Sebuah celana kolor bermotif Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) tergantung di tali jemuran saat beberapa orang menelusuri sebuah gang di Yogyakarta. Orang-orang saling berkomentar. Ada yang berpendapat kalau itu upaya warga mendaur ulang seragam ASN, ada pula yang berpandangan itu adalah wujud kritik kepada pemerintah, makanya lambang Korpri diletakan diselangkangan.
***
“Kalau blusukan ke gang-gang permukiman warga pasti banyak menemukan hal-hal aneh dan unik yang sebelumnya tidak pernah kita sadari. Di situ lah menariknya jalan-jalan di gang pemukiman warga.”
Kalimat itu merangkum pengalaman saya saat berjalan-jalan bersama rombongan Gang-Gangan, komunitas yang kerap dikira walking tour. Padahal bukan. Konsep gang-gangan berbeda sekali dengan konsep walking tour yang pernah saya ikuti.
Tidak ada tour guide dengan latar belakang pengetahuan tertentu yang mendominasi ruang bicara. Semua orang yang bergabung dalam rombongan bisa bebas menyampaikan perspektif dan cerita masing-masing tentang suatu objek atau sudut tertentu.
Bersama Gang-Gangan saya diajak berjalan lambat dan melihat lebih dekat. Setelah itu berbagi cerita, perspektif, dan kenangan tentang apa saja tentang Jogja. Saya jadi menyadari banyak hal-hal menarik di sudut-sudut yang selama ini saya abaikan.
***
Sudah 27 tahun saya hidup di Jogja. Sekali pun saya tidak pernah meninggalkannya. Saya lahir, sekolah, kuliah, dan kerja di Jogja. Kalau liburan pun saya juga jarang ke luar kota. Jadi, hampir semua destinasi wisata mulai dari yang terkenal sampai yang disebut hidden gems sudah pernah saya datangi.
Saking biasanya Kota Jogja dan objek wisatanya buat saya, sudah lama saya lebih memilih menghabiskan waktu libur dengan nonton Netflix di kamar. Males piknik outdoor. Sampai akhirnya, saya menemukan akun @gang.gang.an dari Instagram Stories ketiga teman saya.
Alih-alih jalan-jalan ke situs bersejarah atau objek wisata, mereka berjalan-jalan di gang-gang pemukiman warga. Foto-foto yang mereka posting juga berbeda. Mereka banyak posting hal-hal kecil menarik yang mereka temukan di gang.
Sudah lama saya pengin gabung, tapi ternyata buat gabung tidak semudah itu. Waktu mimin Gang-Gangan posting ajakan jalan-jalan, saya selalu tidak selo.
Setelah berbulan-bulan menunggu, akhirnya waktu selo saya bisa sejalan dengan jadwal Gang-Gangan rute Pasar Ngasem – Tamansari Watercastle. Tapi ternyata selo saja tidak cukup, saya harus setor alasan unik supaya terpilih jadi peserta Gang-Gangan.
“Saya mimpi diberitahu kalau garis keturunan leluhur saya itu dari Keraton. Siapa tahu kalau saya ikut jalan-jalan, saya bisa ketemu mereka yang abis mandi di Tamansari atau ngumpet di gang-gang sekitar situ.”
Dengan alasan itu, saya sukses terpilih sebagai peserta Gang-Gangan rute Pasar Ngasem – Tamansari Watercastle pada Kamis (29/9). Saya terpilih bersama dua orang lainnya.
Saya datang pukul 08.00 WIB ke Plaza Ngasem untuk berkumpul bersama peserta yang lain. Hari itu ada 7 orang peserta dengan berbagai latar belakang pekerjaan. Saya berkenalan dengan seorang arsitek, pemilik toko roti artisan, desainer grafis, biologist, pemilik bulk store dan penjelajah makam kuno.
Mayoritas peserta adalah peserta lama dari petualangan-petualangan sebelumnya. Selain itu ada dua orang founder Gang-Gangan yang menemani perjalanan kami. Jadi total ada 9 orang peserta.
Di tengah sesi perkenalan, founder Gang-Gangan, Risna Anggaresa memperkenalkan kebiasaan-kebiasaan peserta Gang-Gangan. Katanya peserta harus tetap jaga etika dan sopan santun terhadap warga sekitar. Jangan lupa menyapa mereka dan kalau perlu ngobrol.
“Kami juga bukan walking tour, di sini tidak ada tour guide yang mendongeng. Siapa saja nanti bebas sharing insight seputar objek atau tempat tertentu,” kata Risna.
Usai saling berkenalan kami mulai jalan ke gang-gang pemukiman sekitar Ngasem – Tamansari. Tepatnya gang yang di dalamnya ada kampung lukis dan kampung cyber-nya. Obrolan kami mengalir membahas kampung cyber yang sudah ada bahkan sebelum Indihome menjamur.
Berjalan lambat, melihat lebih dekat
Langkah kami pelan-pelan karena sibuk mengamati hal-hal kecil di sekeliling. Saya banyak memotret gang, dinding, dan kusen-kusen jendela yang menurut saya menarik. Begitu juga teman-teman baru saya.
Para peserta punya latar belakang pekerjaan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, ketika kami melihat satu objek di dalam gang, perspektif yang saya terima jadi lebih kaya.
Selain itu, tidak ada sekat yang membuat saling canggung untuk menyampaikan dan merespon informasi. Sebab semua peserta boleh menjadi tour guide yang menyampaikan insight atau cerita tentang suatu objek atau sudut ruang.
Contohnya saat kami berhenti di Gapura Tamansari. Kami melihat puncak gapura yang disangga oleh besi-besi berkarat. Salah satu peserta dengan latar belakang arsitek menjelaskan bahwa besi itu berfungsi untuk mitigasi kerusakan gempa susulan. Besi itu ada setelah gempa Jogja berdampak cukup signifikan pada keutuhan dinding Tamansari.
Kami juga mengunjungi Gedhong Pangunjukan dan Gedhong Temanten di Tamansari. Dua gedhong itu berfungsi sebagai tempat menyiapkan makanan dan minuman sekaligus tempat piket abdi dalem. Dua area ini jarang dilintasi oleh tour guide karena bebas diakses oleh warga sekitar.
Saat mengunjungi dua gedhong itu, peserta bebas berimajinasi kira-kira seperti apa bentuk tungku masak, rak penyimpanan alat masak, dan tempat cuci piring pada masa lampau. Misalnya kira-kira di mana letak lempengan besi untuk memanaskan wajan dan panci. Kira-kira, di mana Abdi Dalem meletakkan kayu bakar untuk memasak.
“Ini tuh tempat buat masak deh kayaknya?”
“Iya menurutku juga, terus di bawah sini tempat buat naruh kayu bakarnya.”
“Ini ada cekungan di atas, mungkin buat menaruh lempengan besi untuk memanaskan peralatan masak.”
Saya melihat para peserta antusias saling menimpali dan berdiskusi. Beberapa peserta terlihat melakukan kroscek dari berbagai sumber melalui Google atau arsip pribadi. Tujuannya untuk membandingkan penampakan fasad saat ini dan masa lampau dari sumber yang lebih valid.
Menurut saya justru di situ lah menariknya. Karena semua peserta bisa jadi tour guide, interaksi antar peserta jadi lebih hidup. Pembahasan satu topik bisa memancing pembahasan-pembahasan lainnya. Bonding dan perkenalan dengan teman baru jadi lebih cepat erat.
Selain itu, di antara kami tidak ada tour guide khusus ahli sejarah. Jadi proses kami untuk melakukan kroscek informasi juga terasa sangat mengasyikkan. Usai keluar dari gedhong-gedhong di Tamansari, saya mendapat rekomendasi buku bacaan dari teman baru.
Salah satu peserta Gang-Gangan yang seangkatan dengan saya, Ulil Maulida (30), sepakat dengan pendapat saya. Katanya dia jadi merasa punya geng jalan-jalan baru yang beneran akrab karena interaksi yang lebih intim.
“Dulu pernah ikut walking tour, memang menyenangkan karena ada yang menyampaikan banyak informasi. Tapi sayangnya terlalu ramai dan interaksinya kurang. Kalau di Gang-Gangan sangat interaktif jadi bisa cepet kenal dekat sama peserta lain,” kata Ulil.
Katanya Ulil sudah lama ingin jalan-jalan ke gang sekitar rumahnya, tapi merasa canggung dan aneh kalau jalan sendirian. “Enakan ramean tapi nggak terlalu rame juga. Kayak di Gang-Gangan berasa punya geng jalan bareng baru.”
Denisa Kristiana, salah satu peserta yang terpilih bersama saya merasa perjalanan bersama Gang-Gangan membangkitkan memori-memori masa kecilnya. “Dari sharing-sharing bersama peserta lain jadi memunculkan informasi yang aku punya lalu aku juga bisa ikut berbagi cerita,” kata Denisa.
Menemukan hal-hal kecil yang menarik
Sisanya saya melihat hal-hal kecil yang selama ini tampak biasa saja, namun ketika didekati kok menarik. Ternyata banyak detil-detil yang selama ini belum pernah saya lihat. Misalnya seperti jemuran dengan baju, handuk, celana menggantung di kawat panjang.
Jemuran warga menurut saya adalah objek kecil, sepele tapi menarik. Soalnya saya menemukan celana kolor rumahan dengan motif Korpri di gang pemukiman warga Ngasem. Saya tidak pernah melihatnya di mana pun selama ini.
Beberapa peserta ramai-ramai mengomentari celana unik itu. Saya membayangkan sepertinya menarik jika teman saya yang kerja jadi ASN mencoba celana itu. Nanti bisa matching sama seragam kemeja Korpri mereka. Saya nggak tahan buat cepat-cepat share foto itu di Instagram.
Ternyata teman saya di Instagram Stories malah punya perspektif-perspektif yang lebih keren. Celana kolor Korpri itu mungkin adalah upaya warga mendaur ulang seragam ASN mereka setelah pensiun. Ada juga teman saya yang bilang itu adalah kritik akar rumput untuk pemerintah, makanya lambang Korpri ditaruh di selangkangan.
Saya jadi menyadari, jalan lambat untuk melihat hal-hal kecil lebih dekat ternyata bisa semenyenangkan ini. Hal-hal kecil tapi indah itu mungkin saja tidak bisa saya temukan di jalan-jalan protokol besar.
Di akhir perjalanan kami melintasi rumah warga yang merupakan anggota Kelompok Tani. Di sana saya dan teman-teman sibuk bernostalgia karena diperkenalkan lagi dengan beberapa tumbuh-tumbuhan masa kecil. Misalnya bunga asoka yang kalau dihisap rasanya manis. Ada juga bunga kitolod yang bisa jadi obat tetes mata.
Kami juga mampir ke perpustakaan seorang warga yang berjualan buku di Shoping sejak 1960. Kami berhenti, mampir membaca buku-buku koleksi beliau dan mendengarkan cerita-ceritanya saat berdagang. Pokoknya menyenangkan.
Gang Gangan terbentuk tanpa rencana. Awalnya, founder Gang-Gangan, Shinta Dewi dan enam orang temannya cuma iseng. Di waktu luang, mereka sepakat untuk berjalan-jalan keliling gang-gang kampung yang ada di Jogja. Terkadang tidak utuh tujuh orang bergabung. Pokoknya siapa saja yang lagi selo bisa ikut jalan.
Mereka memutuskan membuat Instagram untuk dokumentasi perjalanan mereka. “Sampai akhirnya salah satu teman kami ikutan, mulai dari situ followers kami nambah 100 terus jadi banyak banget yang pengen ikutan,” kata Shinta.
Sejak saat itu Shinta mulai memikirkan narasi tentang konsep Gang-Gangan untuk disebarluaskan. Tujuannya untuk memberitahu calon peserta bahwa Gang-Gangan bukan walking tour ke situs bersejarah atau objek wisata. Mereka sebenarnya fokus untuk mengarsipkan kehidupan di dalam gang pemukiman. Entah itu berupa foto atau cerita.
“Kalau walking tour ke situs bersejarah atau objek wisata sudah banyak teman-teman di sini yang lebih punya kapasitas ilmu untuk menjelaskan ke peserta.”
Sebelum menyusuri rute gang-gang pemukiman bersama peserta, anggota melakukan survei rute terlebih dahulu. Saat survei, mereka berkenalan dengan warga sekaligus meminta izin. Prosesnya bisa memakan waktu hingga lima hari.
“Lamanya karena proses perkenalan sama warga supaya akrab itu tidak bisa sebentar. Belum lagi kalau setiap survei, warga lokal yang menemani kami berbeda-beda,” kata Shinta.
Shinta mengatakan saat berjalan-jalan di gang warga, anggota berusaha menjaga sopan santun dan etika. Salah satunya untuk tidak membawa rombongan terlalu banyak. Supaya tidak berisik dan memenuhi jalan.
“Setiap open slot kami memang membatasi jumlah peserta, kami juga melakukan background checking calon peserta. Kira-kira mana yang bisa menularkan hobi ini ke teman-temannya yang lain,” kata founder Gang Gangan, Risna Anggaresa.
Risna mengatakan setiap peserta yang sudah pernah mengikuti telusur gang bisa melakukan kegiatan telusur gang sendiri. Bisa dimulai dari lingkungan terdekat mereka.
“Bisa juga mereka mengusulkan rute yang ada di lingkungan mereka, nanti infonya kami posting di Instagram untuk mencari teman jalan,” kata Risna.
Menurut Risna berjalan-jalan di gang membuatnya bisa mengamati perubahan Jogja yang masif. Sesimpel menyadari perubahan arah jalan, atau perubahan tata ruang.
“Aku 30 tahun hidup di Jogja. Ketika jalan-jalan di gang pemukiman jadi bisa melihat perubahan-perubahan kota Jogja, sekalian nostalgia membandingkan yang dulu dengan yang sekarang,” kata Risna.
Reporter: Salsabilla Annisa Azmi
Editor: Agung Purwandono