Mojok dan by.U menyelenggarakan festival “Merayakan Patah Hati” di Kancane Coffee and Tea Bar pada Sabtu (24/6/2023). Namanya juga festival, kegiatannya macam-macam mulai dari stand-up comedy hingga karaoke. Namun yang utama dari festival ini dalah diskusi “Dari Patah Hati Jadi Aktualisasi”.
***
Diskusi ini menarik. Pengisinya tiga “duta” patah hati, yakni Ali Ma’ruf (penulis buku Perihal Cinta Kita Semua Pemula), Ranting Mangga (pegiat creative journaling), dan Zahwa Islami (psikolog klinis dan konten kreator relationship). Meski berbicara dari sudut pandang yang berbeda, tapi ketiganya sama-sama sepakat; melihat patah hati sebagai proses yang wajar bagi semua orang.
Ali misalnya, sebelum bukunya tentang patah hatinya ludes di pasaran, ia pernah terseok-seok menjalani fase patah hati. Ia menggambarkan bahwa rasa nyerinya luar biasa. Ali bahkan mengusulkan sudah sewajarnya ada cuti patah hati buat para pekerja.
“Ketika bicara isu kelas pekerja,” berhenti sejenak, karena Ali geli sendiri dengan istilahnya, “Patah hati juga harus ikut dibicarakan.”
Rasa ‘perih’ patah hati
Soal “cuti patah hati”, Ali punya alibi bahwa satu-satunya cara mengobati patah hati adalah dengan memahami betul perasaan tersebut. “Itu butuh waktu,” tekannya. Menurut Ali, patah hati bukan cuma perkara asmara. Binatang peliharaan yang mati dan cita-cita yang tidak kesampaian, itu juga merupakan bagian dari patah hati dan sama perihnya.
Patah hati emang sesakit itu? Zahwa kemudian berbagi cerita tentang rasa patah hatinya, putus cinta, dan perasaan saat orang tuanya cerai. “Cinta itu energi yang besar. Bagi beberapa orang, dunia baru terasa ketika cinta itu ada. Lalu, ketika cinta itu patah, runtuhlah semua dunianya,” jelas Zahwa.
Ia juga menyentil konsep “Lima Tahap Berduka” (penolakan, amarah, tawar-menawar, depresi, dan penerimaan). “Kalau sedih, ya sedih. Marah, silakan. Cukup pahami saja fase yang sedang kamu jalani,” sarannya. Zahwa menambahkan, untuk memahami fase-fase dan perasaan patah hati, ada baiknya untuk membagikannya dengan orang-orang terdekat.
Salah satu teknik mengolah perasaan dan membagikannya adalah lewat creative journaling seperti Ranting Mangga. Awalnya ia melihat creative journaling sebagai medium untuk mencurahkan isi hatinya. “Lama-lama bisa jadi buku juga. Sudah cetak dua kali lagi. Terima kasih mantanku!” selorohnya.
Buku yang ia maksud adalah Memori-Memori yang Cecer di Setapak Jalan terbitan Ohara Books. Isinya adalah sajak dan kutipan tentang patah hati dari creative journal bikinannya. Ranting berharap, bukunya bisa menjadi teman bagi pembacanya yang sedang patah hati untuk memahami perasaannya. “Kamu tidak sendirian,” ucapnya.
Berduka ria
Diskusi Mojok dan by.U juga menghadirkan partisipasi peserta dalam “Sesi Berduka Ria”. Para peserta yang hadir menuliskan pengalaman bodoh saat jatuh cinta di kertas dan kemudian nantinya Ali dan Zahwa baca dan respons.
“Menyukai orang empat tahun tapi tidak pernah mengungkapkannya. Keburu pergi dia,” tulis Awan, peserta diskusi. Merespon ungkapan itu, Zahwa menjelaskan bahwa yang menyakitkan itu bukan penolakan melainkan ekspektasi saat mengungkapkan perasaan. “Kita mesti paham tujuan mengungkapnya. Apakah agar lega atau punya harapan?” kata Zahwa.
“Berani, kendel wae,” saran Ali. Memang, nanti bakal patah hati. Namun, seperti yang sudah ia sampaikan, fase itu kelak akan lewat dan terpahami. Bahkan bisa kita rayakan dengan segala cara seiring berjalan waktu.
“Tragedi, bila sudah diterima dan dipahami, bakal jadi komedi, kok”, ucap Ali yang merefleksikan prosesnya melalui patah hati dan menuliskannya secara bercanda dalam buku Perihal Cinta Kita Semua Pemula.
Benar saja, setelah mengobok-obok tragedi (dan beberapa merayakannya), sesi bergeser ke komedi –stand up comedy– dan kegiatan senang-senang lainnya hingga ujung petang.
Peserta yang unik
Anda bisa menjumpai orang datang sendiri-sendiri di festival ini. Bila beruntung, orang yang sendiri-sendiri itu bisa bertemu kawan berbincang di tempat. Pun, datang berdua, semuanya sesama jenis. Bukan maksud heteronormatif, namun kelihatan tho mana yang sedang menjalin hubungan romantik dan yang tidak.
Apakah ada yang datang berdua dengan pasangannya? Ada. Saya salah satunya. Alasannya jelas: saya meliput dan pacar saya ikut. Sederhana saja.
Saya memindai area festival. Berharap untuk menemukan pasangan romantik yang datang. Di pojok timur tribun, mata saya terpacak pada sepasang lelaki dan perempuan yang, Gusti Allah, ternyata saya kenal mereka. Tidak salah lagi, mereka adalah Langit, kawan saya, dan pasangannya, Ade.
“Apa pasal orang-orang yang sama sekali tidak ambyar ikut-ikutan ‘Merayakan Patah Hati’?”. Saya membatin begitu. Sesaat sesi stand-up comedy kelar, saya beranjak menuju mereka. Saya menanyai mereka secara terpisah. Langit dahulu, Ade belakangan.
Ikut merayakan patah hati
“Kamu ngapain ke mari, Ngit?” tanya saya. “Jujur, pacarku ngajak. Dia datang sebagai awak Sintesa (persma Fisipol UGM-red),” tukasnya, yang bikin saya berpikir untuk menghentikan saja wawancaranya. Lha gimana, ceritanya bakal sama dengan punya saya. Namun kemudian, “Nanggung ah,” gumam saya.
Langit memang tertarik dengan topik festivalnya, patah hati. Meski tidak sedang melaluinya, dirinya mengaku pernah mengalami patah hati hebat. “Aku mengalami fase merasa tidak berharga seperti yang Mas Ali katakan. Aku juga sempat berada di titik terendah, sedih betul,” tuturnya. Namun, kata Langit, dirinya dan masa lalu itu sudah berdamai. Dia berhasil move-on setelah mengetahui mantanya telah berpacaran dengan pria lain.
Sementara itu, tebakan saya bahwa Ade sedang meliput, meleset. Dirinya sekadar menghadiri undangan dari Mojok kepada Sintesa. Saya berpikir, undangan ‘kan bisa ditolak, “Mengapa Ade tidak menolaknya?”
“Saya memang tertarik acaranya. Terlebih, ada Mbak Zahwa yang kontennya tentang relationship sering sliweran di media sosial,” ungkap Ade. Selain karena Zahwa, Ade juga ingin mengetahui tentang patah hati, terutama berkaitan dengan asmara. Sebelumnya, dia mengaku belum pernah putus cinta. “Biar punya bayangan tentang patah hati asmara dan cara menghadapinya,” kata Ade.
Harapan Ade ini sesuai dengan kekhawatiran Ali saat diskusi. “Sejak kecil, kita selalu diajarkan cara sukses namun tidak pernah diberitahu cara menghadapi kegagalan, termasuk soal patah hati ini,” kata Ali. Dengan menghadiri festival “Merayakan Patah Hati”, Ade dan Langit sedang menyiapkan diri untuk menerima kegagalan, apapun itu. Syukur-syukur, setelahnya, bisa merayakan kegagalan, merayakan patah hati.
Penulis: Ardhias Nauvaly Azzuhri
Editor: Purnawan Setyo Adi