Novel karya Fredy S, identik dengan cerita dewasa nan erotis di era Orde Baru. Anak-anak muda penggiat literasi di Pangkajene, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan mempertanyakan, mengapa karya-karyanya lolos dari sensor ormas dan institusi negara.
***
Hujan tidak turun hingga selesainya kegiatan Membincang Fredy S di Musim Hujan pada Sabtu, 14 Januari lalu di halaman Rumah Saraung yang terletak di perumahan Riskita Residen, Bonto Perak, Pangkajene, Kabupaten Pangkajene dan Kepualuan (Pangkep), Sulawesi Selatan. Sebaliknya, terik matahari siang menjelang sore hingga senja menyapa menemani perbincangan yang menurut salah satu pemantik membuat tubuh sedikit menggelinjang karena gerah.
“Sepertinya arwah Fredy S merestui karena hujan tidak turun,” celetuk saya usai kegiatan yang disambut tawa. Dua pekan sebelumnya saya menawarkan ke orang-orang yang menggerakkan Pekan Literasi Pangkep (PLP) mengenai salah satu bentuk kegiatan pra-event PLP 2023 dengan membincang Fredy S. Tawaran itu lalu disambut antusias dan semua sepakat agar segera direalisasikan.
“Generasi saya mungkin tidak mengenal siapa itu Fredy S,” Yulianto Ardiwinata juga mengajukan celetukan di sela perbincangan. Hal serupa juga diutarakan Muhajir MA dan Nasaruddin Gante yang ikut mengamini. Ketiga peserta ini lahir di paruh akhir 1990-an.
“Perbincangan kita hari ini agak menarik karena membahas Fredy S. Disebut pornoaksi tidak juga. Saya sendiri membacanya sejak SMP karena mudah mendapatkannya, bisa dijumpai di penjual mainan,” ujar Badauni AP yang memandu jalannya perbincangan.
Novel Fredy S yang terpajang di etalase mainan
Para pemantik rupanya sudah membekali diri dengan melakukan riset berupa penelusuran di rimba digital. Saya meyakini setelah menerima ajakan perbincangan itu mereka pasti tidak mau terlihat pandir di hadapan pemirsa karena kegiatannya disiarkan langsung melalui Instagram.
Jika kita memasukkan kata kunci ‘Fredy S’ di mesin pencari Google, hingga halaman ketujuh akan ditemukan tautan yang terhubung dengan ulasan Fredy S dan juga terdapat delapan pilihan kata kunci penelusuran. Tautan itu menghubungkan ke sejumlah ulasan pembaca dan layanan pasar daring yang menjual novel-novel Fredy S. Ini bukti jika Fredy S itu layak menyabet Man of Best Seller. Bayangkan saja, produk yang dihasilkannya tetap hadir di medium pasar yang terus malih rupa.
Pembacanya di generasi 1980-an di Sulawesi Selatan mendapati novel terbaru penulis idolanya itu di mas-mas penjual koke-koke. Istilah ini mengacu pada perantau Jawa di Sulawesi Selatan yang menjajakan beragam jenis mainan dengan membonceng etalase jualan di sepeda ontel mereka lalu berkeliling dari kampung ke kampung.
Mereka membunyikan alat yang dirakit sendiri dan mengeluarkan suara koke-koke. Begitulah sosiolingusitiknya sehingga diakrabi juga dengan sebutan penjual koke-koke. Di antara beragam jenis mainan yang dijual terdapat juga novela Fredy S terpajang layaknya mainan.
“Bagaimana itu bisa terjadi sehingga distribusi karya Fredy S bisa sampai di pelosok,” Rames, salah satu pemantik menimpali. Lebih jauh ia utarakan kalau ia belajar penempatan tanda baca seperti penggunaan titik dan koma itu dari membaca novel Fredy S. “Saya kira Fredy S ini punya kontribusi dalam peningkatan melek literasi kita,” pungkasnya.
“Saya pernah mondok di pesantren dan di pondoklah mendaras baris demi baris kalimat novel Fredy S. Kelak, kebiasaan membaca itu mendorong saya membaca topik lain hingga ke filsafat,” ia menambakan.
Fredy S yang mendorong kebiasaan membaca
Bagi Muhammad Ramli Sirajuddin, nama asli Rames, mendorong kebiasaan membaca itu sangat sulit dilakukan. Profesor sekalipun akan kewalahan memberikan wejangan agar orang-orang rajin membaca. Sedangkan bagi Fredy S, ia cukup menulis dan orang-orang tergerak untuk membacanya.
Pemantik yang lain, Andi Agus Salim mengatakan kalau Fredy S adalah penulis yang lihai membacai pangsa pasar. “Fredy S ini seniman multi talenta, awalnya dia bikin komik tetapi tidak laku dan kemudian menulis novel-novel pendek yang akhirnya kita kenal luas hingga hari ini,” ucapnya.
Agus yang kini berkecimpung di bisnis digital menggali tentang tips marketing sebuah produk bisa viral di masyarakat. Ia masih heran dan terus mencari tahu proses distribusi novel-novel Fredy S hingga masuk di hampir semua wilayah di Sulawesi Selatan di dekade 80-an.
“Tentu ada sistem yang bekerja di balik semua itu,” ucapnya. Agus juga menyebutkan kalau dalam buku Seratus Buku Sastra Indonesia yang Patut Dibaca Sebelum Dikuburkan (Iboekoe: 2009). “Di halaman 32 sengaja dikosongkan sebagai dedikasi atas karya sastra Fredy S yang saat itu belum bisa mengulik kisah hidupnya lebih jauh, begitu penjelasan yang saya baca dari Muhidin M Dahlan,” tukasnya.
Karya yang terbuka untuk ditafsirkan
Hamria Muaedi, pemantik yang lain, menyebutkan kalau Fredy S sangat produktif menulis “Dari literatur yang saya baca di internet diterangkan kalau doi bisa menulis tiga novel dalam sebulan,” urainya.
Dari pengalaman pembacaannya ia menilai alur ceritanya datar dan polos saja. “Saya menyimpulkan jika Fredy S ini orangnya awet muda,” ia menambahkan.
Saya sendiri mengutipkan narasi Muhidin M Dahlan yang mengulas karya Fredy S yang melahirkan heksalogi Politik Bercinta yang yang total halamannya mencapai dua ribuan. Bahwa apa yang ditawarkan Fredy S adalah medan terbuka untuk ditafsirkan. Konteksnya untuk literasi, tentulah membaca novel Fredy S bukan aib.
Fredy tidak pernah dihujat karena melakukan plagiarisme. Justru, dalam liputan majalah historia.id Nomor 19 Tahun 2 bertajuk Seteru atau Sekutu ada laporan khusus Fredy S Sastrawan Kaki Lima produktivitas menulis Fredy S telah menjadi merk dagang untuk novel laris sehingga namanya kerap dicatut untuk novel serupa.
Mengapa karya Fredy S lolos dari sensor negara dan ormas
Menengok tahun-tahun Fredy S berkarya di dekade 1980-an hingga mengambil seharpal medio 2000-an sebelum mangkat pada 2015. Bukankah 1980-an itu Orde Baru (Orba) sedang kuat-kuatnya. Mengapa saat itu tidak muncul pembredelan dari kalangan ormas tertentu, misalnya, atau dari negara itu sendiri. Seperti yang menimpa karya Pramoedya Ananta Toer atau belakangan novel Muhidin M Dahlan yang membuat ormas keagamaan tertentu bersusah payah agar karya itu ditarik dari peredaran.
Muhajir MA menanggapi jika kerja kekuasaan saat itu masihlah berwajah tunggal. Negara yang memakai jubah otoritarianisme sedang menjalankan praktik untuk menjaga stabilitas sosial dan politik. Dalam kajian strategis para pemikirnya tentu akan melihat peluang yang akan menjadi kawan dan lawan.
“Liberalisme yang masuk di Indonesia ketika peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru membutuhkan infrastruktur di bidang kebudayaan untuk menyokong kerja kekuasaan. Saya melihat tema seks, atau kemudian dikenal sastra kamar yang dikerjakan Fredy S bagian dari wajah kebebasan dalam liberalisme,” paparnya.
Menjadi paradoks di tengah kurungan moralitas berwajah tunggal yang masih menguat hingga sekarang, karya Fredy S yang dianggap jorok, justru, lolos dari bentuk penyensoran baik yang bersifat swasensor pun sensor dari institusi negara atau ormas keagamaan. Mengapa hal ini bisa terjadi.
Novel Fredy S agar masyarakat tak membaca bacaan kritis
Saya mengajukan pendapat jika analisis yang diungkapkan Muhajir MA menemukan relasinya dengan kebutuhan infrastruktur kekuasaan di ranah kebudayaan. “Kekuasaan yang sedang bekerja membiarkannya sebagai bagian hegemoni supaya masyarakat tidak membaca bacaan kritis,” ucapku.
Afdhal mengajukan pendapat kalau wacana yang ditawarkan Fredy S ini biasa saja. Siapa pun yang mempunyai keahlian menulis juga bisa melakukannya dan orang tertarik membacanya karena yang dibahas merupakan kebutuhan dasar manusia. “Sama saja logikanya kalau ada orang mengajak makan, maka kita pasti mau karena makan adalah kebutuhan,” urainya.
Menurut Afdhal perlu melampaui hal lain dari Fredy S sehingga ia layak untuk diperbincangkan, seumpamanya saja, apakah karyanya dikelola oleh satu perpustakaan tertentu sebagai pusat literasi tentang Fredy S. Di sisi lain Afdhal tidak memungkiri jika Fredy S ini telah mampu menyita perhatian publik.
Yulianto Ardiwinata dalam tanggapannya melihat kalau si Fredy ini rupanya sangat berpengaruh “Mungkin almarhum ini tidak bakal mengira kalau karyanya akan diperbincangkan,” ucapnya.
Fredy S yang tak masuk radar kerja politik sastra
Pada akhirnya nalar pembaca tidak bisa dibungkam. Merespons Afdhal, tentu kita memerlukan alat untuk melihat kembali bagaimana posis Fredy S di masa lalu. Ada lingkar kekuasaan lain yang juga bekerja di luar infrastruktur negara. Polemik kebudayaan seperti pertarungan kubu Manifesto Kebudayaan dan kubu Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) mengukuhkan standardisasi sebuah karya sastra.
Fredy S yang tumbuh di lokus kekuasaan (Pulau Jawa) tentulah melihat sisa dari pernik-pernik pertarungan itu. Menurut Gus Muh, sapaan Muhidin M Dahlan, ia tahu siapa itu Wiratmo Soekito yang menjadi pemikir di kubu Manifesto Kebudayaan.
Telisik kerja kekuasaan di era Fredy S harus terbentur mengingat narasi karya yang diperbincangkan kala itu dan direktori bacaan yang kemudian menjadi desakan rekomendasi. Praktis karya Fredy S tidak masuk dalam radar di balik kerja politik sastra.
Romantika pembaca Fredy S dari kumpulannya yang terbuang sepertinya hanya memunculkan sensasi pribadi. Seperti yang diutarakan oleh Hamriah yang mengatakan jika membaca karya Fredy S, memberikan penyegaran tertentu yang bisa dirasakan oleh masing-masing pembaca.
Atau, serupa tanggapan Sulaiman Ghibran di mana karya Fredy S memanglah tidak seprogresif Pramoedya Ananta Toer, tetapi ada ideologi terselubung yang mungkin ingin diungkap juga oleh Fredy S. “Kita menerima sumbangsinya untuk melihat kalau Fredy S ini mengisi ceruk lain dalam literasi,” ujarnya.
Penulis: F Daus AR
Editor: Agung Purwandono