Empat anak muda dari Generasi Z atau Gen Z berbagi cerita kepada Mojok.co, bagaimana mereka terjerat paylater dan pinjol. Gali lubang tutup lubang mereka lakukan demi lepas dari teror debt collector.
***
Generasi Z, seringkali dicitrakan sebagai generasi emas. Istilah Gen Z ini digunakan untuk menyebut orang-orang yang lahir tahun 1995-2010. Mereka dianggap fasih menggunakan teknologi, melek pendidikan, dan mudah memperoleh pekerjaan idaman.
Sayangnya, gambaran anak muda ideal ini tidak melekat pada Anisa, Avi, Putri, dan Halim. Mereka adalah empat anak muda yang sama-sama terjerat paylater, berutang pada pinjol dan mendapat teror dari debt collector.
Pakai pinjol untuk bantu pacar yang sudah bekerja
Avi adalah seorang mahasiswa yang sedang menanti wisuda di sebuah kampus swasta Yogyakarta. Sekitar dua minggu lalu, ia baru saja menyelesaikan ujiannya. Sebuah penantian panjang setelah berjuang mengerjakan tugas akhir selama dua tahun. Ia adalah mahasiswa angkatan 2016.
Pengalaman diteror oleh pinjol ia alami pada tahun 2020. Ia menggunakan jasa ini untuk membantu pacarnya yang baru diterima bekerja di Jakarta. Si pacar ini ternyata tidak memiliki modal yang cukup untuk hidup di ibu kota.
“Waktu itu sebenernya bisa dibilang bodoh juga sih. Aku pengen nolong, padahal sebenernya aku juga nggak ada uang,” ucap perempuan berusia 24 tahun ini sembari tertawa.
Meminjam kepada teman-temannya jadi opsi yang tidak memungkinkan sebab kondisi mereka juga tidak jauh berbeda dengan dirinya. Belum lagi jika harus menjelaskan alasan ia meminjam uang. Tentu hal ini akan membuat persoalan jadi rumit.
“Malu kalau cerita. Apalagi yang dipinjemin itu orang yang udah kerja, lha aku kan nggak punya kerjaan. Aku cuma anak kuliahan biasa,” ucap Avi menjelaskan alasannya memilih pinjol.
Baginya langkah ini tidak akan berdampak besar lantaran ia terbiasa diberi uang saku oleh orang tuanya. Avi yakin bisa melunasi utang ini tepat waktu. Namun, persoalan menjadi di luar kendali ketika pandemi semakin memburuk dan melahirkan kebijakan lockdown. Dirinya tidak mendapat uang saku lagi. Dari sini, perjalanannya gali lubang tutup lubang antar-pinjol resmi dimulai.
Ibu muda yang terjerat paylater
Anisa memiliki cerita yang lain. Anisa adalah seorang ibu rumah tangga. Ia putus sekolah sejak di bangku SMP. Saat ini usianya 22 tahun, sedangkan putranya berumur 1,5 tahun. Ia terpaksa menggunakan jasa paylater untuk memenuhi kebutuhan harian, seperti nyumbang atau sekadar membeli pamper untuk anaknya.
“Lha kan yang gampang. Masak mau pinjem 500 ribu harus ke bank,” jelas perempuan asal Sleman ini.
Anisa dan keluarga kecilnya masih menumpang di rumah orang tuanya. Gaji suami yang bekerja sebagai satpam telah habis untuk membayar cicilan bank yang dulu digunakan untuk membeli motor. Sebagai anak sulung, ia juga harus membantu ibunya yang menjadi tulang punggung keluarga. Ibunya bekerja sebagai tukang bersih-bersih di indekos. Bahan-bahan pokok jadi bagian yang harus ia beli. Setidaknya uang jajan kedua adiknya juga harus ia penuhi.
“Ya semenjak nikah. Tahun 2020,” jelas Anisa kala ditanya kapan pertama kali menggunakan jasa paylater.
Sekali waktu, Anisa tidak memungkiri jika pernah tergoda menggunakan uang paylater untuk membeli kosmetik. “Buat beli scarlett 300 ribu. Mosok aku yo ora ayu,” katanya memberi jawaban alasan membeli kosmetik. Menurutnya kecantikan itu adalah hak semua orang, termasuk dirinya.
Utang paylater untuk bayar kuliah
Berbeda dengan Anisa, Halim terpaksa berutang di paylater demi membayar uang kuliah. Mahasiswa di salah satu kampus swasta ini bercerita jika kejadiannya terjadi kala pandemi. Saat itu, uang dari orang tua tidak mencukupi tagihan kuliahnya selama dua periode, yakni semester empat dan lima. Ia sendiri sekarang duduk di semester tujuh.
“Sebenernya orang tua selalu ngasih, tapi kemarin waktu pandemi kan pekerjaan jadi nggak tentu. Dampak ekonominya besar jadi yang dikasih itu nggak bisa menutup semua,” jelas pemuda berusia 25 tahun ini.
Bapaknya bekerja sebagai petani, sedangkan ibunya mengurus rumah tangga. Langkah berutang yang diambil dengan diam-diam ini dilakukan agar tidak menambah beban kedua orang tuanya.
“Orang tua nggak tahu soal ini. Saya pikir karena mereka juga sudah punya pinjeman ke mana-mana. Toh, sebenernya mereka juga sudah berusaha ngasih,” ungkap Halim.
Utang karena jadi korban penipuan
Ketika Anisa dan Halim terpaksa meminjam karena himpitan ekonomi, Putri memiliki utang paylater justru karena ia adalah korban penipuan. Seseorang yang mengaku dari pihak Shopee menjelaskan jika dirinya memenangkan hadiah dua juta rupiah hasil undian 10.10.
Ia memang sering menggunakan metode pembayaran paylater. Karena itu, status membernya berada pada peringkat Gold. Meski sering meminjam, ia menjelaskan jumlahnya tidak pernah banyak. Namun, kerugian yang harus ditanggung karena kejadian ini mencapai Rp6,5 juta.
“Aku bisa percaya sama dia karena baru ada kebutuhan banyak. Keadaan keluarga juga baru krisis. Ketika dapet telepon kaya gitu seakan-akan jadi sebuah jalan yang diberikan oleh Tuhan,” jelas perempuan 21 tahun ini.
Kepada saya, dirinya turut menjelaskan kronologi kejadian. Saat itu, penipu yang mengabarkan bahwa ia memenangkan undian mengirimkannya barcode sebanyak empat kali. Terlambat ia sadar, jika ternyata barcode tersebut mengarah ke pembayaran tagihan sang penipu dengan menggunakan paylater-nya. Sang penipu juga terlihat semakin menyakinkan karena menggunakan foto profil Shopee dan kode telepon +1.
“Aku kan kurang paham soal scan barcode lewat Shopee PayLater. Jadi waktu aku diarahin dan dibentak-bentak sama dia ya manut-manut aja. Tapi ini jadi tinggal urusanku sama Shopee. Penipunya udah ngilang gitu,” keluhnya.
Putri sendiri baru sadar bahwa dirinya menjadi korban penipuan ketika si penipu berkata untuk tidak mengatakan kepada siapa pun soal hadiah ini.
“Untungnya aku belum nurut buat mengaktifkan Shopee Pinjamku. Kalau sampai aktif, bisa-bisa sampai 12 juta kehilangannya,” tutur Putri.
Teror tagihan yang datang setiap hari
Bagi Anisa, pilihannya meminjam uang di-paylater adalah satu-satunya pilihan. Ia tidak mungkin minta bantuan kepada tetangga.
“Nggak ada orang yang mau ngutangi, tenan iki. Daripada jadi omongan juga. Yang penting jangan sampai ke rumah aja debt collector-nya,” jelas Anisa.
Pilihannya meminjam lewat paylater membuat ia dapat teror tagihan setiap hari. “Bayarkan tagihan anda sebelum nama anda masuk ke daftar hitam OJK, Jika tidak bisa bayar lunas silahkan bayar Cicilan HARI INI ditunggu segera etikad baik anda buat menyelesaikan tagihan hari ini. Jika Sudah melakukan pembayaran segera kirimkan bukti transfernya agar bisa kami proses.”
Begitulah potongan pesan yang selalu diterima Anisa. Puluhan panggilan juga seringkali menghujani teleponnya. Karena itu, teleponnya ia atur agar panggilan dari orang tidak dikenal secara otomatis bisa dialihkan. Ancaman tersebut adalah akibat dari dirinya yang memang gagal bayar. Persoalan semacam ini seringkali terjadi.
Dirinya bercerita jika ia memiliki pinjaman di beberapa platform pinjaman. Pertama adalah Shopee Pinjam yang tagihannya masih kurang Rp600 ribu. Kedua, Shopee PayLater yang masih tersisa Rp400 ribu. Ketiga, yaitu Akulaku sebesar Rp300 ribu.
“Sekarang Shopee-ku nggak bisa dipakai karena aku telat. Jadi dinon-aktifkan gitu,” keluh Annisa.
Dapat teror meski sudah bayar
Halim juga mengeluhkan hal semacam ini. Dirinya tetap mengalami teror meski taat melakukan pembayaran. Oleh sebab itu, pada beberapa kesempatan ia beranikan diri untuk mengangkat panggilan dari sang penagih.
“Secara narasi memang mengingatkan, tapi intonasi yang digunakan itu keras. Saya cuma suruh cek history pembayaran. Saya itu nggak pernah telat. Saya justru menanyakan kenapa seperti ini. Terus nanti dimatiin,” jelas Halim.
Menurutnya, teror ini sudah dialami sejak lima sampai tujuh hari sebelum jatuh tempo. Dalam sehari, panggilan yang masuk bisa sampai sepuluh kali. “Karena itu utang, saya harus tanggung jawab. Jadi, saya mencoba kooperatif,” tuturnya.
Halim juga memiliki pinjam di beberapa platform paylater maupun pinjol. Ia pertama kali berutang melalui Shopee Pinjam sebesar Rp1,5 juta, tetapi sekarang sudah berkembang sampai angka Rp2 juta. Selanjutnya, ia melakukan pinjaman ke aplikasi AdaKami sebanyak Rp1 juta dan Rp600 ribu di Rupiah Cepat. Utang lanjutan ini diambil demi bisa membayar cicilan bulanan dan bunga yang mencapai 5%.
“Setiap bulan angsuranku bisa sampe 400 lebih. Itu aku ambil tenor yang 6-12 bulan,” tutur Halim.
Niat hati pinjam di koperasi malah kena tipu lagi
Avi yang mencoba menolong pacarnya dengan meminjam di pinjol, kemudian melakukan pinjaman lagi di pinjol Rupiah Cepat. Ini karena ia nggak punya uang untuk melunasi pinjaman sebelumnya.
Saat utang di dua aplikasi belakangan belum kelar, si pacar justru mengaku ada masalah keuangan lagi. Avi merespons ini dengan membuka pinjaman kembali melalui Tunai Cepat. Perlu diketahui jika aplikasi yang ketiga ini tergolong ilegal dan saat ini telah ditutup oleh OJK. Pada setiap aplikasi, pinjaman Avi berkisar pada angka Rp700 ribu.
“Yang gila banget itu Tunai Cepat. Jangka waktu pengembalian cuma delapan hari. Di situ lah aku bener-bener stres dan depresi,” ungkapnya.
Posisinya semakin terhimpit karena ia tidak lagi mengetahui pinjol yang bisa menawarkan jasa dengan hanya jaminan identitas pribadi. Pinjol-pinjol lain yang ia temukan mensyaratkan adanya pekerjaan. Di tengah kebingungannya ini, Avi justru menemukan informasi melalui Instagram mengenai sebuah koperasi simpan pinjam.
Di sana ia berniat berutang sebesar Rp1 juta. Masalahnya, koperasi ini mensyaratkan adanya biaya administrasi sebesar 10% sehingga ia harus membayar Rp100 ribu. Anehnya, setelah ia membayar, uang pinjamannya tidak kunjung ditransfer. Koperasi ini justru kembali memintanya untuk mengirimkan uang jaminan. Ia melakukan pola yang sama sampai tiga kali. Jika ditotal, ia telah memberikan uang hampir satu juta rupiah. Jumlah yang sama dengan yang ia pinjam. Uang ini ia peroleh dari adik dan ibunya meski harus berbohong.
“Dia bilang nanti uangnya langsung ditransfer sekaligus sama jaminannya. Namanya juga orang kepepet jadi nggak bisa berpikir dengan jernih,” keluhnya.
Ketika ia merasa ragu dan mulai banyak bertanya, koperasi berupaya kembali meyakinkannya dengan mengirimkan video testimoni. Di sini mereka juga kembali meminta dikirimi uang. Koperasi ini mengancam jika dana sebelumnya akan hangus, bahkan menyebarkan data pribadinya. Meski sempat takut, gertakan-gertakan tadi tidak ia hiraukan. Avi memilih memblokir kontak dari koperasi. Persoalan penipuan koperasi ini menyisakan utang yang semakin menggunung.
Di sisi lain, pinjol sebelumnya sudah sampai menghubungi adiknya yang ia pasang sebagai nomor darurat. Kekhawatirannya membuat ia menjual telepon genggamnya. Walau demikian, uang yang dihasilkan hanya bisa menutup bunga pinjamannya. Utangnya masih bersisa.