Fitrah Menikah Dini Bukan karena Takut Tidur Sendiri

MOJOK.COAwalnya media memberitakan bahwa Fitrah, 14 tahun, berencana menikah dini karena alasan yang dianggap lucu: “takut tidur sendiri”. Kisah sebenarnya malah bikin sedih.

Saat matahari tingginya sepenggalah, Senin, 23 April 2018, kebahagiaan Fitrah Ayu dan Syamsuddin membuncah. Bertempat di kediaman Fitrah di Kelurahan Letta, Bantaeng, Sulawesi Selatan, keduanya telah resmi menjadi sepasang suami istri. Pernikahan yang mereka perjuangkan sekian lama di tengah sorotan rasa ingin tahu dan cibiran publik, akhirnya terwujud.

Sebelumnya, rencana pernikahan mereka menjadi isu nasional. Fitrah baru berusia 14 tahun, sementara Syamsuddin 16 tahun. Umur keduanya masih jauh di bawah batas yang diperbolehkan menikah oleh negara.

Seandainya terus melanjutkan sekolah, Fitrah seharusnya masih duduk di kelas 2 SMP dan Syamsuddin yang akrab dipanggil Syam mungkin akan duduk di kelas 1 SMA.

Awalnya keluarga kedua remaja ini yakin pernikahan mereka akan berjalan mulus. Pihak keluarga bahkan sudah menyebar undangan untuk resepsi pernikahan yang disepakati akan diadakan pada tanggal 1 Maret 2018.

Namun, mereka tak menyangka harus berhadapan dengan negara. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah mengatur secara tegas batas bawah usia pernikahan laki-laki adalah 19 tahun dan perempuan minimal 16 tahun. Syam dan Fitrah tak memenuhi syarat itu.

Kantor Urusan Agama Kecamatan Bantaeng, tempat mereka mendaftarkan pernikahan, menyarankan keluarga Fitrah dan Syam untuk meminta dispensasi ke pengadilan agama. Sesuai undang-undang, pengadilan agama berhak memberi pengecualian jika dirasa perlu.

Di pengadilan agama, pasangan remaja ini mengikuti sidang sebanyak dua kali, yaitu pada 23 Maret dan 3 April 2018. Pengadilan memutuskan mengabulkan permohonan mereka. Dan penghulu, mau tidak mau, harus melaksanakan putusan Pengadilan.

Hari baik pun kembali ditetapkan: Senin, 23 April 2018.

Namun, pro-kontra masih terus mengikuti, bahkan sejak rencana pernikahan mereka terdengar. Tak terbilang banyaknya pemerhati sosial dan hak anak yang menganjurkan pernikahan itu dibatalkan. Bahkan Menteri Agama Lukman Syaifuddin, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), dan Kementerian Sosial, juga meminta agar pernikahan itu ditunda.

Lalu burung-burung nasar dalam rupa media pun dengan segera merubung. Berbagai judul berita dibuat untuk menggambarkan motivasi kedua sejoli remaja ini menikah dini. Ini isu yang cukup seksi dan potensial mendulang klik. Ada yang menyebut Fitrah kebelet dan terbawa nafsu. Sebagian lain memberitakan mereka ingin menikah dini karena Fitrah takut tidur sendiri setelah ibunya meninggal dua tahun lalu. Sebuah alasan yang sekilas cukup untuk menerbitkan tawa.

Tapi, apa betul seperti itu?

Saya menghubungi kawan saya, Eko Rusdianto, yang sempat menulis untuk CNN Indonesia mengenai latar belakang pernikahan kedua remaja di bawah umur itu.

“Saya jengah dengan pemberitaan sebelumnya. Kasihan Fitrah dan Syam. Ditelanjangi sedemikian rupa,” kata Eko via aplikasi pesan.

Fitrah adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya bernama Nur Indah, usianya 17 tahun. Sedang adik bungsunya, Cahyana Tri Salsabilah, baru berusia 5 tahun. Seperti Fitrah, Nur Indah juga berhenti sekolah dan sempat bekerja di sebuah toko.

Tahun 2016 lalu, saat Cahyana baru berusia 3 tahun, ibu mereka meninggal di usia 34 tahun. Sementara sang ayah, Muhammad Idrus Saleh, meneruskan bekerja di Makassar sebagai kuli bangunan. Ia jarang pulang. Dan belakangan, kiriman uang untuk anak-anaknya pun seperti dirinya: jarang datang.

Untuk memenuhi kebutuhan, Fitrah mengikuti jejak kakaknya. Ia bekerja menjadi pelayan di sebuah kedai makanan di Pantai Seruni, kawasan wisata di Kabupaten Bantaeng. Sifnya berlangsung dari siang hingga tengah malam, kadang hingga pukul 3 dini hari di malam Minggu.

Dengan pekerjaan itu, Fitrah dibayar 30 hingga 50 ribu rupiah per hari. Uang itulah yang ia gunakan untuk membeli beras, voucher listrik, dan sesekali memberi uang jajan untuk adiknya. Kalau ia kehabisan uang dan tak ada lagi yang bisa dimakan, ia akan pergi ke rumah Nurlina, tantenya yang selama ini ikut menjaga dua anak itu setelah ibu mereka wafat.

Tapi, bekerja hingga larut malam dengan bayaran tak seberapa itu membuat Fitrah mendapat stigma jelek di sekolah.

“Saya dibilangi anak nakal. Juga pakai narkoba. Biasa juga mengantuk di sekolah, tapi guru mengerti ji,” kata Fitrah, seperti yang dituturkan kepada Eko Rusdianto.

Fitrah kemudian memutuskan berhenti sekolah. Sebelum di SMP, Fitrah bersekolah di Madrasah Tsanawiyah yang setingkat SMP. Tapi, durasi sekolah yang lebih lama membuatnya kesulitan untuk bekerja. Akhirnya ia pindah ke SLTP 2 Bantaeng yang memungkinkannya pulang lebih cepat setiap hari.

Tapi, “Di SMP 2, saya hanya beberapa bulan. Terus lebih banyak teman yang tidak suka. Dicerita sembarang. Jadi berhenti.”

Fitrah harus berhenti sekolah karena pekerjaannya mengundang kata-kata buruk dari orang.

Di Pantai Seruni itulah Fitrah kemudian bertemu Syam. Pemuda ini juga putus sekolah dan bekerja sebagai tukang batu. Di usia sebelia itu, mereka jatuh cinta dan kemudian terpikir untuk menikah.

“Nanti kalau sudah resmi menikah, saya tinggal di rumah mertua. Saya mau tetap sekolah. Tunda hamil dulu,” tambah Fitrah.

Meski Menteri Muhadjir Effendy menyatakan tidak ada larangan bagi siswa yang sudah menikah untuk bersekolah, nyatanya di Indonesia, rata-rata sekolah formal mensyaratkan siswa mereka belum menikah. Artinya, kemungkinan besar satu-satunya peluang Fitrah untuk mendapat pendidikan hanya lewat Kejar Paket.

Fitrah juga berharap setelah menikah nanti, mertuanya mengizinkan ia mengajak adiknya tinggal bersama. Fitrah ingin cita-citanya untuk menjadi dokter, yang menurutnya telah kandas, kelak bisa diwujudkan Cahyana.

Sulawesi Selatan, menurut data, adalah salah satu wilayah dengan kasus pernikahan dini terbanyak di Indonesia, berdampingan dengan Kalimantan Barat dan Nusa Tenggara Barat. Sementara Bantaeng, tempat tinggal kedua remaja itu, adalah kabupaten dengan kasus pernikahan dini kedua terbanyak di Sulawesi Selatan.

Menurut Ahmad Syamsuddin, salah seorang wartawan senior setempat yang mengikuti bergulirnya pemberitaan ini sejak awal, tahun lalu ada 50 permintaan dispensasi yang masuk ke Pengadilan Agama Bantaeng. Sementara untuk periode Januari-April 2018 saja, permohonan dispensasi yang masuk sudah mencapai 18. Tidak ada data pasti berapa dari jumlah itu yang disetujui, tapi itu cukup menjadi parameter betapa tingginya niatan untuk menikah dini.

Saya sepakat dengan Ahmad yang menganggap kisah Fitrah dan Syam sebagai kisah cinta remaja biasa. Saya juga sepakat dengan Eko, yang kemarin ikut hadir di acara akad nikah Fitrah dan Syam, bahwa pernikahan kedua remaja ini tidak bisa hanya dilihat sebagai sebuah impak budaya. Menurut Eko, ini persoalan sebaran pengetahuan yang tidak memadai mengenai isu pernikahan dini, yang berkelindan dengan faktor sosial ekonomi lainnya seperti kemiskinan dan akses pendidikan.

Jika negara mengatur batas bawah usia untuk menikah, mengapa negara lewat pengadilan agama juga memberikan dispensasi?

Untuk keperluan itu, saya menghubungi dua orang yang saya pikir cukup otoritatif.

Saya mengontak sahabat saya, seorang perempuan praktisi nikah muda. Ia menikah di awal tahun 2000-an ketika usianya masih di bawah batas minimal aturan negara. Anak pertamanya kini sudah 17 tahun di saat ia sendiri sedang matang-matangnya: di permulaan 30.

Saya tanya alasan dulu ia menikah dini. Apakah terpengaruh Agnes Monica dan Syahrul Gunawan? Ia sebenarnya bisa saja menolak karena pernikahan itu bukan karena keterpaksaan. Ia tidak “kecelakaan”.

Kata Ina, sebut saja namanya begitu, ia hanya ingin membahagiakan orangtuanya, terutama ayah.

“Bapak saya cuma pengin mastiin anak perempuan satu-satunya ini ada di tangan orang baik,” katanya. Tak lama setelah pernikahan itu, sang ayah wafat. Dan kawan saya ini merasa telah melakukan bakti yang seharusnya. Sampai kini, ia hidup berbahagia dengan suami dan tiga anaknya.

Sekiranya ada hal yang harus ia sesali, itu karena ia terpaksa putus sekolah sebelum sempat lulus SMA. “Tak apa. Biar anak-anakku saja nanti yang sekolah tinggi,” katanya lagi.

Saya juga mewawancarai via telepon seorang mantan hakim pengadilan agama. Ia baru saja pensiun beberapa tahun lalu dan berpengalaman menyidang kasus permohonan dispensasi nikah di bawah umur. Ada beberapa yang ia beri izin, tapi sebagian besar ia tolak. Saya bertanya, seandainya ia yang menyidangkan permohonan Fitrah dan Syam, apakah akan ia loloskan atau tidak?

Ibu ini menjelaskan bahwa hakim pasti punya pertimbangan-pertimbangan khusus untuk memutuskan perkara. Pada dasarnya yang dilihat adalah unsur kemaslahatan (manfaat) yang lebih besar dari mudarat (kerugian). Beberapa kasus yang pernah ia beri dispensasi untuk menikah dini adalah demi mencegah kerusakan yang lebih besar. Tentu setelah melakukan serangkaian penilaian.

Ia bercerita pernah meminta seorang remaja perempuan membuka baju untuk menunjukkan apakah payudaranya sudah siap untuk menyusui bayi jika ia bersikeras menikah. Sebab, kadang pengakuan sudah pernah haid tidak bisa selalu dibuktikan. Hakim (perempuan, tentu saja) bahkan terkadang perlu untuk memeriksa lingkar pinggul seorang perempuan untuk memastikan ia siap mengandung. Di luar itu, seorang hakim juga akan berupaya agar keputusannya tidak malah membuat pemohon nikah dini itu kelak menjadi sandsack bagi pasangannya.

Kepadanya saya ceritakan latar belakang rencana pernikahan Fitrah dan Syamsuddin, seperti yang saya dengar dari Eko. Kata ibu ini, memang seharusnya diberi dispensasi bila seperti itu.

“Kenapa nanya-nanya soal itu?” tanyanya, setelah menanyakan kabar anak-anak dan kondisi keuangan saya bulan ini.

“Mau ditulis, Mak. Buat Mojok. Siapa tahu dimuat.” Kebetulan, ibu ini adalah ibu saya.

Ibu saya tidak tahu apa itu Mojok dan saya juga tidak yakin Mojok yang senang bercanda mau menerima tulisan sedih begini.

Saya ingat nasihat bos saya. Menurutnya, ada beberapa kasus yang tidak bisa ditulis dengan sekilas saja. Misalnya menulis bahwa ada orang yang menikah dini hanya karena “takut tidur sendiri”. Membicarakan kasus pernikahan dini ini seharusnya diperlakukan seperti kita memberitakan perburuan paus di Lamalera. Tidak mungkin ditulis pendek. Konteksnya harus dilihat secara luas. Atau kita akan terjebak untuk menyalahkan salah satu pihak.

Exit mobile version