Polemik tentang nasib PKL Malioboro sampai pada ujungnya. Seluruh pedagang kini harus menghentikan kegiatannya. Mereka diberi kesempatan untuk segera pindah ke dua lokasi baru. Ketika hari boyongan tiba, suara sumbang dan kecewa masih terdengar.
***
Selasa (1/2) pagi, saya menyempatkan diri untuk menikmati detik-detik terakhir kehadiran para PKL di Malioboro. Saya memulai perjalanan ini pada pukul 10.29. Sebenarnya agak telat sedikit karena kabar boyongan PKL Malioboro ini dimulai pada pukul 10 pagi tepat.
Saya memilih untuk parkir di pinggir Jalan Pajeksan. Tukang parkir yang saya ajak bicara menyatakan bahwa boyongan sudah dilaksanakan. Beberapa PKL sudah benar-benar menutup lapaknya dan mulai berpindah tempat. “Tapi masih ramai mas. Tadi Satpol PP juga barusan lewat,” ungkap tukang parkir ini.
Saya segera melangkah masuk ke area pedestrian Malioboro sisi barat. Dan benar saja, seluruh gerobak dimana PKL biasa berjualan telah ditutup. Tidak ada aktivitas jual beli, ataupun suara rayuan menjajakan barang dagangan. Yang terdengar hanyalah suara speaker yang bicara sejarah Malioboro. Suara tadi juga menghimbau para PKL untuk berhenti berdagang per tanggal 1 Februari 2022.
Saya coba mencari informasi dari tukang becak. Ketika saya datang, mereka malah menawarkan jasa menumpang becak. Tentu saya tolak dengan logat Jogja yang kental ini. Setelah saya sampaikan maksud saya, salah satu tukang becak yang dipanggil ‘Theng’ ini sedikit bercerita.
Benar bahwa tanggal 1 Februari 2022 adalah batas akhir para PKL berjualan di Malioboro. Dari tanggal 1-7 Februari adalah masa boyongan alias pindahan para PKL menuju lokasi Teras Malioboro. Nanti pada tanggal 8 Februari katanya akan ada acara pembukaan. Namun hingga pada tanggal yang sudah ditetapkan ini, masih banyak PKL yang membuka lapaknya.
“Janjane kasihan mas. Pas hari imlek malah disuruh tutup, Ini kan pas rame-ramenya wisatawan,” ujar Pak Theng tadi. Ia juga menyarankan agar saya membuntuti rombongan Satpol PP agar mendapatkan informasi langsung. Memang, saat kami berbincang sedang ada rombongan Satpol PP yang melintas di pedestrian sisi timur Malioboro.
Saya pun menyeberang di depan eks Hotel Mutiara. Sampai di sebelah utara eks Hotel Mutiara, saya mendekati sekumpulan Satpol PP sedang berdiri mengitari pedagang pecel dan air mineral. Dari yang disampaikan, intinya per hari ini sudah tidak boleh ada PKL yang berdagang di Malioboro. Himbauan ini dibalas dengan anggukan dan ucapan iya berkali-kali dari simbah perempuan pedagang pecel ini.
Saya coba meminta keterangan dari salah satu Satpol PP. Satpol PP bernama Ali Riyanto (berdasar dengan nama di seragam) menyampaikan bahwa per tanggal 1 ini seluruh PKL dilarang berjualan di sepanjang pedestrian Malioboro. Ia menambahkan bahwa selama 1 minggu para PKL ini bisa mempersiapkan untuk berpindah ke lokasi Teras Malioboro.
Salah satu wisatawan bertanya apakah sudah ada sosialisasi atau belum. Karena terlihat masih banyak pedagang yang berjualan. Ali menyampaikan bahwa sudah ada pemberitahuan jauh-jauh hari. Namun para PKL masih ngeyel untuk berjualan.
Saya mengikuti langkah para Satpol PP yang berjalan ke arah utara. Sesekali mereka berhenti dan menyampaikan himbauan kepada para PKL. Kadang satu rombongan berhenti, kadang hanya satu dua anggota saja. Wisatawan yang penasaran seperti saya pun mengabadikan momen ini.
Beberapa Satpol PP terlihat kenal baik dengan PKL. Beberapa kali mereka disapa oleh para PKL. Salah satunya ketika di selatan Mal Malioboro, saya melihat ada PKL dan Satpol PP yang saling tegur dengan sangat akrab. Mereka juga sempat ngobrol sebentar tanpa ada nuansa tegang atau semacamnya.
Ketika saya menguping, PKL ini mengeluhkan kenapa harus tutup di hari libur nasional. Si Satpol PP mengutarakan bahwa ini sudah keputusan dari pemerintah bahwa tanggal 1 Februari 2022 tidak boleh ada PKL yang berdagang. Saya sempat mendengar kata maaf dan ungkapan, “aku juga cuma mengikuti perintah.”
Saat sampai di depan toko Medinaa Batik, saya lihat ada diskusi alot antara Satpol PP dengan pedagang bakpia. Si pedagang bakpia mengeluhkan mengapa keputusan larangan berdagang baru disampaikan kemarin sore (31/1) pukul 4. Padahal pukul 2 siang kemarin si pedagang baru saja memasan bakpia dalam jumlah besar.
Salah satu Satpol PP menjawab bahwa himbauan sudah disampaikan beberapa waktu sebelumnya. Si pedagang berdalih untuk keputusan larangan berdagang baru disampaikan kemarin. Salah satu Satpol PP ada yang mendekati si pedagang dan bicara dengan suara yang sulit saya dengar. Ketika saya coba mendekat untuk menguping, saya dihardik salah satu anggota sambil berkata, “ini urusan penting pak.”
Pedagang pakaian dan waistbag di sebelah pedagang bakpia tadi juga didekati oleh salah seorang anggota Satpol PP. Saya sempat mendengar si pedagang pakaian ini bernegosiasi. Ia meminta agar tetap diizinkan berdagang sampai tanggal 8, sembari tetap sedikit demi sedikit memindahkan dagangan menuju Teras Malioboro. Sang anggota Satpol PP menyampaikan bahwa ini sudah ditetapkan oleh pihak pemerintah dan tidak bisa diganggu gugat.
Keluhan ukuran lapak
Saya kemudian menyeberang kembali ke sisi barat pedestrian Malioboro. Dari mal sampai ke Teras Malioboro sisi utara yang letaknya berada di samping hotel Inna Garuda sudah tidak terlihat ada PKL.
Saat saya sampai ke seberang Mal Malioboro, saya melihat ada dua pria yang sedang berdiskusi. Saya pun mendekat dengan mengatakan, “wah, Malioboro terasa sepi nggih?” Pak Husein (55) pun menanggapi ujaran saya ini. Ia dan temannya tadi mengiyakan serta menambahkan kalau para PKL hanya bisa pasrah saja.
Mereka menyampaikan kekecewaan karena larangan berjualan ini dimulai saat libur nasional sampai seminggu kemudian. Pak Husein juga menambahkan, Teras Malioboro juga belum siap untuk berjualan. Teman Pak Husein juga menyayangkan ukuran lapak di Teras Malioboro terlewat kecil, hanya 1,2 x 1,2 meter saja. Padahal gerobak para PKL ini sepanjang 2 meter.
“Yo kudu gawe anyar tho mas (ya harus membuat baru kan mas),” ujarnya kepada Pak Husein. Saya bertanya apakah Teras Malioboro 2 sudah boleh dimasuki wisatawan. Keduanya menyatakan bahwa saya tinggal masuk saja, tapi memang belum ada apa-apa di sana. Alias baru ada peneduh dan kapling-kapling saja untuk hari ini.
Saat saya pamitan, saya melihat ada selebaran yang diselipkan di salah satu gerobak PKL. Ternyata itu adalah surat larangan untuk berjualan di lorong toko atau pedestrian sepanjang jalan Malioboro dan Margomulyo per tanggal 1 Februari.
Saya melanjutkan perjalanan ke arah utara. Sampai sebelah Malio Gelato, saya melihat 3 orang sedang berjongkok dan membawa meteran. Ternyata mereka sedang mengukur perkiraan panjang meja yang pas dengan luas lapak baru mereka di Teras Malioboro. 3 orang yang ternyata juga PKL ini kecewa dengan ukuran lapak yang terlampau sempit.
“Ya kalau cuma segitu, mejamu saja nggak masuk,” ujar PKL yang membawa meteran kepada PKL lain. Ia juga membagikan informasi tempat memesan lemari dan meja dengan harga murah. Si PKL yang mendapat info ini menyatakan bahwa dia belum kepikiran untuk mempersiapkan lapak baru.
Saya kembali melanjutkan perjalanan, dan terpaksa menutup telinga. Alasannya karena suara bising dari speaker yang dipasang di atas lorong pedestrian Malioboro ini. Speaker tadi kembali menyuarakan himbauan untuk tidak berdagang di sepanjang lorong Malioboro. Setelah itu, speaker tadi juga menyuarakan sejarah Malioboro terutama pedestrian yang dijuluki “terowongan Malioboro” itu.
Melihat Teras Malioboro 2
Akhirnya saya sampai di seberang Teras Malioboro 2. Saya sempat berpikir dua kali untuk masuk ke area bekas Kantor Dinas Pariwisata DIY ini. Namun saya pede saja sambil berlagak orang tidak tahu apa-apa. Dan ternyata: lolos! Saya melenggang ke dalam area yang hanya berupa atap peneduh ini. Berbeda dengan Teras Malioboro 1 sebelah selatan yang bentuknya lebih permanen.
Saya berfokus untuk mengamati luas lapak baru yang dibatasi dengan garis warna kuning. Kebetulan ada juga dua orang PKL yang sedang mengukur ulang luas calon lapak mereka. Ternyata benar, memang 1,2 x 1,2 meter. “Kecil nggih pak,” ujar saya kepada mereka. Mereka hanya mengangguk.
Saya kembali berjalan mengelilingi area baru ini. Baru ada beberapa PKL yang membawa barang dagangannya. Sisanya dipenuhi tim panitia berseragam hitam bertulis Teras Malioboro. Beberapa sedang makan nasi kotak, dan ada dua orang yang berbicara layaknya MC. Dua orang ini membicarakan potensi positif dari relokasi ke tempat yang, “lebih layak dan nyaman.”
Saat saya kembali berkelliling dan mengambil gambar, saya bertemu kembali dengan Pak Husein. Ia pun menyapa sambil bertanya, “masih cari berita mas?” Saya cuma mengangguk kecil, dan mata beberapa orang mulai tertuju ke saya. Saya pikir, ini waktunya untuk hengkang dari Teras Malioboro.
Suara warga
Setelah keluar, saya kembali berjalan ke arah selatan menuju Mal Malioboro. Sampai di depan toko batik Medinaa tadi, ternyata si penjual bakpia masih menggelar dagangan. Sedangkan pedagang pakaian membereskan rak dan beberapa tali pengikat hanger. Saya pun duduk di kursi taman depan mereka. Ternyata si pedagang bakpia ingat saya yang sebelumnya tadi menguping mereka.
Di sebelah saya ada Pak Is (38). Dia adalah salah satu PKL yang juga akan direlokasi ke Teras Malioboro 2. Menurutnya, untuk PKL yang menempel dengan dinding pertokoan akan direlokasi ke Teras Malioboro 1. Sedangkan yang membuka lapak di depan toko (tidak menempel) akan direlokasi ke Teras Malioboro 2 yang tadi saya kunjungi.
“Kalau lokasinya diundi mas,” imbuh Pak Is sambil menanggapi komentar temannya yang tadi sempat berargumen dengan Satpol PP.
Pak Is bercerita tentang kultur PKL ini. Banyak PKL berdarah Minang dan sudah bertahun-tahun menjadi PKL di Malioboro. Mereka kenal baik dengan beberapa Satpol PP yang tadi berpatroli. Bahkan menurut Pak Is, ketua Satpol PP Jogja juga keturunan Minang. Seringkali ia nongkrong di area pedestrian Malioboro waktu malam.
Fakta ini menimbulkan sedikit ganjalan. Alasannya, terasa berbeda dan penuh rasa tidak enak. PKL tidak enak ketika “bandel” tetap berjualan ketika didatangi Satpol PP yang sudah mereka kenal baik. Beberapa Satpol PP yang akrab dengan PKL juga pekewuh untuk menghimbau PKL. “Tapi gimana mas, mereka cuma menjalankan tugas,” ujar Pak Is.
Pak Is juga kurang sreg untuk dipindah ke area baru. Menurut Pak Is, tidak ada jaminan area baru akan mendatangkan profit yang lebih baik. Pak Is dan pedagang bakpia tadi malah khawatir, lokasi baru ini malah tidak diminati para wisatawan. Pasalnya, wisatawan lebih mengenal Malioboro sebagai pusat oleh-oleh yang dijajakan PKL.
Pak Is tidak berharap banyak. Yang ia harapkan hanyalah pertimbangan perkara harus mulai tutup per tanggal 1 Februari ini. Mau tidak mau, ada 7 hari dimana mereka kesulitan untuk mendapat penghasilan karena relokasi ini. Apalagi relokasi ini bertepatan dengan imlek yang mendatangkan wisatawan.
Saya coba minta keterangan dari para wisatawan. Akhirnya saya bertemu Ibu Aminah (45). Ia sedang duduk menikmati liburan bersama suami dan anak paling kecil mereka. Awalnya Ibu Aminah terkejut melihat rombongan Satpol PP saat di depan Restoran Legian. “Saya kira ada penggusuran mas,” ujar perempuan kelahiran Sunda ini.
Ibu Aminah merasa setuju saja dengan relokasi ini. Menurutnya kawasan Malioboro akan lebih rapi dan tertata. “Jadi banyak tempat selfie mas,” ujar Ibu Aminah.
Saya ingin meminta pendapat pemilik pertokoan. Saya menuju ke Toko Enteng, toko obat sekaligus toko cerutu langganan saya. Saya bertemu Om Bram (40) yang menjadi partner dari Om Rico pemilik Toko Enteng. Setelah belanja cerutu seperti biasa, Om Bram langsung menanggapi relokasi ini.
“Jujur aku kurang setuju, karena akan ada banyak hal yang berubah di Malioboro,” ujar Om Bram. Menurutnya, relokasi ini akan berdampak sama besarnya dengan keputusan perubahan jalur di sekeliling Malioboro. Akan ada banyak pihak dirugikan: tukang becak, pedagang asongan, dan penjaja makanan keliling.
“Mungkin yang berdagang kain (pakaian) mendukung relokasi ini. Tapi kalau aku tidak. Toh aku jualan cigar,” imbuh Om Bram. Ia juga berpendapat bahwa perubahan kultur dan karakter Malioboro ini akan berdampak kedepannya. Memang ada dampak positif, tapi tentunya ada dampak negatif yang bisa jadi lebih besar.
Menurut Om Bram, Malioboro sudah baik-baik saja dengan adanya PKL. Justru dengan merelokasi mereka, Malioboro akan berbeda dengan sebelumnya. Padahal PKL sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Malioboro.
Setelah berbelanja cerutu, saya pun berjalan ke arah selatan. Memang, sisi barat Malioboro sudah lebih dulu bersiap untuk relokasi. Sudah sepi dan tanpa ada PKL yang berdagang. Berbeda dengan sisi timur yang masih ada beberapa PKL berdagang.
Yang saya lihat tidak berbeda dengan sebelumnya: PKL membereskan lapak sambil mengukur ulang perkiraan luas calon lapak mereka. Tidak ada ingar-bingar tawar menawar dan rayuan untuk belanja oleh-oleh. Yang ada hanyalah suara besi beradu dan nafas berat para pedagang di “terowongan” Malioboro ini.
Reporter: Prabu Yudanto
Editor: Purnawan Setyo Adi
BACA JUGA PKL Masuk Mal, Malioboro Dibersihkan dari PKL dan liputan menarik lainnya di Susul.