Menjalani laku pekerjaan buzzer tidaklah mudah. Ada segudang misi yang harus dijalankan agar sesuai dengan target klien. Di sisi lain, cukup banyak masyarakat yang menganggap pekerjaan ini sebagai pekerjaan yang lekat dengan citra negatif. Seperti apa sebetulnya bekerja sebagai buzzer itu?
***
“Mau ngajakin kerja…Open member sampai 31 Agustus. Modal sosmed saja, kalau rajin bisa dapat 500 ribu perbulan.”
Begitulah bunyi salah satu pesan dari Candra (bukan nama sebenarnya) di grup pencari kerja freelance pada bulan Juli 2021. Pesan tersebut tentu sangat menarik pencari kerja. Bagaimana tidak, hanya dengan bermodal media sosial, kita bisa dapat uang tambahan. Pesan dari Candra itulah yang menggugah Adil (juga bukan nama sebenarnya) merespon tawaran kerja dari Candra.
“Ya bagaimana ya, dulu butuh uang. Dicoba dulu, misal penipuan ya memang bukan rejekiku.” Ungkap Adil kepada Mojok.
Setelah Adil merespon tawaran kerja tersebut, Candra langsung memberikan tautan grup WhatsApp. Adil pun masuk ke grup tersebut. Kemudian di-briefing tentang apa yang akan dikerjakan saat itu. Tak terlalu sulit, hanya memberikan rating bintang lima dan meninggalkan review bagus untuk sebuah aplikasi.
Adil kemudian ditawarkan untuk bergabung di grup lainnya, tentu dengan pekerjaan yang tidak hanya rating aplikasi. Lebih banyak, bisa di twitter, instagram, YouTube dan media sosial lain.
“Saya waktu itu mikir, apa itu buzzer ya? Seperti yang di twitter, yang sering perang? Tapi tetap saya coba karena penasaran. Kalau misal yang suka perang, ya saya tinggal left group.” Ungkapnya.
Menjadi Buzzer untuk Pertama Kali
Adil kemudian masuk ke grup WhatsApp yang penuh dengan nomor-nomor yang tak ia kenal. Saat masuk grup, tak ada perkenalan layaknya anggota baru. Sepi.
Tak berapa lama, Candra sang koordinator mengirimkan pesan mengenai suatu pekerjaan yang berkaitan di ranah twitter. Barulah grup menjadi ramai dengan pesan satu persatu anggota di grup memberikan jumlah akun yang digunakan untuk berpartisipasi. Sungguh terkejut Adil, ada orang yang memiliki akun twitter lebih dari 40 akun.
“Ada yang punya akun satu, ada yang 5, 10, macam-macam. Tapi juga ada yang 40 akun! Kaget banget, satu orang punya 40 akun bagaimana mengelolanya? Saya dua akun aja yang satu nggak aktif.” Terangnya.
Lebih lanjut, Adil menjelaskan ia hanya memiliki 2 akun twitter, 8 akun instagram dan 6 email. Dengan modal akun yang dimiliki dan WiFi di rumah, ia aktif mengikuti pekerjaan yang ada. September ini, Adil telah mengikuti kerja buzzer selama 2 bulan. Dan ia membuktikan bahwa pekerjaan ini bukan tipu-tipu.
“Tapi sekali kerja, nggak semua akun terpakai. Paling cuma jalan twitter aja, atau instagram aja. Lumayan sih, sekali jalan, aku dapat uang 6-8ribu. Biasanya transfernya dirapel, jadi sekali transfer dalam seminggu bisa dapat 20-40ribu.”
Adil mengaku, uang hasil bekerjanya sebagai buzzer digunakan untuk berbelanja di marketplace. Ia merasa malu untuk meminta orangtuanya karena telah lulus kuliah.
Tak hanya mewawancarai Adil yang masih baru dalam dunia buzzer, Mojok juga mewawancarai seseorang yang telah lebih dulu berkecimpung di dunia buzzer.
“Nama saya Ran, saya seorang mahasiswa semester 7 berumur 21 tahun.” Begitulah pesan WhatsApp dari Ran.
Perkenalan Ran dengan dunia buzzer diawali dari twitter. Suatu hari, ada seseorang yang sedang mencari akun twitter dengan syarat minimal followers. Ran merasa memenuhi kualifikasi tersebut, ia pun mendaftarkan akunnya.
“Dulu awal mula terjun ikut buzzer dari twitter sih. Waktu itu ada tweet orang yang mencari akun twitter minimal followers seribu dengan iming-iming dibayar. Akhirnya aku reply orang yang buat tweet, terus lewat direct message (DM) diberitahu ini merupakan pekerjaan buzzer.” Terang Ran kepada saya.
Mengenai pendapatan yang ia dapat dari menjadi seorang buzzer, Ran mengaku memperoleh pendapatan sekitar 300 ribu dari satu agensi buzzer. Pendapatan itu ia dapat dari 15 akun twitter, 10 instagram, 10 gmail dan 5 akun facebook. Ran sendiri bergabung pada dua agensi buzzer yang memungkinkan dia mendapatkan penghasilan lebih dari 300 ribu.
Bertemu Candra, Sang Koordinator Buzzer
Rasa penasaran mengenai buzzer akhirnya membawa saya kepada Candra. Lewat pesan WhatsApp, saya meminta izin untuk bertanya-tanya tentang dunia buzzer. Tak menyangka, Candra menyambut pesan saya dengan baik dan mengizinkan untuk bertanya-tanya.
“Nama saya Candra, saya berumur 23 tahun dan mahasiswa tingkat akhir.” Begitulah Candra memperkenalkan dirinya. Saya cukup kaget ketika melihat sang koordinator masih mahasiswa. Ekspektasi saya saat itu adalah orang yang sudah cukup tua, lebih dari 30 tahun.
Walau masih mahasiswa, Candra telah bergelut dengan dunia buzzer sejak 2019. Diawali dari seorang buzzer, kemudian ia menjadi koordinator.
“Awalnya masuk ke dunia ini tahun 2019. Terus kerjanya sama kayak teman-teman biasa, kerjanya buat tweet, like postingan dan lain-lain. Tapi dulu masih agensi kecil, kerjanya juga cuma promosi brand-brand kecil.” Jelasnya.
Kemudian, di tahun 2021 ini Candra ditawari menjadi koordinator oleh salah satu kenalannya yang sudah lebih dulu menjadi koordinator. Tugas Candra sebagai koordinator dan buzzer tentu berbeda. Pekerjaannya sebagai buzzer tentu lebih mudah dibanding saat menjadi koordinator buzzer.
“Waktu dulu kerjanya sama seperti teman-teman, nge-tweet, review dan sebagainya. Tapi sekarang jadi admin bagian payment, data atau kontak langsung sama klien. Administrasi lah pokoknya.” Jelas Candra.
Lebih lanjut, Candra blak-blakan mengenai perbedaan pendapatan yang ia terima sebagai buzzer dan koordinator. “Ya dulu waktu individu, jadi buzzer seperti teman-teman ya sebulan 300-500 ribu. Setelah jadi admin ya ada 3-5 juta,”
Jumlah yang cukup jauh di atas UMR banyak kabupaten dan kota di Indonesia tersebut telah diperoleh seorang mahasiswa. Lebih lanjut, Candra membeberkan jumlah uang yang biasanya ia transfer ke anggotanya. Menurut pengalamannya, dia pernah mentrasfer hingga 1 juta rupiah ke satu orang dalam satu bulan.
“Pernah sekali transfer gitu 400-500 ribu, kita transfernya tiap uang dari klien cair, jadi nggak mesti periodik seminggu atau sebulan. Tapi kalau mau dikumpulin, bisa satu orang dapat satu juta dalam satu bulan.” Jelas Candra.
Dalam agensinya, Candra mengatakan ada kurang lebih 500 anggota yang memiliki 5-40 akun untuk bekerja. Tak hanya berkutat di ranah twitter, agensi yang dinaungi Candra berjalan di semua media sosial. Dari twitter, instagram, facebook, telegram, Google Form, Google Map, Zoom, YouTube dan masih banyak lagi.
Buzzer Selalu Negatif?
Seorang pengguna twitter bernama Dewi berkali-kali melihat deretan trending twitter Indonesia, kemudian menjelajah ke tema-tema trending tersebut. Tak jarang ditemukan beberapa akun bercuitan saling serang demi kepentingan beberapa pihak. Beberapa warganet lebih sering menyebut akun-akun yang saling serang tersebut dengan sebutan buzzer. Sebab terkenal saling serang, buzzer selalu diasosiasikan dengan hal negatif.
“Soalnya buzzer kan ya orang yang menyebarkan berita di media sosial untuk menggiring opini publik entah itu hoaks atau beneran. Menurutku lebih banyak negatifnya sih.” Ungkap Dewi. Lebih lanjut menurut perempuan yang suka dengan konten anime di twitter ini, hal-hal yang seringkali ditunggangi buzzer berhubungan dengan kebijakan publik dan pemerintah.
“Ya walaupun aku nggak selalu update mengenai berita politik tapi aku lihat-lihat ya tweet yang biasanya ada buzzer-nya kalau nggak politik, biasanya kebijakan publik terus yang berhubungan dengan pemerintah.” Pendapatnya.
Berbeda dengan Candra, Ia menjelaskan bahwa hal seperti buzzer sudah lazim di berbagai negara dan tidak semua buzzer negatif. Ia menyatakan ketidaksetujuan jika buzzer mendapat asosiasi negatif.
“Kalau di agensi kami bukan buzzer yang model saling serang gitu. Buzzer gitu namanya Buzzer RP, itu memang buzzer yang digunakan untuk menyerang antar oposisi. Kalau kami lebih seperti influencer kecil dan key opinion leader lah. Nggak saling serang, Cuma untuk menyebar konten dan promosi.” Jelas Candra.
Agensi buzzer yang dimiliki Candra sendiri juga cukup selektif dalam menerima klien. Candra mengaku bahwa agensinya pernah menolak beberapa proyek yang tidak sejalan dengan prinsip mereka.
“Biasanya kalau menolak proyek karena kontennya nggak sesuai sama kita, biasanya terlalu sensitif seperti hal-hal yang bakal menimbulkan pro kontra di masyarakat. Atau kita tolak secara halus dengan cara ngasih harga yang sangat tinggi.” Ungkap Candra.
Candra pun menjelaskan kalau buzzer yang ia miliki tak hanya berkutat di twitter saja, tapi seluruh media sosial.
Candra mengatakan bahwa agensi buzzer yang Candra tangani memang lebih sering menerima klien untuk promosi brand dari suatu perusahaan. Klien yang pernah memakai jasa mereka juga kebanyakan dari sektor teknologi, kuliner, clothing dan sektor lainnya yang tidak saling serang.
“Untuk nama-nama klien yang pernah menggunakan jasa kami jelas itu rahasia, tapi ada bebera sektor yang pernah memesan jasa kami. Ada dari brand teknologi, makanan, pakaian juga pernah, banyak sih. Untuk proyek saling serang, kita nggak pernah ambil.”
Pernyataan Candra tersebut dibenarkan oleh Adil. Selama menjalani pekerjaan sebagai buzzer, ia belum pernah mendapatkan proyek untuk saling menyerang. Menurutnya, pekerjaan yang biasanya ia lakukan hanya membuat tweet trending, memberi like dan komentar di postingan, review aplikasi, serta hal lainnya yang tidak saling serang seperti buzzer RP.
“Menjadi buzzer justru mengubah pandangan aku ke buzzer sih. Dulu setahuku buzzer ya negatif, saling serang, provokasi lah. Tapi setelah gabung agensi ini, ternyata ada ya buzzer yang nggak negatif.” Tambah Adil.
Ran juga sependapat, menurutnya koordinator agensi buzzer yang ia ikuti cukup selektif dalam memilih proyek. “Buat campaign negatif nggak ada, selama gabung di dua agensi, koordinator selektif dalam memilih konten.” Pungkas Ran.
BACA JUGA Mengenang Pagebluk Pes di Jogja: Cerita Para Penyintas dan Rahasia Kyai Kanjeng Tunggul Wulung dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.