Dokter yang Indigo: Diganggu Hantu Usil hingga Melihat yang Mati karena Pesugihan

Photo by Jon Butterworth on Unsplash

Seorang dokter yang memiliki kemampuan indigo menceritakan pengelihatan ketika melihat pasien yang sakratul maut. Juga penampakan-penampakan saat berhadapan dengan jenazah yang akan digunakan untuk penelitian. 

*****

Panggil saja namanya Ros (24) seorang perempuan dokter di Jawa Timur. Ia memiliki kemampuan melihat yang tak bisa orang biasa melihatnya. Ia teman seangkatan saya. Rasa penasaran saya selama kuliah bersamanya akhirnya terpecahkan setelah ia memenuhi permintaan untuk melakukan wawancara. 

Melihat penunggu kadaver di kelas praktikum anatomi

Saya berbincang dengan Ros dalam suasana santai. Ia menghela nafas sejenak, mencoba mengingat kejadian sekitar lima tahun yang lalu saat melakukan praktikum anatomi sebagai mahasiswa kedokteran. 

“Hari pertama praktikum anatomi kita diperkenalkan sama kadaver kan.” Ros berhenti sebentar dan kembali mengingat detail kejadiannya. Kadaver adalah jenazah atau tubuh manusia yang telah mati. Dalam kuliah kedokteran, isitilah kadaver digunakan untuk menyebut jenazah yang digunakan untuk praktikum.

“Pertama aku lihat di samping kadaver-ku ada orang. Aku kira memang ada bapak penjaga di tiap kadaver. Kalau kita nggak ngerti, nanti kita bisa tanya ke bapaknya. Gitu pikirku,” kata Ros. 

Seingat saya, setiap kadaver itu memang diperuntukan untuk sekitar 10 mahasiswa. Ada penjaga sih iya, tapi dia di luar, dosen pun kadang masuk kadang nggak. Lalu? 

“Dalam penglihatanku, setiap kadaver itu ada bapak-bapak, atau ibu-ibunya. Pertama, aku nggak ngeh blas. Pas aku lihat kadaverku, aku mikir, ‘Kok aku pernah lihat orangnya ya.’ Terus aku lihat bapak di sampingnya.” 

“Lho kok sama!!! Gitu kan,” Ros mengatakannya sambil tertawa kecil.

“Sungkan dong, dengan gobloknya aku sapa beliau, sambil aku nundukin kepala. Orangnya lihat aku juga dan nunduk,” Ros memperagakan bagaimana dia berusaha sesopan mungkin di hadapan beliau. 

“Sepanjang praktikum, aku cuma lihat orangnya, lalu lihat kadaver, lalu lihat orangnya lagi, lalu lihat kadaver-nya lagi. Begitu terus.” 

Makin lama, Ros makin bingung, ngomong lah ia sama salah satu teman cowok di situ. “Eh, memang ada Bapak penunggu ya di tiap kadaver?”

Temannya langsung melihat Ros, lantas tegas menjawab, “Nggak ada Ros,” kata Ros menirukan omongan temannya. 

Saat itu juga Ros paham kalau bapak-bapak itu memang ‘penunggu’ kadaver. Dan tiap-tiap kadaver yang lain juga ada penunggunya. Selama praktikum Ros berusaha tidak menganggap bapak-bapak tadi, tapi masalahnya, bapak itu ada di situ terus.  

Gara-gara sosok bapak itu selalu ada di dekat jenazah, Ros jadi sungkan untuk ikut praktik memotong struktur bagian jenazah. “Bapaknya kayak terus liatin badannya yang di meja. Dan itu terjadi di depan mataku. Hari pertama praktikum itu aku cuma nontonin aja.” 

Ros menceritakan pada praktikum selanjutnya, bapak itu masih ada di situ, Ros pun tetap bersikap sama. Bersikap seolah-olah tidak tahu. Karena menurut pengalamannya, jika sampai mereka tahu Ros bisa melihatnya, mereka nanti bakal minta hal-hal yang bikin Ros repot. 

Diikuti salah satu penunggu kadaver

“Suatu ketika waktu pulang sore dari praktikum, aku barengan sama salah satu teman. Kebetulan di jalan, ada batu lumayan besar. Nah, aku sama temanku dari jauh merasa melihat hal yang janggal. Sesekali aku tanya sama temanku: ‘Itu apa ya?’ Pas sampai di dekat batu besar itu, temanku tiba-tiba kaget. Lari tunggang langgang lah kita.” 

Suasana di ruang rumah sakit. Photo by National Cancer Institute on Unsplash

Ros menjelaskan sambil sesekali memegang kepalanya, dia tidak habis pikir, tumben sekali ada temannya juga melihat hal gaib seperti yang dia lihat. 

Awalnya ia mengira, sosok ibu-ibu yang ia lihat memang benar-benar manusia. Besoknya waktu praktikum anatomi lagi, ibu itu ada di ruangan.  “Permisi Bu, mau tanya, Ibu yang jaga di sini?” Pertanyaan yang menurut Ros goblok sekali.

Sosok ibu itu menjawab  “Iya,’ dia bilang gitu.”  Ros memberi gambaran bahwa ibu-ibu itu sama sekali tidak seram. Dia menjawab pertanyaan Ros dengan suka ria, layaknya orang tua yang sedang jawab pertanyaan anak-anak. 

Rosa kemudian bertanya lagi pada ibu itu, apakah dia yang kemarin ada di batu dekat jalan.  “Ibunya jawab dengan nada yang sama: ‘Kok kamu tahu. Kamu lihat saya ya?’ Aku jawab dong: 

‘Iya Buk’, gituuu” Ros masih memperagakan cara Ibu itu menjawab yang sekali lagi memang seperti ibu-ibu gemes yang jawab pertanyaan bocil.

“Teriaklah si ibu-ibu ‘O Mbaknya bisa lihat saya,’ sambil kayak excited gitu. Tahu nggak, waktu itu para penunggu tiap kadaver noleh ke aku semua.”

Ros menceritakan bahwa penampakan mereka di penglihatannya itu sungguh seperti orang biasa, tidak ada gambaran muka seram seperti yang ditayangkan di film-film horor. Kakinya pun menapak biasa, nggak ada yang melayang. Karena dia tidak pernah mengasah kemampuannya, kadang dia tidak bisa membedakan itu orang asli atau makhluk gaib. 

“Habis itu, aku ditegur kan sama dosen kita.” Ros tertawa terbahak-bahak sembari mengenang kebodohannya. 

Ia masih ingat apa yang dikatakan dosen itu.”Mbak ngomong sama siapa? Dari tadi saya liatin ngobrol terus, tapi nggak ada orangnya,” kata Ros menirukan dosennya. 

“Nggak Dok, saya itu, nganu, latihan teater,” Ros kembali terbahak mengingat jawaban yang muncul sekenanya waktu itu. 

Setelah sampai di kos, Ros menemukan ada dua bunga melati di kamar mandinya. Padahal sebelumnya, ibu-ibu yang bersih-bersih tidak pernah sekalipun melakukannya. Turunlah Ros ke bawah menemui ibu yang tukang bersihin.

“Bu sekarang ditaruh bunga melati ta di kamar mandi, apa buat pengharum?”

Ibu di rumahnya menjawab heran.  “Nggak Mbak, buat apa,” Rosa menirukan jawaban ibu yang bersih-bersih di rumahnya. Ros kemudian menunjukan dua buah melati ke ibu itu yang kembali dijawab dengan hal yang sama. 

Ros membuang dua bunga melati itu. Setelah dia naik dan masuk kamar mandi lagi, anehnya dia menemukan dua bunga melati lagi. Dan ketika dia keluar kamar mandi untuk kembali membuangnya, tiba-tiba ibu itu di ruang praktikum menampakkan diri.  “Mbak ternyata disini!” kata Ros menirukan suara ibu-ibu itu. 

“Bayangkan kamu ada di kamar yang nggak ada orang. Terus keluar dari kamar mandi dan, “baaa” muncul ibu-ibu. Terus aku kayak pura pura nggak lihat gitu: ‘Astaga tugasku belum tak kerjain.’ Itu kata-kata yang bisa kukatakan buat nutup kekagetanku.”

Kata Ros, sepanjang malam itu, ibu itu masih di rumahnya dengan berusaha menampakkan diri:  “Kayak main cilukba gitu dari pintu. Terus bilang: ‘Mbak, mbak, mbak.’ Sialnya, setiap aku pulang praktikum ke kos, dia ngikut,” Ros menutup kalimatnya dengan nada kesal.

Ilustrasi foto hantu. Photo by Photos_frompasttofuture on Unsplash.com

Ros mencoba untuk tidak peduli dengan keberadaan ibu itu. Apalagi saat itu ia fokus pada ujian. Sosok hantu itu juga kadang terlihat, kadang hilang. Saat ujian anatomi, Ros tidak tahu jawaban dari soal yang diberikan.  “Terus ibu-ibu itu tiba-tiba muncul sambil bilang: ‘Tak liatin ta, tak liatin ta?’”

Ros yang saat itu nggak tahu jawabannya makin nggak konsen mengerjakan soal. “Kampret Si Ibu itu. Abis itu aku isi jawaban kan. Dia bilang gini: ‘Bukan yang itu, bukan yang itu.’ Nadanya riang, kayak godain anak kecil,” nada kesal keluar dari mulut Ros.

“Pernah lagi waktu ujian perbaikan. Lagi-lagi ibu itu muncul, sambil bawa dua bapak-bapak temannya, dia bilang gini dong ‘Iki lo, arek iki isok ndelok.’ Terus bapak itu juga bilang, ‘Saya bantu ya.’ Aku mbatin gini: ‘Nggak, kamu aja sekolah nggak lulus kok. Mau bantuin aku.’ Ternyataaa, dengan ngebatin dia juga denger dong,” ujar Ros sambil matanya terbelalak.

Bapak-bapak itu malah bilang, mereka memang nggak lulus SD, tapi bisa kok bantuin. Setelahnya Ros terus bersikap cuek ke mereka. 

Suatu waktu, Ros bilang ke ibu itu kalau ia tidak bisa bantu bantu apa-apa ke dia. Ibu itu minta tolong supaya didoakan dan dicarikan keluarganya. Semasa hidup, katanya dia ada masalah sama keluarganya.

“Kita itu sebelum praktikum selalu mendoakan kok, Bu. Karena ibu bapak semua yang di sini itu sudah kami anggap guru. Tentang pencarian ibu terhadap keluarga, aku yakin semua anak kedokteran di sini menganggap ibu dan bapak di sini keluarga. Nggak mungkin anak kedokteran itu bisa nyembuhin, bisa nyelametin orang tanpa bantuan bapak ibuk. Aku yakin kok, Bu. Ya, walaupun nggak semua, tapi entah satu atau dua orang, pasti ada yang berdoa,” Ros mengucapkan kalimat panjang yang ia sampaikan terakhir kalinya ke sosok ibu itu. 

Menyaksikan kematian di rumah sakit dengan penglihatannya sebagai indigo

Ros juga menceritakan beberapa pengalamannya sebagai indigo yang menyaksikan kematian pasien di rumah sakit. Salah satunya saat ia melihat seorang pasien ibu-ibu yang tengah ditunggui oleh perawat. Bukan perawat rumah sakit, perawat pribadi yang diminta jaga setiap hari oleh keluarga si pasien. 

Saat itu Ros melihat ada sesosok anak muda menggunakan baju gamis warna hitam. Ia berpikir kalau itu anak si pasien. Usianya sekitar 30-an. Ros kemudian menyapa mas-mas itu. Perawat yang berjaga bertanya, Ros menyapa siapa? 

“Aku bilang kalau aku nyapa anaknya kan. Susternya malah bilang kalau anaknya nggak pernah ke sini. Anaknya pun juga perempuan, bukan laki-laki seperti di penglihatanku tadi,” kata Ros. 

Saat mendapt giliran jaga lagi, Ros disapa oleh Mas-mas berbaju hitam. “Jangan ditahan ya, jangan ke sana. Aku diam dong, nggak mungkin nahan juga kita kan, buat apa? Ternyata habis itu ada code blue. Ya ibu itu tadi. Padahal kemarin waktu aku jaga kondisinya masih bagus. Bagus itu dalam artian tanda vitalnya stabil, walaupun kesadarannya sudah menurun.” 

Selanjutnya Ros langsung dipanggil oleh dokter yang bertugas di sana supaya membantu pijat jantung pasien tadi. Di penglihatannya, pemuda berbaju hitam tadi seperti menunggu kapan kita selesai sambil tangan menyilangkan tangannya. Saat ibu itu meninggal, yang menjemput bukan hanya satu pemuda berbaju hitam, tapi ada dua. 

Jaga di lain hari, Ros ada pasien bapak-bapak yang kondisinya masih sadar penuh, dan dia melihat ada dua orang pakai baju putih. Pasiennya sering tanya, jam berapa waktu itu. Bapak itu juga terus ngomong kalau dia merasa diikuti orang. 

“Lho Pak, bukannya memang diikuti orang? Bapaknya jawab lagi: ‘Nggak ada dok, tapi saya merasa selalu diikuti orang,” kata Ros. Dua orang berbaju putih itu, awalnya ia pikir adalah dua orang anggota keluarga. Nyatanya, hanya dia yang bisa melihat, orang lain tidak.  

Bapak yang sakit itu bertanya ke Ros, sampai jam berapa jaganya. Ros sendiri menyampaikan kalau jadwa jaganya sampai pagi hari. “Bapak itu bilang, mudah-mudahan nutut ya, ketemu saja lagi,” kata Ros menirukan bapak itu. Ia tidak paham apa yang dikatakan pasien itu. 

Keesokan harinya, sekitar pukul 5 pagi, bapak itu tanya lagi, jam berapa saat itu. “Dia terus ngomong, waduh..waduh…. Bapak itu berusaha menelpon anaknya, tapi tidak diangkat. Istrinya yang ada disitu menenangkan, kalau anaknya pasti akan datang,” ujar Rosa.  

Ilustrasi : Photo by Jan Canty on Unsplash

Sekitar pukul setengah enam, pasien itu pamit ke istrinya untuk tidur. Tapi tidurnya nggak biasa. Akhirnya Ibunya memanggil Ros. Saat Ros mengecek tanda vital, pasien itu sudah  meninggal. 

Ros melihat pasien itu digandeng berdua oleh dua sosok berbaju putih. “Warna baju pasien yang dijemput itu sama dengan yang menjemput. Misal, yang jemput pakai baju hitam, pasiennya juga pakai baju hitam. Kalau yang jemput pakai baju putih, pasiennya juga pakai baju putih,” papar Ros. 

Ros gundah, gara-gara diberi penglihatan itu, dalam hati dia merasa harus kasih tahu orang- orang bahwa mereka mau dijemput. Tapi setelah Ros pikir-pikir lagi, itu sangat susah, soalnya kadang orang yang mau dijemput itu sehat bugar.

“Coba kalau itu orang nggak kenal, terus kita seenaknya bilang dia mau dijemput. Itu bukan breaking bad news sama sekali pek. Ya udah, aku milih nggak mau tahu saja.”

“Padahal di rumah sakit, aku sudah berkali-kali lihat. Bahkan ketika ada pasien datang waktu jaga UGD, di belakangnya sudah ada anak-anak kecil ngikut. Keduanya siap-siap jemput kayak tadi.” 

Menurut Ros, ada orang tua yang dijemput anak kecil, ada anak kecil yang dijemput orang tua, ada ibu-ibu dijemput pemuda, ada bapak-bapak dijemput pemuda juga. Dia juga tidak paham apa arti wujud yang berbeda-beda itu sampai sekarang.

Ros pun mengatakan supaya saya jangan terlalu mempercayai apa yang dia lihat. Kadang yang indigo lihat itu bisa ilusi yang diciptakan makhluk-makhluk itu. Kalau yang ilmunya tinggi bisa lihat wujud asli yang jelek-jelek, tapi kalau ilmunya rendah atau cuma sengaja dilihatin, biasanya yang bagus-bagus saja. 

“Aku sebenarnya nggak percaya ramalan-ramalan, tapi misal ada orang-orang kelihatannya nggak sakit, atau ada lagi main-main, terus ada yang ngikutin kayak tadi. Aku mikir, ini biasanya nggak lama lagi. Dan sialnya sering benar. Walaupun kalau dilihat kondisinya, pasien itu sadar penuh, dan nggak ada tanda-tanda mau meninggal.” 

Pasien yang ketempelan

Suatu ketika Ros pernah datang ke psikiater, menanyakan tentang kondisinya yang kata orang sebagai orang indigo. Untung psikiaternya juga percaya tentang yang begituan. Psikiaternya pun bilang kalau mungkin itu ya pengalaman spiritualnya saja. 

Saking penasarannya, saya bertanya  tentang pengalaman Ros kerja di poli rawat jalan. Ia punya pengelaman, melihat pasien yang sebenarnya bukan karena sakit medis, tapi karena ketempelan

“Ada yang gandol di leher. Bayangin kamu gendong orang kemana-mana di lehermu. Aku aja lihatnya capek,” ujar Ros. Si pasien mengeluh, seluruh badannya pegal-pegal. “Kalau ketemu kayak gitu, aku nggak mungkin ngomong ya. Karena aku praktik dokter, bukan praktek dukun. Mosok kate bilang, bapak ini sakitnya karena ketempelan. Ya tetap aku kasih resep seperti pasien lainnya,” kata Ros sambil melepas sedikit tawa.

Menurut Ros, misalnya dia mau melakukan tindakan kepada pasien, dan dirasa posisi makhluk gaib tadi mengganggu. Dia bisa mengusirnya dengan berucap di batin saja. “He ngalih-ngalih,’ gitu,” ujar Ros ..

Ros menjelaskan bahwa manusia itu lebih tinggi derajatnya di atas mereka. Makanya, kita nggak perlu takut. Adanya mahluk gaib yang minta bantuan padanya kadang, waktu mereka meninggal, masih ada sesuatu yang nggandoli, menggantung, belum selesai. “Ini yang harus dilepas. Misalnya, mereka itu pengen ngomong perasaan ke orang lain kalau dia suka, atau misal minta maaf ke ibunya. Padahal mungkin ibunya sudah meninggal. Tapi masa kamu mau nyari tahu, lha polisi aja nggak mau kok,” ujar Ros tertawa. 

Ros tahu hal tersebut, karena sesekali pernah bertanya langsung kepada ‘mereka’ yang minta bantuan.

“Makanya semua agama ngajarin kalau kita harus ikhlas. Soalnya kalau ada sesuatu yang nggandoli terus sampai kita mati. Gandolan ini bakal terikat sampai kapanpun. Padahal yang seharusnya kita ingat itu cuma iman kita, kepercayaan kita. Apalagi kayak harta, atau sesuatu yang fana, wes ya wes, bubar.” 

Menurutnya, kalau orang meninggal ada hutang, keluarganya harus segera bayar. Supaya nggak kesangkutan juga. “Dan kata-kata kita memaafkan jenazah serta mengucapkan selamat tinggal, itu juga membantu banget,” ujar Ros menenangkan. 

Menurut Ros, kalau seseorang yang meninggal nggak punya sangkutan atau tanggungan maka biasanya akan ada sosok yang menjemput. Setiap orang dengan agama tertentu yang menjemput juga berbeda-beda. 

Photo by Oleksandra Bardash on Unsplash

“Kalau nggak ada sangkutan, nanti mereka ada yang jemput. Yang aku tahu tiap-tiap agama punya keyakinan yang berbeda-beda tentang hal ini. Tapi yang pasti, kalau ada pegangan, mereka itu pasti ada yang jemput.Setelah Ros menyadari hal ini, dia berusaha memaafkan semua orang. Pun dia juga memaksa ikhlas tentang kesalahannya sendiri ke orang-orang. 

Mengenai keadaan di rumah sakit, saya bertanya tentang pasien yang didoakan dan yang tidak. “Itu tergantung orangnya sendiri. Dengan punya pegangan, misal kamu sholat tiap hari, belajar tentang agama, dan lainnya. Walaupun nanti kamu meninggal dan tidak diketahui orang, nanti kamu tetap ada yang jemput.” 

Ros masih melanjutkan, jika seseorang nggak punya keyakinan atau pegangan, maka ketika meninggal, bisa nggak dijemput. “Makanya, benar kalau ketika kita meninggal terus ditanya siapa Tuhan kita, siapa nabi kita. Nanti kalau kita nggak bisa jawab, terus kita mau ikut siapa?”

Menurut Ros, dari pengelihatannya sebagai anak indigo, di alam gaib, banyak mahluk yang campur aduk, ada setan, jin besar, jin kecil, jin jahat, jin baik. “Kita kan juga nggak tahu jalan yang benar ke sana lewat mana. Beda kalau kita punya pegangan.” 

Ros masih meneruskan kalimatnya, jika seseorang nggak ada yang jemput saat meninggal, bisa saja yang jemput adalah setan.  “Ibaratnya kayak tersesat gitu lo. Bayangkan kamu di suatu kota yang kamu nggak tahu. Kamu nggak tahu situasinya kan. Terus banyak orang nawarin: ‘Ayok ikut aku, ikut aku.’ Tapi kamu nggak tahu itu siapa. Kalau misal kamu diculik, dirampok terus dibunuh, gimana?” 

Ros menceritakan, ia beberapa kali melihat orang-orang yang kemudian secara random dijemput mahluk yang nggak jelas.

Pelaku pesugihan menghadapi ajal

Saya yang masih penasaran bertanya ke Ros tentang gambaran orang yang ikut praktik pesugihan, apakah benar mereka akan bakal ikut dengan apa yang dia sembah itu. Apakah sebagai anak indigo dia bisa tahu.

“Bener lo itu. Soalnya aku pernah di rumah sakit. Tiba-tiba banyak monyet. 

“Monyetnya itu besar dan bringas, dan mereka itu fokus ke satu tempat. Habis itu aku masuk ke dalam ruang rawat. Di situ ternyata ada monyet besar, di sebelah seorang pasien. Monyet itu kira-kira tingginya 3 meter dan lebarnya 1,5 sampai 2 meter. Guede pokoke.” 

Ros kemudian bertanya kepada monyet yang paling besar itu. Monyet itu bilang kalau pasien itu punya janji yang tidak bisa ditepati. “Monyet tadi bilang kalau sebelumnya dia kasih pasien tersebut harta dengan jaminan tumbal anaknya. Tetapi orang tadi tidak mengganti sesuai dengan janji, dia tidak mau menyerahkan anaknya. Akhirnya orang itu sendiri yang monyet itu ambil,” kata Ros.

Menurut Ros, jahatnya makhluk tersebut, kalau misal sudah kena salah satu anggota keluarga, sebisanya dia bakal ambil semua keturunannya. Namanya setan, kalau sudah janji, walaupun targetnya mati, keturunannya masih terus diincar terus supaya ikut dia lagi, dan lagi.

“Dan yang kayak gitu itu nggak bisa diputus lo. Sekali kamu janji, ya sudah kemurahan Tuhan saja yang bisa. Walaupun kamu sudah turuti yang dia mau pun, itu sudah kontrak jiwa. Kontrak mati pokoke,” Ros menegaskan dengan nada yang tajam dan menusuk.

Di akhir obrolan, Ros mengatakan supaya saya cukup mendengarkan saja. Jangan terlalu mempercayai. Alasannya sama, tiap indigo kadang punya pengelihatan yang beda, toh dia bisa salah juga. Tetapi perihal memiliki keyakinan, Ros memaksa saya untuk lebih rajin beribadah.

BACA JUGA Mitos Hantu di UGM dan Mereka yang Mengalaminya dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.

 

Exit mobile version