toh, ia mengerjakan sendiri dan dua dosen pembimbingnya sudah menerima. Bencana baru datang ketika ia menjalani sidang. Karya yang ia buat, habis oleh pertanyaan-pertanyaan dari para penguji dan ia tidak bisa menjawabnya.
“Ketika hari-H sidang, aku dibantai. Tapi ya ngerasa masuk akal aja jadi mengaku salah. Aku nggak ada usaha buat debat,” ucap Azura ketika dihubungi melalui telepon.
Hingga akhirnya, ia harus membongkar skripsinya. Ia merasa membuat skripsi ulang meski data yang ia gunakan masih sama. Judul, metode, hingga teori, semuanya ia ubah.
“Ada perasaan sedih karena yang lainnya udah wisuda dari zaman bahulak terus aku telat sendiri. Aku selalu minta maaf sama orang tua terutama ke Ibu karena mundur gini,” keluhnya.
Keadaan juga semakin tidak mendukungnya untuk hadir dalam prosesi wisuda. Hal ini lantaran ia langsung masuk dunia kerja dengan menjadi customer service di sebuah perusahaan jasa setelah lulus. Meski wisuda berlangsung akhir pekan, pekerjaan tersebut membuat hari liburnya tidak menentu. Ia mendapat jadwal masuk kerja kala itu. Sebenarnya ia bisa mengusahakan untuk memperoleh izin, tetapi tidak ia lakukan.
“Aku kan udah sama kaya yang lain. Dapet ijazah dan gelar,” tutur Azura.
Alasan ekonomi
Orang kedua yang mengaku menolak ikut wisuda adalah Rifqi Herjoko (24). Pada tahun 2020, ia telah menyelesaikan studi S1 di Universitas Indonesia dengan Jurusan Sastra Belanda. Keputusan ini ia ambil lantaran masalah ekonomi. Setiap peserta harus membayar uang sebesar Rp1.000.000 untuk mendapatkan fasilitas paket wisuda. Mulai dari toga, konsumsi, foto, suvenir, sampai piagam alumni dalam bentuk digital.
“Aku pikir di Gedung Balairung juga nggak ngapa-ngapain. Cuma duduk dan dengerin aja. Aku hanya pengen ketemu temen-temen,” ucap laki-laki yang akrab dipanggil Joko ini.
Joko memiliki trik tersendiri untuk bisa menikmati momen wisuda, tetapi secara gratis. Ia membawa orang tuanya datang ke kampus ketika prosesi wisuda telah selesai. Ini ia lakukan tepat ketika teman-temannya telah keluar dari Gedung Balairung.
“Aku dateng itu jam tiga sore buat ikut foto-foto dan nerima kado di luar Balairung. Aku pakai baju toga juga, pinjem punya temen,” tutur Joko.
Menurut pemuda asal Jakarta tersebut, hal semacam ini bukan sesuatu yang asing. Banyak wisudawan lain yang melakukannya. Pihak kampus juga tidak mempermasalahkan karena wisuda bukanlah hal yang wajib diikuti. Tentu yang menjadi pekerjaan rumah adalah memberi pengertian pada kedua orang tuanya.
“Aku udah jelasin kalau yang di dalem itu cuma ceramah. Jadi, orang tua engga protes,” tuturnya.
Tidak mengikuti wisuda bukan sekali ini ia lakukan. Di jenjang SMA ia juga membuat pilihan yang sama. “Aku waktu SMA itu ada wisuda juga di gedung. Aku nggak ikut jadi nggak bayar. Alasan utamanya ya uang tadi,” tutur Joko.
Saat ini, Joko sedang menempuh program Magister Ilmu Linguistik di universitas yang sama sembari bekerja. Kemungkinan besar, ia akan wisuda pada bulan Juni mendatang. Untuk tingkatan ini ia berencana untuk ikut wisuda karena merasa sudah cukup pantas dan puas. Oleh karena itu, ia tak keberatan meski harus membayar untuk mengikuti prosesi ini.
“Aku merasa udah waktunya aku wisuda di gedung secara resmi,” tuturnya.
Malas wisuda online karena gangguan sinyal
Pandemi membuat berbagai aktivitas beralih ke metode daring, termasuk wisuda. Kepraktisannya dianggap menghilangkan aspek-aspek emosional dari prosesi kelulusan ini. Oleh sebab itu, Dian Puspita (23) memilih untuk tidak menghadirinya.
“Jadi kecewa banget. Tahu gitu aku nggak cepet-cepet ngerjain skripsinya,” keluh perempuan yang kerap disapa Tata ini.
Meski menyadari jika cara ini masih baru, Tata merasa informasi yang ia terima soal teknis wisuda terkesan mendadak dan setengah-setengah. Perempuan asal Bantul tersebut juga bercerita jika rumahnya sering terjadi gangguan sinyal. Ini adalah aspek lain yang membuatnya semakin yakin dengan keputusannya.
Ia telah melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) secara daring. Begitu pula dengan bimbingan skripsi yang hanya melalui email. Ia mengaku sempat depresi selama pengerjaan skripsi hingga membuatnya berhenti selama tiga bulan. Oleh sebab itu, ia membayangkan bisa merayakan wisuda bersama teman-temannya. Sayang, ekspetasi itu tidak tercapai.
“Kamu boleh sedih, kamu boleh stres di dalam ngerjain skripsi. Tapi inget, jangan lama-lama karena waktu itu terus berjalan,” ucap Tata menirukan dosen pembimbingnya kala itu.
Ia hanya mengirimkan video bersama orang tuanya sesuai dengan ketentuan dari pihak kampus. Sementara itu, ia sama sekali tidak masuk dalam ruang Zoom ketika pelaksanaan acara. Sampai saat ini, ia mengaku tidak pernah melihat video wisuda tersebut meski telah diunggah di YouTube.
Ia hanya sempat menerima tangkapan layar dari teman-teman yang menanyakan kehadirannya. “Sampai sekarang toganya masih ada di dalam plastik dari kampus sekalian sama wadahnya,” ujarnya.
Tata juga tidak bisa merayakan kelulusan ini secara mandiri bersama teman-temannya. Ini karena banyak dari mereka yang sudah pulang ke kampung halaman. Beruntung ia sempat melakukan selebrasi bersama kawan-kawannya kala selesai sidang. Ia dibuatkan slempang dan berlanjut dengan pesta masak kecil-kecilan.
Nggak mau ikut wisuda karena formalitas belaka
Berbeda dengan narasumber lain yang telah lulus, Ghalda Nauli Siregar (21) masih berstatus mahasiswa. Ia duduk di semester delapan pada Program Studi Hubungan Masyarakat UPN “Veteran” Yogyakarta. Saat ini dirinya sedang sibuk menyelesaikan skripsi yang sudah masuk pada bab pembahasan. Ia menargetkan pada bulan April atau Mei mendatang bisa selesai.
Ia menolak untuk ikut wisuda karena menurutnya membutuhkan persiapan yang kompleks alias ribet. Selain itu, baginya, acara tersebut hanya formalitas semata. “Menurutku wisuda atau nggak, ya nggak ada pengaruhnya sama kehidupan setelah lulus kuliah,” tutur Ghalda.
Perempuan asal Batam ini mendapat gambaran wisuda dari saudaranya. Ia melihat jika mengikuti wisuda adalah hal yang amat melelahkan karena harus berhadapan dengan banyak orang. Saudaranya bahkan harus mengeluarkan uang tersendiri untuk mentraktir orang-orang yang hadir.
Ia sendiri membayangkan jika keluarganya harus datang dari Batam ke Jogja sehingga butuh modal yang tidak sedikit. Menurutnya, akan lebih baik jika uang tersebut untuk persiapan ia masuk ke dunia kerja, seperti mengikuti pelatihan.
Ghalda bercerita jika orang tuanya belum bisa menerima keputusannya. Ibunya bahkan sudah menyuruhnya mencari baju wisuda. Walau demikian, Ghalda masih berusaha meyakinkannya, apalagi ibunya itu juga tidak menghadiri wisudanya sendiri kala jadi mahasiswa dulu.
Baca halaman selanjutnya…