Joki punya daftar hitam dosen yang nggak bisa dikerjain
Cerita lain saya dapat dari lulusan mahasiswa yang kini menyambi sebagai joki skripsi dan jurnal publikasi. Menurut Roy (26)* ia hanya bisa mengerjakan bidang sesuai jurusannya ketika kuliah dulu. Kebanyakan Roy membantu mahasiswa di kampusnya dulu. Berbeda dengan Anggi, Roy tidak keberatan orang menyebutnya sebagai penjoki.
Dedikasi Roy sebagai joki—dalam makna yang negatif—juga luar biasa. Sebagai aktor di balik langgengnya tindak kecurangan di lingkungan akademis, Roy rela mengeluarkan tenaga, pikiran, juga waktunya. Tak lain dan tak bukan adalah demi menghasilkan uang.
Kata Roy, hanya dengan memberi dia sekian juta rupiah, jurnal publikasi bisa ia buat hanya dalam satu minggu. “Tapi tergantung dosen pembimbingnya juga. Kalo nggak dibuat langsung jadi, 1-2 hari bisa selesai,” tambahnya lewat aplikasi chatting.
Dalam satu minggu itu, dari judul awal hingga artikel ilmiah sukses terpublikasi di berbagai tingkatan penerbit bisa Roy jabani. “Di luar biaya publikasi jurnal, untuk biaya dari awal sampe selesai itu 3 juta rupiah,” sebutnya yang mulai menghitung estimasi harga.
Di luar kemampuannya menyelesaikan jurnal publikasi tidak lebih dari tujuh hari, Roy cukup selektif dalam memilih kliennya. “Saya perlu tahu juga karakteristik dosen pembimbingnya. Jadi bisa nyesuaiin penulisannya lebih cepat. Saya condong ke jurusan saya dulu, kalo jurusan lain riweh nanti dosennya gimana.”
Di skena adik tingkatnya, nama Roy cukup terkenal sebagai joki skripsi dan jurnal publikasi. Dari beberapa teman saya yang mengaku pernah memakai jasa joki, kontak Roy jadi salah satu yang banyak merekomendasikan.
Ada beberapa dosen yang memang masuk dalam daftar hitam dia. Biasanya, kata Roy, kalau ada klien mahasiswa yang dosen pembimbingnya masuk daftar hitamnya, Roy menolak. “Susah, dosennya bikin males. Ada juga dosen yang nggak bisa dikerjain asal-asalan.”
Monitoring dan pengawasan jadi keharusan
Untuk menyelesaikan tugas akhirnya, mahasiswa dibantu oleh dosen pembimbing. Mojok.co mewawancarai salah satu dosen pembimbing di salah satu kampus Jawa Tengah. Suharti (39)*
Sudah belasan tahun Suharti dipercaya oleh pihak prodi untuk menjadi dosen pembimbing. Baginya, menjadi dosen pembimbing punya tanggung jawab yang besar. Bagaimana nantinya mahasiswa itu betul-betul mampu ia arahkan dan motivasi, agar tugas akhir mahasiswa bisa selesai dengan hasil yang sesuai kemampuan mahasiswanya.
Dari beberapa cerita mahasiswa yang pernah bimbingan dengannya, Suharti terkenal disiplin. Selama belasan tahun menjadi dosen pembimbing, Suharti belum menemukan mahasiswa bimbingannya yang memakai jasa joki.
Menurut Suharti, adanya permintaan jasa joki bisa sebabnya karena beberapa faktor, seperti kurangnya pengawasan dan bimbingan dari dosen pembimbing. Bisa juga karena adanya niat dari mahasiswa itu sendiri, dan mahasiswa yang memiliki akses informasi perihal jasa joki.
“Saya kalau sidang saja meminta bukti yang valid atas data yang digunakan. Kalau dia menulis ini, terus bukti rekaman wawancaranya tidak ada, itu sudah saya silang,” tegasnya. Suharti melakukan itu untuk memastikan kalau mahasiswa tidak berbohong atas penelitiannya.
Soal jasa joki di sistem luaran OBE, Suharti menyadari betul jika praktik seperti itu memang ada di dunia akademik. Meski ada kasusnya, Suharti menolak jika harus menghilangkan sistem luaran OBE. Solusi yang Suharti tawarkan adalah dengan terus melakukan monitoring serta evaluasi ke depannya.
*) Nama narasumber di artikel ini, kami samarkan untuk menjaga privasi mereka.
Reporter: Novali Panji Nugroho
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Cerita Mahasiswa yang Nggak Ikut Wisuda karena Merasa Nggak Sakral-sakral Amat dan reportase menarik lainnya di kanal Liputan.