Di Balik Pesona Rinjani, Gunung Terindah di Indonesia yang Ternodai

Kalau mendaki meninggalkan sampah, mending nggak usah saja!

Pesona Rinjani, Gunung Terindah di Indonesia yang Ternodai (Ega Fansuri/Mojok.co)

Ilustrasi pendakian Gunung Rinjani (Ega Fansuri/Mojok.co)

Tidak salah untuk menyebut Gunung Rinjani sebagai trek pendakian paling menawan di Indonesia. Gunung ini punya lanskap alam yang begitu lengkap. Kendati begitu, ada sejumlah alasan yang membuat Rinjani sejatinya tidak perlu kamu daki.

***

Di mobil, mata saya takjub melihat deretan perbukitan hijau kekuningan yang gagah berdiri di sisi jalan. Panorama itu tampak setelah kami melewati hutan yang membuat perjalanan terasa gelap. 

Pohon besar gagah berdiri, beberapa monyet tampak di tepian berharap ada yang melempar sisa makanan. Bahagia rasanya sedekat ini dengan gunung yang sudah lama saya ingin saya daki. 

Sebelumnya, saya tiba di Bandara Internasional Lombok bersama seorang rekan dari Jogja pada Rabu (26/7/2023) sekitar pukul setengah dua belas. Kami berdua langsung mendapat jemputan dari sopir mobil yang sudah kami pesan jauh-jauh hari. 

Biaya pengantaran dari bandara menuju Sembalun, Lombok Timur, basecamp utama pendakian Rp430 ribu. Perjalanan memakan waktu sekitar dua jam. Sempat tertidur, saya terbangun ketika jalan mulai menanjak dan berkelok, tanda Sembalun semakin dekat.

Rinjani, dekat di hati jauh di kaki

Pendakian baru kami mulai Kamis pagi. Kami terlebih dahulu menginap di Joglo Sembalun Ceria, sebuah penginapan di dekat basecamp utama pendakian Gunung Rinjani. Penginapan itu milik kenalan kami, Gifari Saputra yang merupakan pebisnis muda asli Sembalun.

Gifari bercerita banyak tentang gunung yang setiap hari ia lihat tatkala membuka pintu rumahnya. Sembalun, merupakan lembah di antara lebih dari tujuh gunung dan perbukitan. Tanah yang subur untuk bertani.

Keindahannya tak perlu diragukan lagi. Tapi perlu persiapan fisik dan mental buat kami berdua yang akan mendaki tanpa porter. “Rinjani itu dekat di mata tapi jauh di kaki,” kelakar Gifari berulang kali kepada kami. 

Hal itu akan kami buktikan besoknya. Kami akan naik dari Sembalun dan turun lewat jalur Torean demi mendapatkan keseluruhan titik keindahan gunung ini. 

Perjalanan kami akan memakan waktu 4 hari 3 malam, sesuai batas maksimal durasi pendakian dari pihak Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR). Sebenarnya bisa lebih cepat, tapi tentu kami tahu diri dengan tenaga kami.

Para pendaki yang sedang menuju puncak Rinjani. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Sebelum itu, kami menikmati malam bercengkerama bersama beberapa pemuda Sembalun sebelum tenaga akan diperas habis-habisan di trek panjang dan penuh tanjakan. Kami menyalakan api unggun, merokok, sambil mendengar mereka bercerita tentang hidup indah di kaki Rinjani.

Sabana panjang yang melelahkan di Rinjani

Kami agak kesiangan untuk berangkat. Baru mengurus registrasi sekitar jam setengah sembilan pagi. Saat itu, basecamp sudah penuh sesak dengan pendaki. 

Kami menaiki mobil bak terbuka milik Gifari dari basecamp menuju titik awal pendakian yang sudah berupa perbukitan sabana rumput. Keindahan Rinjani sudah tampak jelas dari permulaan perjalanan. Kami berangkat tepat pukul setengah sepuluh saat hari sudah terik.

Langkah demi langkah dengan tenaga yang masih penuh berjalan lancar. Permukaan tanah penuh debu lantaran beberapa waktu tidak turun hujan. Hal ini sudah kami perkirakan ketika memutuskan mendaki di musim kemarau.

Meski di bawah cerah, sekitar pukul sebelas kabut sudah tampak menyelimuti puncak Rinjani. Di jalan, tahi sapi banyak berceceran. Sepanjang trek awal sampai ke pos dua jalur Sembalun memang jadi tempat menggembala sapi-sapi coklat khas Lombok.

Satu jam waktu yang perlu kami tempuh untuk sampai di pos 1. Di sana, suasana sudah ramai dengan pendaki mancanegara. Kebanyakan dari Eropa. Namun, banyak juga pendaki dari Malaysia yang kami temui.

Perbincangan dengan ragam bahasa terdengar. Namun, ada satu yang menarik perhatian saya, saat pendaki Prancis terheran-heran dengan porter yang langsung mengepulkan asap rokok seperti cerobong kereta uap.

How can u smoke in this situation?” kata bule sambil tertawa.

No smoke no energy,” sahut beberapa porter itu sambil unjuk otot lengannnya.

Suasana di Pos 1 pendakian Rinjani via Sembalun. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Pos tempatnya makan siang

Saya menyimaknya sambil merokok juga. Nikmat sekali. Tapi tentu tenaga saya tidak sebanding dengan para porter yang memanggul beban begitu berat dari para pendaki yang mereka pandu.

Bangunan di pos 2 tampak dari titik berhenti kami. Artinya, perjalanan ke sana tak akan terlalu lama. Tapi pepatah Gifari tampaknya berlaku. Waktu tempuh kami ke sana tak terlalu singkat, sekitar 50 menit.

Sepanjang jalan, rekan saya, Nimal, tampak sudah ngos-ngosan. Ia sempat tawar menawar dengan ojek yang bisa mengantar sampai pintu pos 2. Namun, ia akhirnya lebih memilih menghemat uang Rp50 ribu.

Sesampainya di pos 2, suasana sedikit membahagiakan lantaran banyak pedagang. Tempat ini bak shelter pemberhentian untuk makan siang. Para porter memasak makanan untuk pendaki. Kami cukup beli semangka dan gorengan untuk memompa semangat lagi.

Perjalanan dari pintu gerbang sampai pos 3 masih didominasi trek bukit berkontur tanah. Pemandangannya padang rumput luas. Lalu berlanjut ke area tebing berbatu yang semakin terjal tanjakannya. 

Bagian pertama pendakian Rinjani via Sembalun kami anggap berakhir di Pelawangan Sembalun. Area berkemah luas dengan panorama Danau Segara Anak yang memikat. Perjalanan dari pintu gerbang sampai Pelawangan kami tempuh dengan durasi delapan jam. Sedikit molor dari estimasi karena langkah gontai kami.

Summit yang menguras mental

Datang di Pelawangan sudah gelap, kami harus segera mendirikan tenda demi merebahkan badan. Idealnya, perjalanan menuju puncak harus dimulai sejak sekitar pukul satu atau dua dini hari.

“Perjalanan ke puncak paling cepat lima jam. Itu pun kalau sama porter,” kata Gifari yang terus kami ingat.

Sial, karena kelelahan, jam 2 kami baru bangun. Perlu waktu untuk menyesuaikan diri sejenak sebelum badan bisa diajak bergerak. Alhasil, setengah jam kemudian kami baru memulai langkah keluar tenda.

Sorot lampu senter sudah tampak berderet di jalanan menanjak menuju puncak Rinjani. Kelihatannya dekat, tapi lain di mata lain di kaki.

Rute menuju puncak penuh tanjakan. Berawal dari mendaki bukit dengan tanah kering dan debu menumpuk. Banyaknya pendaki membuat debu berterbangan mengganggu pernapasan. Wajib hukumnya menggunakan alat pelindung seperti masker atau slayer yang menutup wajah saat mendaki.

Sekitar jam enam pagi, kami sudah berada di bukit yang mengitari Segara Anak. Di sini pemandangan sedikit jadi penghiburan atas lelah. Belum lagi semburat fajar mulai terlihat dari sisi barat. Membuat laut selatan Lombok tampak indah.

Trek tanah sudah berganti bebatuan kecil yang rawan membuat pendaki tergelincir. Tanjakan juga semakin curam. Membuat kami terus berhenti menghela napas setiap dua puluh langkah.

Letter E, jalan paling berat menuju puncak Rinjani. (Hamam Izzuddin/Mojok.co)

Saking seringnya beristirahat, kami baru tiba di hadapan tanjakan paling agung di Rinjani sekitar jam sembilan. Jalan curam yang kerap disebut Letter E. Batuan di trek itu kecil berbalut pasir. Jalan selangkah bisa mundur dua langkah ke belakang.

Halaman selanjutnya…

Puncak yang terlihat dekat tapi jalan begitu berat

Puncak yang terlihat dekat tapi jalan begitu berat

Sudah banyak pendaki yang turun saat kami hendak menuntaskan trek terakhir ini. Termasuk salah satu porter yang membuat kami sedikit gamang. 

“Sudah kesiangan Bang,” katanya.

Ia berujar, dengan kondisi fisik kami sekarang, paling cepat bisa sampai puncak melewati Letter E dengan durasi tempuh dua jam. Itu sudah paling cepat.

“Kalau bule-bule satu jam bisa. Harusnya kalian berangkat dari Pelawangan dari jam 1 pagi,” cetusnya.

Puncak terlihat dekat, tapi jalan begitu berat. Rasanya tanggung sekali jika tidak menuntaskan perjalanan ini. Namun, jika nekat naik, angin sudah semakin kencang. Jalan kembali ke perkemahan pun masih panjang. Padahal kami merencanakan melanjutkan perjalanan ke Segara Anak sebelum sore.

Saya yakinkan diri untuk terus menanjak meski terik matahari mulai membakar wajah. Selangkah demi selangkah saya menapaki tanjakan berat ini. Satu dua kali tergelincir namun langsung menegakkan kaki lagi.

Perjalanan sudah sejauh ini dan sayang jika tidak sampai di titik terakhir. Saya terus coba meyakinkan diri sendiri. Sampai akhirnya, setelah memompa semangat, dua jam langkah gontai membawa saya ke puncak Rinjani 3726 MDPL.

Pemandangan Segara Anak dari puncak Gunung Rinjani. (Hammam Izzudin/Mojok.co

Di puncak, rasa lelah rontok seketika. Saya duduk, menyalakan rokok, sambil melihat pendaki-pendaki lain melakukan selebrasi. Berfoto dengan beragam pose menggunakan plang penanda puncak yang berserakan.

Saya bangun dari rebah, coba berfoto sejenak. Selanjutnya saya langsung bersiap untuk perjalanan yang masih panjang. Jalan menurun yang tak kalah menyiksa.

Mencari kesempurnaan Rinjani

Kaki saya gerakkan menuruni jalan pulang menuju perkemahan di Pelawangan. Durasi turun tentu lebih cepat. Hanya memakan waktu dua setengah jam. Pukul 02.00 WITA saya sudah kembali di tenda untuk merebahkan diri.

Rasanya baru beristirahat sejenak, namun teman saya sudah mengingatkan untuk segera bersiap mengemasi tenda. Kami akan menuju Segara Anak. 

Awalnya kami santai karena jalannya didominasi turunan dari Pelawangan. Namun, estimasi durasi tempuhnya tiga sampai empat jam. Jelas ini bukan jalan menurun biasa. 

Segara Anak adalah titik peristirahatan terbaik dalam pendakian Rinjani. Ada stok air tak terbatas hingga pemandian air panas yang jadi dambaan pendaki.

Sayang, rute Sembalun tidak melewati tempat tersebut. Sehingga kami akan pulang lewat jalur Torean demi bisa merasakan suasana di sana.

Baru jam lima kami berangkat. Tergesa menuruni tebing batu yang curam sebelum hari semakin petang. Beruntung kami bertemu satu rombongan lain yang juga nekat berangkat terlalu sore. Jika tidak, pasti kami kebingungan, selain gelap jalannya memang bercabang.

Empat jam perjalanan kami baru tiba di Segara Anak yang sudah gelap. Tenda kami dirikan dan kompor kami nyalakan. Makan, lalu terlelap.

Hari sudah cerah saat kami terbangun. Pintu tenda kami buka dan pemandangan indah Segara Anak langsung tersaji membuat hati bungah.

Saya berjalan untuk mengisi botol kosong di mata air. Suasana di sana lain dengan di perjalanan menuju puncak. Para pendaki tampak bahagia. Ada yang mencuci pakaian, memancing, memasak, hingga mencari sinyal internet di perbukitan.

Saat saya melintas tampak seorang pemancing berhasil mendapatkan ikan mas atau ikan karper sebesar kepalangan tangan orang dewasa. Ikan di sini memang cukup melimpah. Di tepian danau, ribuan bibit ikan bergerombol.

Setelah menikmati suasana, mengisi air, dan memasak, saya dan rekan memutuskan untuk berendam di pemandian air panas. Benar-benar merontokkan pegal. Hal-hal yang ada di Segara Anak  buat para pendaki adalah penyempurna keindahan Rinjani.

Gunung terindah yang ternodai

Bekal-bekal dari Segara Anak membuat kami semakin mantap untuk menuntaskan perjalanan pulang melintasi jalur Torean. Meski jalur turun, treknya cukup “mematikan”. Tebingnya terjal sehingga dipasangi instalasi pengaman seperti tali dan tangga.

Perjalanan menuruni jalur Torean memakan waktu normal delapan jam. Meski tergolong panjang, jalur ini jadi pilihan karena panoramanya yang indah. Jalan dikelilingi bukit batu sehingga banyak orang menyebutnya seperti alam di Jurrasic Park.

Sampah berserakan di sekitar Segara Anak. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Setelah menginap dua malam di tepi danau, Minggu (30/7/2023) sekitar pukul setengah delapan kami beranjak pulang. Ada perasaan berat meninggalkan Segara Anak. Pertama tentu karena kawasan ini begitu mempesona.

Namun, kami juga merasa sayang, keindahan itu tercemar sampah. Di sepanjang pendakian Rinjani, sampah memang pemandangan lazim terlihat di sudut-sudut jalan. Termasuk di sekitar danau.

Saat menuju Segara Anak, seorang pendaki asal Jakarta, Joffi Febriando mengaku melihat semakin banyak sampah di sepanjang trek pendakian. Ini merupakan kedua kalinya ia mendaki Rinjani.

Ia terlihat heran, di lereng tebing bukit curam, plastik bekas makan berserakan. “Dulu nggak sebanyak ini,” katanya.

“Ya beginilah gunung. Semakin banyak pendaki pasti konsekuensinya begini. Nggak mungkin jadi semakin bersih,” ujarnya datar.

Di sela perjalanan sekitar sembilan jam menuruni jalur Torean, teman mendaki saya juga terheran dengan sampah. Meski kami sudah melakukan antisipasi sebaik mungkin, termasuk menyediakan wadah puntung rokok untuk setiap batang yang kami hisap, ia yakin tetap ada sampah kami yang tercecer.

Setibanya di dusun Torean kami berbincang dengan Jufri Jafar. Pendaki asal Pinrang, Sulawesi Selatan juga mengeluhkan hal serupa. 

“Di konten-konten Instagram, mana ada terlihat sampah. Yang ada hanya bagus-bagusnya,” keluh lelaki yang pertama kali mendaki Rinjani ini.

Gunung terindah yang sebaiknya mungkin tidak perlu didaki

Sebelum mendaki Rinjani, ia melakukan pendataan logistik yang terbungkus plastik. Namun, saat turun tidak ada pengecekan ulang oleh pihak basecamp.

Gunung Rinjani punya lanskap alam yang begitu lengkap. Bukit sabana, tebing indah, puncak tinggi, danau menawan, hingga pemandian air panas yang memanjakan. Menarik minat pendaki lokal dan mancanegara.

Mengingat itu, gunung ini sayang jika didaki dengan terburu-buru. Sebaiknya jangan mendaki rinjani jika waktu terbatas karena tidak bisa menyaksikan segala keindahannya. 

“Naik nggak sekalian empat hari tiga malam sayang,” kata Gifari sebelum kami mendaki.

Selain itu, jangan mendaki jika kondisi fisik sedang tidak prima. Rekan pendakian saya mengaku menyesal tidak rutin berolahraga sebelum mendaki, sehingga terlalu lelah dan kurang menikmati.

Ia juga berujar, ada satu hal lagi yang membuat gunung ini sebenarnya tidak perlu didaki. “Kalau tidak komitmen dengan sampah yang dibawa.”

Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Perjalanan Seorang Lelaki yang Mengalami Banyak Kehilangan, Kemudian Menemukan Kampung Mati Penuh Misteri

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

Exit mobile version