Menyelamlah sebentar di media sosial, misalnya, Twitter. Ketik “skripsi” dalam pencarian, maka kau akan menemukan banyak keluhan tentang dosen pembimbing yang menyebalkan. Curhatan mahasiswa yang hidupnya “dipersulit” dosen bertebaran bak gerai es teh jumbo di musim panas, berlipat ganda.
Keluhan dosen pun juga bertebaran. Mahasiswa menghilang, plagiat, dan lain-lain bisa ditemukan juga di media sosial. Dua pihak ini seakan-akan, seperti air dan minyak, tak bersatu. Serta sering digambarkan seperti kutub yang berseberangan saat skripsi.
Padahal harusnya tidak seperti itu, setidaknya itulah yang dikatakan oleh Doni (47), bukan nama sebenarnya, dosen salah satu kampus di Jogja (07/05/2024). Dosen pembimbing dan mahasiswa, adalah sebuah tim. Artinya, tiap anggota tim melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Satu dengan yang lainnya, tidak membebani, dan harusnya tidak merasa terbebani.
“Biasanya dengan (mahasiswa) bimbingan saya, saya bangun dulu untuk punya kesadaran peran kita apa masing-masing. Jadi tidak langsung, misalkan, mana draftmu. Karena mahasiswa pada umumnya, ketika mereka bawa judul, draft, itu biasanya melihat skripsi yang sudah ada. Masalahnya, skripsi yang sudah ada itu kan tidak sempurna.”
“Kedua, si anak yang mau skripsi ini belum pernah nulis skripsi. Dia tidak tahu mana skripsi yang layak untuk jadi panutan. Jadi seringnya, mahasiswa datang dalam kondisi yang hampa. Nah untuk itu, mahasiswa diajak dulu untuk berpikir kayak brainstorming untuk membangun hubungan dengan pembimbingnya.”
Pak Doni, sebagai dosen pembimbing, mengaku bahwa dia tak pernah mau membaca draft. Sebab baginya, draft bukanlah hasil dari brainstorming atau produk pikiran, tapi produk dari melihat skripsi-skripsi yang ada sebelumnya. Padahal belum tentu skripsi yang itu benar. Pak Doni lebih memilih untuk mengajak mahasiswanya berdiskusi, dan cari pemahaman bersama.
Kosong jelas tak berisi
Bagi Pak Doni, salah satu masalah utama mahasiswa dalam skripsi adalah mereka datang kepada dosen dalam keadaan yang kosong. Harusnya, mahasiswa sudah beres bacaannya, atau sudah baca banyak. Sebab, tidak ada pengetahuan yang bisa ditulis jika kepalanya tidak diisi. Harus ada yang masuk, baru bisa ditulis.
Ketika menyinggung perkara menulis, saya langsung menanyakan apakah ini artinya ini kegagalan mata kuliah menulis. Sebab, untuk beberapa jurusan, ada mata kuliah menulis. Untuk jurusan yang Pak Doni ampu, ada mata kuliah menulis. Beliau bilang dua hal itu berbeda.
Skripsi adalah bertemunya semua skill yang mahasiswa punya. Apa yang didapat oleh mahasiswa sejak awal kuliah hingga akhir akan terlihat. Itulah yang bikin berbeda. Mata kuliah menulis, adalah itu menulis untuk dosen. Sedangkan skripsi, itu menulis untuk bikin karya yang jadi representasi diri sendiri.
“Skripsi itu kan karya pribadi si mahasiswa itu. Dan volumenya tidak pendek, banyak hal yang dipertimbangkan. Jadi wajar kalau mahasiswa agak gagal dalam menulis skripsi, karena itu tadi, ini betul-betul citra kemampuan mahasiswa. Menunjukkan kemampuan mahasiswa, bukan sekadar menulis.”
“Tapi menulis itu akan mudah kalau ada isinya. Akan tumpah sendiri. Jadi yang jadi masalah bukan kemampuan menulis, tapi apa yang mau ditulis. Maka saya bilang tadi, modal skripsi itu banyak baca, isi dulu, baru bisa ditumpahkan. Ibaratnya, kalau kepalamu berisi banyak hal, yang kamu butuhkan itu banyak halaman, bukan waktu lagi.”
Hanya saja, berisi bukan berarti tak bingung. Sebagai dosen pembimbing, Pak Doni mengajak mahasiswa bimbingannya untuk berdiskusi, diarahkan pelan-pelan. Beliau biasanya langsung mengajak bicara tentang data. Kedalaman berpikir, kemampuan analisis mahasiswa bisa diukur dari pengetahuan mahasiswa tentang data. Kalau sudah beres ngomongin data, bab 1-2-3 sudah beres secara sendirinya.
Baca halaman selanjutnya
Dosen pembimbing nggak boleh baper
Alasan Pak Doni mengajak mahasiswanya untuk menyelami data, sebab, kalau mahasiswa tidak bisa melihat data, berarti tidak menguasai teori. Ibaratnya, teori adalah lensa, kalau lensanya buram, dia tidak bisa melihat meskipun itu ada di depan matanya. Itulah salah satu masalah utama mahasiswa yang lain, mereka tidak punya lensa yang tepat, mereka tidak memahami teori yang mereka pakai.
Tapi masalah itu melahirkan masalah lain, bagaimana jika mahasiswa punya interpretasi yang berbeda dengan dosen? Atau kasus lainnya, dosen tidak menerima interpretasi mahasiswa, hanya mau berpegang dengan yang ia percayai?
Pak Doni memandang, dua anggota tim, dalam hal ini dosen pembimbing dan mahasiswa, harus punya pemahaman yang sama terlebih dahulu. Masalah ini terjadi karena tidak ada pemahaman yang sama antara dua pihak, maka harus duduk bersama dulu.
“Memang butuh kesabaran. Makan hati itu biasa dalam skripsi, dosen nggak boleh baper.”
“Mahasiswanya juga nggak boleh baper, Pak?”
“Mestinya iya.”
Pada dasarnya, dosen ingin semua mahasiswa kelar skripsi lebih cepat. Realitasnya, dosen punya banyak mahasiswa yang harus dia bimbing. Jika semuanya kelar dengan cepat, penumpukan mahasiswa bimbingan tidak akan terjadi. Prodi pun ingin mahasiswa cepat kelar, bikin akreditasi bagus. Pada dasarnya, dosen bimbingan dan prodi tak ingin mempersulit.
Tapi kalau ada yang mempersulit, seperti sulit dicari, lama bimbingannya, Pak Doni memberikan dua skenario. Pertama, harus dilihat dulu, apakah dosen ini memang susah dicari semua mahasiswa atau jangan-jangan hanya dia saja yang kesulitan. Skenario kedua, jika semuanya susah mencari, artinya memang karakter. Coba dilihat dari sejarahnya, kalau memang dari dulu seperti itu, ya memang sudah karakter.
“Kalau bukan karakter, pasti melayani.”
Diskusi, diskusi, diskusi
Pak Doni menekankan lagi, bahwa dosen pembimbing harusnya diskusi, tak hanya membaca draft, memberi masukan lewat coretan. Bangun dulu chemistry, buat mahasiswa nyaman, hilangkan kebingungan, barulah mahasiswa bisa menulis. Jika mahasiswa masih bingung, masih kosong, tapi sudah diminta bikin draft dan diberi masukan, tentu saja mereka makin bingung.
Mahasiswa dan dosen pembimbing harusnya punya pemahaman dan kesepakatan yang sama, agar keduanya bisa bekerja sama cepatnya. Jika tak sepakat, yang terjadi selamanya akan sama: mahasiswa bingung, mengerjakan skripsi dengan linglung, dosennya pun makin bingung kenapa mahasiswanya terlihat linglung.
Reporter: Rizky Prasetya
Editor: Hammam Izzudin
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.