Jogja punya banyak sisi menarik. Namun, di balik itu, kesan pertama kuliah di Jogja bagi mahasiswa baru (maba) UGM dan UPY dari luar daerah diwarnai kisah tentang macet hingga makanan yang tidak semurah kata orang-orang.
***
Sebulan kuliah di Jogja membuat Faiz Wildan (20) sadar, ada banyak hal tentang kota ini yang tidak seperti bayangannya dahulu. Faiz merupakan mahasiswa baru UGM asal Cirebon, Jawa Barat yang saat ini ngekos di sekitar Jalan Kaliurang.
Ia tiba beberapa waktu sebelum PPSMB UGM 2023 berlangsung. Tantangan pertama yang harus ia pecahkan adalah mencari tempat tinggal yang tepat. Faiz perlu mondar-mandir ke hampir sepuluh kos sampai akhirnya menemukan kamar yang cocok secara harga dan fasilitas.
“Ternyata cari kos cowok yang enak agak susah ya. Kalau kos cewek malah banyak,” curhatnya.
Lelaki yang sempat menunda kuliah dua tahun akhirya memilih tinggal di kamar seharga Rp700 ribu per bulan. Fasilitasnya sudah ada isian berupa lemari dan kasur. Lokasinya juga masih strategis dari jangkauan UGM. Hanya saja kamar mandinya masih di luar.
Tinggal di Jogja jadi pengalaman pertama Faiz merantau. Sebelumnya, ia tidak pernah menetap lama selain di kota asalnya Cirebon.
UGM jadi universitas yang ia dambakan pascakegagalan menjadi seorang taruna. Ia berhasil lolos seleksi lewat jalur mandiri. Namun, selain urusan kualitas perguruan tinggi, Jogja punya daya tarik tersendiri baginya.
Daya tarik kuliah di Jogja
Faiz membayangkan Jogja sebagai tempat yang bersahaja untuk menetap. Nuansa budaya Jawa di wilayah ini begitu kental. Sejak lama ia ingin hidup di daerah dengan citra berbudaya dan sederhana seperti Jogja.
“Aku orang asli Cirebon, tapi emang tertarik sama kultur Jawa. Orang tuaku bukan yang Sunda banget gitu,” tuturnya.
Selain itu, Jogja dalam bayangannya penuh orang ramah. Tutur katanya adem. Kesan itu ia dapat saat pertama kali singgah di wilayah ini semasa SMP. Kala itu Faiz menjalani study tour ke Malioboro dan sejumlah destinasi wisata lainnya.
Meski awalnya lebih banyak mengetahui hal-hal menarik dari Jogja, jelang kuliah ia mengaku mulai menyadari ada satu hal yang cukup jadi momok. Hal itu adalah klitih.
Sebelum berangkat kuliah di Jogja, mahasiswa Fisipol UGM ini sudah sering terpapar informasi tentang klitih di media sosial. Klitih cukup menyita perhatiannya.
“Aku sampai riset di mana lokasi-lokasi rawan klitih itu,” ujarnya tertawa.
Saat sedang naik ojek online pun topik tentang tindak kejahatan jalanan itu jadi perbincangan antara Faiz dengan pengemudi. Riset dan obrolan di jalan itu agak membuatnya lega sebab tidak semua jalan di Jogja berbahaya. Terlebih di masa-masa awal kuliah ia belum banyak berkegiatan sampai larut malam.
“Itu langkah mitigasi buatku. Sebab kabar klitih ramai banget di media sosial,” kelakarnya.
Makanan di Jogja tidak semurah citra yang ada di media sosial
Jogja memang kerap diidentikan dengan biaya hidup murah. Banyak rekomendasi kuliner terjangkau bagi mahasiswa yang bertebaran di media sosial. Namun, sebulan tinggal di sekitar UGM, Faiz mengaku belum menemukan realita itu.
“Harganya ya kalau dibilang murah nggak juga. Aku bandingkan dengan Cirebon sama saja kurang lebih,” katanya.
Tentu ia menyadari belum terlalu banyak menjelajah kuliner di Jogja. Di sekitar UGM paling sering ia makan di warmindo. Harga sekali makan di warung-warung tersebut, jika dengan tambahan es teh paling tidak Rp12-15 ribu.
“Jadi standar saja lah. Nggak kalau dibilang murah banget gitu,” katanya.
Sejauh ini Faiz juga belum banyak menjelajah kedai-kedai kopi di sekitar UGM. Ia belum bisa menilai apakah harga kopi yang biasa mahasiswa beli untuk menemani mengerjakan tugas terbilang murah atau tidak.
Faiz tinggal di kos yang letaknya dekat Simpang Empat Kentungan, Jalan Kaliurang. Kawasan sekitar tempat tinggalnya tergolong pusat keramaian. Ia jadi mudah untuk mencari berbagai kebutuhan. Di sisi lain, ia jadi sadar bahwa macetnya jalan Jogja lebih dari yang ia bayangkan sebelumnya.
Kuliah di Jogja, jadi tahu macetnya melebihi ekspektasi
Jalan Kaliurang memang salah satu area rawan macet di Jogja. Khususnya area selatan di kilometer 1-5 sebelum menyeberang Ring Road. Keberadaan Underpass Kentungan salah satunya untuk mengurangi kepadatan di titik tersebut.
Faiz yang belakangan sudah membawa kendaraan roda dua langsung merasakan ruas jalan terpadat di masa-masa awal ia kuliah di Jogja. Terutama setiap pulang kuliah di sore hari, ia harus bersabar karena Jalan Kaliurang hampir pasti macet.
“Aku kadang sampai sengaja nunggu habis magrib buat pulang dari kampus ke kos. Macetnya di luar perkiraanku. Jelas lebih dari Cirebon. Belum lagi cuacanya juga panas,” keluhnya.
Ia sampai berkelakar, “aku kira ramai-ramai di Jalan Kaliurang itu gara-gara ada kecelakaan. Tapi ternyata kok setiap sore begitu.”
Sejauh ini kepadatan jalan adalah hal yang paling tidak ia sangka-sangka. Pada kesempatan ke Jogja semasa masih sekolah, ia merasa jalanan belum semacet sekarang. Jogja memang punya laju pertumbuhan kendaraan yang cepat. Sementara ruas jalannya terbilang sempit.
Namun, di balik kemacetan itu ia bersyukur pengendara di Jogja tidak seganas yang biasa ia lihat di daerah lain. Di tengah kepadatan itu tidak banyak yang menekan tombol klakson secara serampangan.
“Tentu mending kalau aku bandingkan dengan pengalaman ke Jakarta. Di sana orang pada menyerobot nggak peduli nyerempet yang penting bisa lewat,” ujarnya.
Masalah padatnya jalan juga jadi kesan pertama bagi Nadia Zulfani (20). Mahasiswa baru Universitas Pendidikan Yogyakarta (UPY) ini langsung berhadapan dengan kemacetan di hari pertamanya menetap di kos.
Saat itu, untuk membeli beberapa keperluan ospek UPY ia berkeliling di sekitar Jalan Ahmad Dahlan dan Malioboro. Kebetulan hari Minggu sehingga ia dan keluarganya sempat terjebak macet sampai nyaris tidak bisa bergerak.
“Aduh.. belum lagi parkirnya di sekitar sana juga susah banget harus muter-muter. Dulu pas masih SMA ke Jogja kayanya nggak semacet ini,” curhatnya.
Mengenal klitih saat tinggal di Jogja
Maba UPY asal Banjarnegara ini agak sedikit beruntung bisa sedikit terhindar dari macet karena tidak bawa motor di masa awal kuliah di Jogja. Namun, transportasi umum pun menurutnya tidak terlalu mudah diakses.
Nadia mengaku ada satu hal yang membuatnya kaget saat berinteraksi dengan teman-teman barunya di UPY. Terutama dengan mereka yang sudah lama tinggal di Jogja.
“Katanya ada klitih-klitih itu di Ring Road. Mereka pakainya Honda Scoopy terus bawa celurit,” ujar maba UPY ini dengan sedikit polos.
Tidak seperti Faiz, ia mengaku baru tahu tentang klitih setelah tinggal di Jogja. Selain jadi hal baru, ia juga heran mengapa ada anak-anak muda yang berbuat tindakan semacam itu. Padahal kawasan ini punya julukan Kota Pendidikan.
“Sempat khawatir. Ya tapi untungnya aku juga belum bawa motor jadi nggak pergi jauh-jauh,” tuturnya.
Obrolan tentang klitih tampaknya topik yang lazim muncul bagi orang-orang yang baru kuliah di Jogja. Kejahatan jalanan ini bak sudah melekat dan menodai citra wilayah ini.
Satu hal yang membuat Nadia heran, meski mendengar ada isu klitih, sejauh ini ia merasa orang-orang yang ia temui di Jogja ramah-ramah. Paradoks ini tentu bukan hanya dirasakan oleh Nadia.
Para maba ini tentu belum mengeksplorasi banyak hal di Jogja. Mereka baru tinggal sebentar. Masih ada banyak hal baru yang akan mereka temui. Baik itu yang membuat nyaman atau menjadikan mereka berpikir dua kali untuk menetap lebih lama setelah mentas studi.
Penulis : Hammam Izzuddin
Editor : Agung Purwandono
BACA JUGA Mahasiswa di Jogja Mengeluh: Jam Malam di Kampus Itu Buat Kuliah Kayak Formalitas Saja
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News