Setiap hari selama bulan Ramadan 3.000 porsi makanan tersedia untuk jemaah Masjid Jogokariyan. Siapa saja dapat menyantap beragam menu spesial. Di DIY, ini jumlah porsi berbuka gratis terbanyak yang rutin dibagikan untuk umum.
Tradisi berbagi takjil hingga 3.000 porsi di masjid yang berdiri tahun 1967 ini berlangsung sejak tahun 2017. Proses berbagi takjil gratis ini tak lepas dari semangat jemaahnya untuk memakmurkan masjid. Jemaah bahkan berebut untuk ikut berpartisipasi memberi takjil gratis, meski dana yang mereka punya tak banyak.
***
Tepat pukul 17.00, 3.000 piring yang sudah tertata rapi di pelataran Masjid Jogokariyan mulai dibagikan untuk jemaah yang datang. Menu hari itu, Minggu (26/3) adalah cok genem. Sebuah menu mirip garang asem yang konon merupakan favorit Sultan HB IX.
Barisan mulai terbentuk, satu per satu para jemaah menerima ulungan makanan dari relawan. Mereka kemudian masuk ke masjid dan bergabung dengan para hadirin kajian yang telah memadati setiap sudut masjid.
Menu berbuka gratis terbanyak di Jogja
Sore setiap sudut Kampung Jogokariyan memang sudah penuh hiruk pikuk. Jalanan penuh oleh orang-orang yang berburu jajanan untuk berbuka. Sepanjang Jalan Jogokariyan, ada sekitar 300 UMKM berderetan mewarnai acara rutin bertajuk Kampung Ramadan Jogokariyan.
Hari itu saya berkunjung ke Jogokariyan sejak siang. Saat situasi masih lengang. Namun, di balik lengangnya siang, saat orang-orang sedang menahan lapar dan dahaga karena puasa, para relawan Masjid Jogokariyan telah sibuk menyiapkan makanan yang sorenya jadi rayahan para warga.
Siang itu saya berjumpa dengan seorang takmir Masjid Jogokariyan bernama Anjang (59). Lelaki yang tempat tinggalnya tepat di selatan bangunan masjid ini bercerita kalau tradisi membagikan 3.000 takjil gratis sudah berjalan sejak 2017 silam.
“Kalau takjil sejak lama. Kampung Ramadan Jogokariyan saja sudah 19 tahun. Tapi jumlahnya 3.000 ini sejak sekitar 2017 lalu,” katanya saat saya temui seusai salat zuhur.
Di Jogja, jumlah porsi takjil gratis di Masjid Jogokariyan merupakan yang terbanyak. Pada tahun ini, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) memang membagikan takjil sampai 5.000 porsi setiap harinya. Tapi itu terbatas untuk civitas akademika Kampus Muda Mendunia itu.
Jumlah makanan yang masjid bagikan selalu ludes. Bahkan menurut Anjang masih kurang. Pada hari pertama dan kedua Ramadan 1444 H ini masih ada tambahan 500 porsi nasi box dari penderma. Namun tetap saja, semuanya terserap oleh para warga yang datang meramaikan.
“Tahun ini sempat ada rencana untuk menambah jadi 4.000 porsi. Tapi kami akhirnya mengurungkan dulu mempertimbangkan kesiapan relawan,” paparnya.
Menu berbuka di sini begitu beragam. Mulai dari tongseng ayam, salad daging, empal gentong, rawon, hingga bakmoy daging sapi. Variasinya membuat jemaah berbuka puasa tak akan bosan.
Sejak pagi para relawan sudah menyiapkan menu berbuka
Sejak hari masih pagi, aktivitas menyiapkan menu berbuka sudah bergeliat. Para relawan, terutama ibu-ibu sudah mulai proses memasak. Proses memasak pun dibagi menjadi dua. Ada kelompok masyarakat yang memasak lauk di rumah dan Tim Dapur Jogokariyan yang menanak nasi di masjid.
Ada sekitar 28 kelompok yang terdiri dari 10-20 warga yang bertugas memasak lauk. Setiap kelompok mendapat jatah satu hari pada bulan Ramadan.
“Jadi satu kelompok itu takmir anggarkan Rp30 juta untuk lauk saja,” kata Anjang.
Artinya untuk lauk ada alokasi Rp10 ribu per porsi. Menurut Anjang, terkadang uang yang telah dianggarkan masih kurang sehingga nombok sudah jadi hal biasa bagi para kelompok tersebut.
“Ya sering nombok 100 sampai 200 ribu. Mereka malah senang keluar uang karena bisa membantu jemaah,” katanya.
Anjang lalu mengajak saya menengok ke dapur di belakang masjid. Tempat para relawan yang kebanyakan ibu-ibu paruh baya sedang melakukan proses menanak nasi. Di tengah terik siang, mereka tampak bersemangat. Saling melempar canda di sela proses memasak 200 kilogram beras.
Ibu-ibu yang tak kenal lelah memasak takjil
Marsuti (51) sedang memindahkan nasi yang baru matang dari loyang menuju wadah lain yang lebih besar. Aktivitas menanak nasi sudah ia jalani sejak jam 8 pagi. Siang itu, sekitar pukul setengah dua, masih ada satu kloter nasi terakhir, sekitar lima loyang yang belum matang.
“Ya biasanya memang masak nasi selesai sekitar jam 2,” katanya sambil menyeka keringat. Uap panas dari nasi berpadu dengan terik siang.
“Nggak pernah tidur siang Bu?” celetuk seorang lelaki yang hendak memindahkan nasi.
“Wah… Nek turu yo ra mateng segone,” sahut Marsuti tertawa.
Setelah selesai proses memasak, ibu-ibu ini lanjut membantu menata nasi ke ribuan piring. Proses itu dibantu oleh lebih banyak relawan.
“Pokoknya sampai tuntas semua. Tapi nanti kami nggak ikut nyuci piringnya,” jelas Pon Sugiarto (59) yang juga sedang menata nasi.
Pon mengaku sudah tiga tahun membantu menjadi relawan di bagian memasak nasi. Namun, sebelum itu, ia sudah lama terlibat sebagai relawan di Masjid Jogokariyan. Ia mengaku sudah aktif sebelum kelahiran Kampung Ramadan Jogokariyan. Artinya, sudah lebih dari 19 tahun.
“Saya dedengkotnya di sini,” kata Pon terbahak. Saat itu, memasak masih menggunakan tungku sederhana. Jumlah porsinya pun masih sedikit. Namun, guyub warga memakmurkan masjid telah terbangun.
Saat ditanya, Pon terus melakukan aktivitas ini karena kebahagiaan. “Saya senang ngelihat masjid makmur. Banyak orang bisa makan. Kami senang aja di sini,” ujarnya.
Selain menanak nasi, ada pula perempuan paruh baya yang sedang mencuci perkakas. Siti Kasih namanya. Usianya kini sudah 71. Bahkan ia bercanda ringan, “Teman saya sudah pada meninggal semua.”
Anjang bercerita kalau berbagai kegiatan Ramadan di Jogokariyan melibatkan ratusan orang. Mulai dari remaja hingga lansia. Hajatan ini bukan sekadar milik masjid saja, tapi sudah jadi agenda bagi semua warga.
Warga iri kalau tidak ikut terlibat bagi takjil di Masjid Jogokariyan
Proses membentuk semangat memakmurkan masjid tidaklah instan. Anjang sebagai warga yang sedari belia hidup di Jogokariyan melihat proses panjang. Proses membentuk semangat warga untuk memakmurkan masjid bersama.
“Dulu saya ingat ngecor masjid ini warga begitu ramai. Mereka ingin bisa berpartisipasi. Ada yang ngecor ada yang masak. Yang nggak kebagian pekerjaan juga datang untuk sekadar melihat,” kenangnya.
Perkara takjil misalnya, dulu Jogokariyan tak membagi porsi sebanyak ini. Namun, banyak warga yang ingin bisa berpartisipasi meski tidak mampu menyumbang banyak dana.
“Warga itu pada protes. Istilah Jawa-nya ‘meri’. Mereka yang ekonomi menengah ke bawah pada bercanda, ini kalau takjilnya sedikit yang masuk surga yang kaya-kaya doang,” ujarnya tertawa.
Akhirnya demi melibatkan lebih banyak orang takmir menambah porsi. Mereka juga membuka donasi bagi penderma yang ingin terlibat. Pada Ramadan kali ini, paket donasi takjil seharga Rp15 ribu per porsi.
“Jadi kalau ditanya berapa yang terlibat? Pastinya banyak. Mulai dari mereka yang masak lauk, nasi, membagikan, mencuci piring, sampai membersihkan area. Semuanya ingin ambil peran,” cetusnya.
Jogokariyan menjadi rujukan bagi banyak masjid lain. Sebuah masjid dengan area yang sebenarnya tak terlalu luas namun hiruk pikuk aktivitasnya begitu gegap gempita.
Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Yang Saya Rasakan Saat I’tikaf di Masjid Jogokariyan dan reportase menarik lainnya di kanal Liputan.