Datang ke Coffee Shop di Jogja Nggak Harus Pakai Dr. Martens Kok, Cukup Bawa Nyali

Cofee Shop di Jogja jadi ruang fashion show pengunjungnya.

Coffee shop di Jogja, tentu tidak semuanya, bukan hanya jadi tempat ngopi, tetapi juga jadi panggung ‘fashion show’ pengunjungnya. Nggak bawa nyali, bisa terintimidasi. Ada beberapa kedai kopi yang pengunjungnya mengenakan fesyen merek-merek tertentu. Misalnya, sepatu merek Dr. Martens.

Sosiolog UGM, Derajad Sulistyo Widhyharto mengatakan coffee shop atau kedai kopi di Jogja menawarkan ruang ekspresi aktivitas anak-anak muda. Coffee shop saat ini didesain untuk memenuhi kebutuhan ekspresi gaya hidup mereka. Sofa yang empuk, WiFi kencang untuk memfasilitasi kegiatan nugas. Juga desain estetis untuk menunjang kebutuhan aktualisasi diri di media sosial. 

Menurut Derajad, bagi anak muda berfoto di coffee shop sudah menjadi sebuah keharusan. Semacam tuntutan biasa untuk anak-anak muda. “Dengan nongkrong di kedai kopi, menyesuaikan pakaian dengan pengunjung lainnya, dan melakukan gaya hidup di dalamnya, mereka merasa menjadi bagian dari masa kini. Itu kebutuhan dasar anak muda saat ini,” katanya.

Melanjutkan tulisan sebelumnya, Coffee Shop di Jogja, Benarkah Jadi Ruang Pamer Fashion yang Mengintimidasi?  Mojok berkunjung ke beberapa coffe shop, ngobrol dengan pengunjungnya maupun pemiliknya.

***

Setelah ngepoin Instagramnya UD Mitra, saya merasa saya perlu persiapan mental dulu buat ngopi di sana. Soalnya dari update-an instagram mereka, saya sudah bisa membayangkan betapa kunonya penampilan saya ini. 

Saya memutuskan untuk ke Le Travail dulu. Saya ke Le Travail cuma pakai kaos gambar kucing, cardigan, celana jins, dan sepatu sandal yang lebih mirip sandal gunung. 

Masuk di area indoor, saya mendapati beberapa pengunjung yang sedang sibuk dengan laptop. Beberapa ada yang duduk berhadapan tapi fokus ke layar handphone masing-masing. Benar-benar hanya diam sambil sibuk masing-masing. 

Bahkan untuk sekadar melakukan kegiatan sepele itu saja, fesyen mereka sangat mentereng. Ada yang pakai kaus oversized dipadukan kalung rantai, celana jin sobek-sobek, lalu sepatu boots hitam setinggi betis. Ada juga yang pakai cardigan rajut warna-warni, lengkap dengan tas anyaman plastik ngehits. Itu lho yang kayak tas belanja Pasar Beringharjo.

Saya biasanya kalau mau wawancara orang, ngeliat-liat dulu. Apakah bahasa tubuhnya terbuka? Kalau terbuka ya langsung saya wawancara. Sialnya, bahasa tubuh mereka tertutup. Tampak sangat individualis, sibuk, dan intimidating

Saya coba jalan ke area outdoor. Di sana saya bertemu serombongan pengunjung yang langsung senyum mengangguk ketika saya permisi duduk di sebelah mereka. Ini baru target saya. 

Mengakali tuntutan modis di coffee shop

Salah satu dari mereka bernama Rachel Azarina (19), mahasiswi UMY asal Solo. Saat itu Rachel mengenakan crop top dan celana jin sobek-sobek. Bagian bawah rambutnya yang disemir agak merah itu dicatok ikal. 

Rachel mengatakan dia lebih mempersiapkan stylenya saat pergi ke kedai kopi dibanding saat pergi ke tempat lain, misalnya seperti mal atau ruang terbuka lainnya di Jogja. “Beda banget style aku ke kedai kopi dibanding ke mal atau tempat lain,” katanya dengan gestur heboh. 

Fashion show di coffee shop di jogja. di UD Mitra pengunjung biasa ada yang mengenakan Dr. Martens
Suasana outdoor area UD Mitra (Mojok.co/Salsabila Annisa Azmi)

Menurut dia, mal atau ruang terbuka lainnya di Jogja punya jenis pengunjung yang sangat beragam. Otomatis style pengunjungnya juga beragam. Malah banyak yang style fesyennya super biasa aja sampai cenderung lusuh. Mereka membaur dalam ruang interaksi dengan banyak titik fokus: pilihan produk, orang yang digandeng, gerai di kanan kiri. 

“Jadi kalau nggak oke ya nggak keliatan sih. Nggak bakal ada yang ngeliatin. Aku nyaman-nyaman aja pakai baju seadanya,” katanya sambil tertawa. 

Sedangkan, menurut dia, kedai kopi adalah ruang interaksi yang lebih sempit. Titik fokus orang pun terbatas pada laptop atau lalu lalang pengunjung lain. Jadi style yang dikenakan para pengunjung, termasuk dirinya, akan sangat mudah jadi pusat perhatian. 

“Kalau diliatin, pas bajunya nggak oke jadi nggak pede, kalau lagi oke ya jadi tambah pede.”

“Meskipun bakal lebih prepare baju ketika pergi ke kedai kopi, aku tetap lebih suka ke kedai kopi. Terkadang lebih pede kalau bajuku bagus terus ada yang ngeliatin. Aku juga kadang suka foto di kedai kopi yang bagus gitu, buat upload Instagram. Kalau di-like jadi senang,” lanjut Rachel.

Hari itu Rachel memberi tahu harga outfit-nya. Kaus hitam dengan harga Rp50.000 itu dibelinya dari online shop. Lalu celana jin sobek-sobek merek retail terkenal didapatkannya dari lapak baju bekas online di Instagram, harganya Rp100.000. Padahal, harga pasarannya bisa mencapai Rp700.000. 

Dia hanya pakai celana itu ketika nongkrong di coffe shop. Dalam seminggu, Rachel setidaknya nongkrong di kedai kopi 2 kali. Sekali nongkrong, dia mengeluarkan biaya Rp40.000 untuk makanan dan minuman.  

“Menurutku tuntutan modis bisa diakali biar nggak mahal. Cari secondhand [baju bekas] adalah salah satu caranya,” kata dia. Rachel biasanya mencari baju bekas di marketplace atau Instagram. Dia mendapatkan baju bekas yang dia inginkan dengan sistem siapa cepat dia dapat.

Berbeda dengan Rachel, Rama Aziz (19) mengaku lebih cuek soal penampilannya di kedai kopi. Menurutnya asal bawa nyali dan cukup mengenakan kaus polos bermerek, dilapis kemeja flanel sudah cukup membuatnya percaya diri nongkrong di coffee shop. Harga kaus dan kemejanya pun masih terjangkau karena masih di bawah Rp200.000. 

Dalam seminggu pun dia hanya nongkrong di coffee shop 2 kali saja dengan biaya Rp50.000 sekali nongkrong. Terkadang dia menghemat biaya nongkrong dengan makan dulu di Warmindo atau burjo. Biasanya dia makan nasi telur seharga Rp10.000. Upaya penghematan itu dilakukan karena uang sakunya Rp100.000 per hari. Dengan uang itu, Aziz masih harus beli bensin motor dan lainnya.

“Makan dulu biar kenyang dan hemat, terus nongkrong di kedai kopi beli minuman saja,” kata Aziz.

Sebenarnya, Aziz bukan tipikal orang yang gemar nugas dan nongkrong di coffee shop. Akan tetapi, terkadang lingkungan sekitar menuntutnya untuk melakukan dua aktivitas tersebut. Pasti selalu ada teman-temannya yang mengajaknya mengerjakan tugas atau sekadar ngobrol-ngobrol santai di kedai kopi. Jadi mau tak mau dia mengikuti gaya hidup tersebut. 

Rekomendasi dari YouTube Mojok.co yang mau cari thrifting di olshop.

 

Kira-kira di coffee shop luar kota, misalnya seperti di Jakarta, apakah kedai kopi se-spesial ini? Sampai-sampai jika tak sesuai dengan atmosfernya akan mempengaruhi rasa percaya diri? 

Saya mewawancarai Atha Paramitha (27), seorang ASN di Ibu Kota. Di sela waktu luangnya, Atha tak jarang juga menghabiskan waktu di coffee shop Ibu Kota. Terkadang juga di mal. Menurut dia, coffee shop di Jakarta tampak biasa saja dengan warna-warni style pengunjungnya.  

“Di sini liat orang nongkrong [bukan hanya di kedai kopi] pake Dr. Martens tuh udah banyak. Jadi biasa aja. Di sini fesyen [di ruang terbuka] kan juga beda sama di Jogja. Jadi mungkin itu yang bikin style di kedai kopi Jogja keliatan wow sementara di sini jadi biasa aja,” kata Atha yang kuliah sarjana hingga magister di Jogja.

Menurut Atha, anak-anak muda di Jakarta biasa berekspresi melalui fesyen di ruang terbuka maupun di ruang-ruang tertutup seperti kedai kopi. Jadi tidak ada perbedaan corak style yang berarti ketika berada di luar ruangan maupun ruangan tertutup. Berekspresi dengan busana atau dengan nongkrong bisa dilakukan di mana saja.

Adu fesyen di JNMBloc

Berbicara soal ruang terbuka untuk mengekspresikan gaya hidup masa kini, Jogja sebenarnya sudah memiliki JNMBloc. JNMBloc terletak di samping Jogja National Museum (JNM). Di sana pengunjung bebas menikmati makanan dan minuman yang ditawarkan puluhan tenant. 

Letaknya yang bersebelahan dengan JNM membuat JNMBloc kerap dikunjungi penikmat acara seni. Hasilnya, pengunjungnya pun sangat fashionable. Bahkan lebih fashionable daripada pengunjung-pengunjung di coffee shop.

Fauzan Ashikin (27) biasanya mengunjungi JNMBloc sembari menunggu konser atau pembukaan pameran di JNM mulai. Jadi dia melihat banyak pengunjung yang mengenakan busana modis. Mulai dari style ala anak band, style modern dipadukan dengan tradisional seperti kain jarik, hingga street style

Fauzan merasa cukup fashionable untuk berbaur dengan para pengunjung JNMBloc. Sebab dia sudah punya dresscode sendiri untuk pergi ke ruang terbuka seperti JNMBloc. Misalnya, seperti celana bahan chinos atau jin, kaus band, lalu dilapisi dengan kemeja flanel atau jaket jin. 

“Aku nggak pernah minder soal fesyen karena menurutku aku cukup fashionable. Cuma pas ke JNMBloc ada nggak nyamannya gara-gara pas itu aku sendirian. Asli, kayak orang ilang. Karena di sana kebanyakan pada nge-geng,” kata Fauzan.

Menurut Fauzan, pergi ke ruang terbuka seperti JNMBloc memang lebih cocok dikunjungi pada saat tertentu saja. Seperti menunggu konser atau event kesenian lainnya. Sisanya, Fauzan lebih sering nongkrong di coffee shop untuk ngobrol atau menyelesaikan sisa pekerjaannya sebagai guru. 

Salah satu titik nongkrong di JNMBloc. 

Kedai kopi yang dikunjungi pun hanya kedai kopi yang menurutnya nyaman karena style pengunjungnya tidak terlalu mencolok. Misalnya seperti Kelas Pagi Yogyakarta di mana pengunjungnya bebas-bebas saja ketika hanya mengenakan bokser. 

“Ada kedai kopi yang punya stereotype modis emang, dari feed IG-nya aja kelihatan. Aku nggak pernah betah nongkrong di situ. Aku pernah eksperimen datang ke kedai kopi yang cukup hits pakai seragam PNS, semua mata tertuju padaku,” kata dia. 

Menurut Salsabila Daniswara (25), seorang pekerja seni asli Jogja, JNMBloc juga bisa dijadikan ruang berekspresi melalui style berbusana. Sebab pengunjung di JNMBloc lebih fashionable daripada pengunjung coffee shop

“Soalnya yang datang ke sana kebanyakan content creator. Tapi pernah sih aku jalan di tengah pengunjung-pengunjung itu, pakaianku biasa aja cuma pakai kaus sama celana jin tapi jadinya diliatin banget,” kata Sasa. 

Menurut Sasa, fungsi JNMBloc memang lebih fokus untuk belanja kuliner dan menunggu event kesenian di JNM mulai. Misalnya seperti Art Jog dan serangkaian pameran seni lainnya. Jadi Sasa hanya pergi ke JNMBloc ketika ingin menghadiri acara seni atau makan-makan bersama teman-temannya. 

“Sedangkan aku lebih sering cari ruang kondusif buat nongkrong sambil kerja, aku butuh fokus buat kerja sendirian. Jadi lebih nyaman ke kafe,” kata Sasa. 

Dari segi biaya pun, menurutnya kedai kopi lebih terjangkau. Sebagai public relation, Sasa lebih sering bekerja di luar ruangan dan mampir ke kedai kopi untuk menyelesaikan pekerjaannya. Setidaknya dia pergi ke kedai kopi 2 sampai 3 kali dalam seminggu. Sekali nongkrong di kedai kopi, dia mengeluarkan biaya sebesar Rp75.000 untuk membeli makanan dan minuman. 

“Di JNMBloc sekali nongkrong Rp30.000 sampai Rp40.000, tapi bisa lebih boros karena pilihan tenantnya banyak. Jadi bikin pengen cobain tenant-tenant yang lain,” kata Sasa. 

Nggak pede ikut ‘fashion week’ di coffee shop yang melebihi budget style

Oke. Kita balik lagi ke curhatan Rachel.

“Tiap kedai kopi di Jogja kayak punya style dan vibes tersendiri, Kak. Aku jadi merasa harus menyesuaikan style-ku sama style pengunjung kedai kopi yang mau kudatengin. Kalau beda, jadi ngrasa nggak nge-blend aja. Nggak pede,” kata Rachel. 

Menurut Rachel, suasana Le Travail sore hari dan Le Travail malam hari pun berbeda. Saat siang ke sore hari, pengunjungnya adalah mereka yang style-nya simpel tapi tetap modis. Menurutnya style itu masih mirip-mirip dengan selera style-nya. Suasana itu membuatnya lebih nyaman.

“Katanya kalau makin malem, makin stylish juga orang-orang yang ke sini. Biasanya yang dateng kayak selebgram gitu. Takut….” kata Rachel sambil memelankan suaranya. Seakan-akan takut pengunjung lain yang modis-modis itu mendengarnya. 

Kali ini teman satu tongkrongan Rachel ternyata punya pendapat berbeda. Menurut Rama Aziz (19), siapapun segmentasi pengunjung kedai kopi yang dia datangi, style-nya akan tetap sama. Hal yang terpenting adalah style-nya itu masih rapi dan masih masuk tren. 

Rachel Azarina (kanan) bersama teman-temannya saat nongkrong di Le Travail (Mojok.co:Salsabila Annisa Azmi)

Style pengunjung lain jadi alasan datang ke coffee shop

Keesokan harinya saya membulatkan tekad dan menguatkan nyali untuk nongkrong di UD Mitra. Warna style-nya berbeda dengan Le Travail. Sesampainya di sana seluruh panca indera saya merasa asing. Mulai dari mata, telinga dan hidung.

Telinga saya mendengar para pengunjung ngobrol dengan logat lo-gue asli Jakarta yang begitu alami. Ada juga logat sunda hingga logat melayu. Mata saya juga melihat banyak warna style yang terlihat mewah. Misalnya, saya ketemu tiga pengunjung yang pakai sepatu Dr. Martens seharga dua jutaan. 

Jujur saya yang cuma pakai kaos ditimpa kemeja flannel merasa asing dan agak terintimidasi. Buat beradaptasi sama suasananya saya memutuskan buka laptop dulu lalu mengisi baterai laptop. Tapi ternyata kabelnya nggak sampai ke stop kontak di tembok kedai kopi. 

“Cari roll kabel aja kak di kasir,” kata dua pengunjung yang duduk di samping saya. Usai masang tancepan di roll kabel, saya kenalan dan ngobrol dengan mereka. Mereka adalah Oktaviani Jumiartini atau Ocha (21), mahasiswi AMIKOM asal Sukabumi dan juga Adisa Putri (21) mahasiswi Institut Teknologi Nasional Yogyakarta (ITNY) asal Kalimantan Timur. 

Hari itu Ocha mempresentasikan style-nya ke saya. Dia mengenakan basic inner press body merek Topshop seharga Rp100.000, celana kulot highwaist, pashmina plisket, dan sandal fluffy semuanya merek lokal dengan range harga Rp50.000 hingga Rp100.000. 

“Harga dan brand nggak penting, yang penting mix and match-nya aja bisa kece,” kata Ocha.

Putri sependapat dengan temannya itu. Lalu dia menceritakan pengalamannya safari kedai kopi di kawasan Seturan. Putri mengatakan dia dan Ocha pergi ke kedai kopi maksimal empat kali dalam seminggu. Biasanya untuk mengerjakan tugas kuliah sambil refreshing. 

“Kalau aku ke kedai kopi tiga sampai empat kali buat nugas. Budget buat beli makanan dan minuman kurang lebih di atas Rp50.000. Soalnya harga minuman aja udah dua puluh ribuan lebih, malah ada yang tiga puluh ribuan. Apalagi kalau stay lama buat nugas,” kata Ocha. Meski begitu, biaya tersebut masih bisa ditanggung oleh uang jajan bulanannya yang di atas Rp1 juta.  

Selain tingkat kenyamanan untuk mengerjakan tugas, ternyata warna style pengunjung jadi pertimbangan mereka untuk mengunjungi kedai kopi. Sebab menurut mereka keseragaman warna style juga jadi faktor kenyamanan saat mereka nongkrong di kedai kopi. 

“Misalnya, abis pulang kuliah kami mau ke kedai kopi. Kami bakal pilih kedai kopi yang style pengunjungnya masih masuk di style kami. Kalau pas kami ngintip suatu kedai kopi, ternyata style pengunjungnya beda banget, nggak jarang juga kami belok. Cari yang lain,” kata Putri.

Saya kemudian bertanya: “memangnya kedai kopi mana saja yang bikin mereka merasa ragu-ragu atau enggan buat masuk?”

“Kalau di Seturan sih Lars Headquarters sama Downtown Diner, Kak. Soalnya di sana  hype-beast style. Pengunjungnya semacam orang-orang yang pakai sepatu Nike Air Jordan, Yeezy, gitu-gitu deh. Kalau terpaksanya mau ke sana tuh harus ramean. Soalnya kalau sendirian bakal aneh banget,” kata Putri.

Adisa Putri dan Oktaviani Jumiartini ketika mengunjungi UD Mitra (Mojok.co:Salsabila Annisa Azmi)

Harga pasaran sepatu Nike Air Jordan berkisar antara Rp 1juta hingga Rp3 juta. Sedangkan sepatu Yeezy bisa mencapai Rp8 juta. Mereka mengaku sempat kaget mengetahui fakta ada coffe shop dengan pengunjung style semahal itu di Jogja. Bayangan mereka, nongkrong di Jogja semua serba sederhana dan murah. 

“Jadi pokoknya kami menyesuaikan kemampuan kita afford [membeli] suatu style dengan suasana kedai kopi pilihan aja. Soalnya kalau beda tuh insecure alias nggak pede,” kata Ocha. 

Sebaliknya, ketika mereka masuk ke coffee shop yang stylenya “mereka banget”, mereka justru lebih PD saat pengunjung lain yang memperhatikan mereka. Ocha mengatakan dia berharap pengunjung lain menyukai pilihan stylenya dan bisa terinspirasi. 

Rebutan ruang berekspresi di Jogja lebih ketat daripada Citayam Fashion Week..

“Sebenarnya di Jogja itu juga terjadi perebutan ruang berekspresi seperti di Citayam. Bedanya, kalau di Jogja itu terjadinya di ruang tertutup dan sifatnya lebih personal. Nggak terlihat, tapi ketat,” kata Sosiolog UGM, Derajad Sulistyo Widhyharto.

Jogja jadi kota tempat bertemunya mahasiswa kota-kota besar dengan berbagai nilai dan budaya yang berbeda. Masing-masing nilai dan budaya itu memiliki dinamika perubahan yang tinggi. Saat mereka datang ke Jogja, ternyata tak ada ruang untuk mewadahi budaya mereka. Oleh karena itu mereka menciptakan ruang berekspresi mereka sendiri dengan mendirikan coffee shop

“Misalnya dia mahasiswa dari Jakarta atau kota besar di Kalimantan, dimodali orang tua untuk berbisnis di sini. Mereka bikin kedai kopi yang nuansanya sesuai dengan gaya hidup sana. Itu terjadi. Jadi ruang gaya hidup mereka [mahasiswa luar kota] dipindah ke sini,” kata Derajad. 

Maka yang terjadi, anak muda asli Jogja merasa harus membaur dengan nilai-nilai tersebut untuk mendapat tempat mengekspresikan gaya hidup saat ini. Mereka beradaptasi dengan berbagai cara agar bisa diterima oleh suatu kelompok yang jadi kunci perubahan gaya hidup mereka. 

“Semua desakan nilai baru itu terjadi di ruang tertutup. Jadi, tidak hanya fisik mereka saja yang terhimpit tapi juga identitas mereka secara personal,” kata Derajad. Menurutnya fenomena tersebut bukan hal buruk untuk anak muda di Jogja. 

“Ini kritik buat pemerintah, mestinya ruang terbuka di Jogja bisa lebih memfasilitasi gaya hidup anak muda sesuai jamannya. Kalau pun mau memberi izin kedai kopi, penataan wilayah di sekelilingnya harus diperhatikan dahulu,” kata Derajad. 

Owner coffe shop bicara: style unik justru jadi daya tarik

Semua teman yang saya wawancarai di atas selalu menyebut UD Mitra sebagai kedai kopi dengan pengunjungnya paling fashionable. Bahkan, ada beberapa desas-desus yang mengatakan kalau berkunjung ke sana tidak pakai sepatu Dr. Martens bakal aneh banget. 

“Ah, nggak lah itu, sebenernya biasa aja kok kalau di sini, kalau siang juga banyak yang nugas di sini biasa-biasa saja,” kata Ardian Yudha, Founder UD Mitra. Meski begitu,Yudha mengatakan memang sering mengecek sentimen netizen Twitter melalui kata kunci “UD Mitra”. 

Yudha mengaku sudah mengetahui bahwa coffee shop-nya punya stereotype fashionable dan intimidating. Sebab pengunjung baru maupun pengunjung setianya selalu punya style yang unik. Menurut dia, tak ada masalah berarti dari sentimen itu. Justru para pengunjung dengan berbagai warna style jadi salah satu daya tarik UD Mitra untuk terus dikunjungi.

“Tapi sebenarnya tidak ada perencanaan untuk mem-branding UD Mitra sebagai kedai kopi yang punya pengunjung fashionable. Bisa dibilang fenomena di UD Mitra ini organik. Mungkin, itu karena pengaruh komunitas yang kami gandeng juga,” kata Yudha.

Ardian Yudha, founder UD Mitra berdiri di depan kasir kedai kopi UD Mitra (Mojok.co/Salsabila Annisa Azmi)

Yudha melihat pergerakan local youth atau komunitas di Jogja sangat masif. Segala jenis komunitas berkembang dengan baik di Jogja. Mulai dari komunitas sepeda, komunitas fashion, hingga komunitas lifestyle. Mereka menunjukkan eksistensinya melalui berbagai event besar di ruang terbuka untuk menunjukkan eksistensinya.

“Sebagai orang yang punya hobi dan komunitas, aku melihatnya ruang terbuka di Jogja itu lebih untuk unjuk gigi komunitas. Aku sendiri yang punya komunitas juga merasa Jogja tetap butuh ruang tertutup biar komunitas itu punya tempat untuk membangun nilai-nilai kekeluargaan melalui obrolan yang lebih akrab,” kata Yudha. 

Oleh karena itu, UD Mitra yang berdiri pada 2019 awalnya memiliki ruang untuk komunitas sepatu, pakaian, tato, dan lapak thrifting. Mereka yang berjualan di sana otomatis menjadi pelanggan setia UD Mitra. Tak hanya sekadar pelanggan setia, interaksi antara pegawai, barista dan pelanggan setia sudah seperti keluarga.

Masing-masing anggota komunitas yang hampir setiap hari nongkrong di UD Mitra akhirnya mendatangkan para pelanggan baru. Tentu saja, para pelanggan baru ini masih memiliki hobi yang sama di bidang fesyen atau gaya hidup. Mereka pun punya corak style yang sama-sama unik. 

“Dan memang komunitas yang dekat dengan kami itu koleksi sepatunya sudah yang harganya tinggi. Mereka juga lebih update soal fesyen item terbaru. Jadi mayoritas dari mereka pun memang punya style yang bermacam-macam dan berganti-ganti,” kata Yudha. 

Lambat laun, para pengunjung baru dan barista yang bekerja di UD Mitra pun mengikuti selera style para pengunjung setia UD Mitra. Murni karena terinspirasi tanpa ada unsur paksaan. Bukan hanya mengikuti selera style, para pengunjung dan barista juga berbagi pola pikir dan wawasan. 

Obrolan-obrolan seputar bisnis, kehidupan, dan keseharian di antara pelanggan dan barista akhirnya makin mengeratkan rasa kekeluargaan mereka. Hal itu yang membuat UD Mitra terus mendapat pelanggan setia dan pelanggan baru di luar komunitas. Di mana mereka akhirnya juga saling berbagi preferensi style ter-update yang bisa dijajal. 

“Makanya kami secara desain kedai kopi biasa saja kan sebenarnya? Karena memang kami tidak merencanakan buat kedai kopi yang estetis untuk berfoto-foto. UD Mitra bisa tetap bergerak berkat komunitas-komunitas yang secara organik terus mendatangkan regular customer,” kata Yudha. 

Yudha kemudian menunjuk cermin di ujung pintu masuk UD Mitra. Dia mengatakan awalnya cermin itu berfungsi untuk absensi pegawai dan barista. Namun, seiring berjalannya waktu, cermin itu justru menjadi ikon atau semacam monumen untuk berfoto oleh para pelanggan. 

“Itu salah satu contoh di mana pelanggan baru akhirnya mengikuti kebiasaan-kebiasaan di sini. Mulai dari style, kebiasaan, wawasan, pola pikir semua jadi mau tidak mau menyesuaikan. Kami saling berbagi hal positif di sini,” kata Yudha. 

Amati tren fesyen pelanggan yang datang, ciptakan pasar baru

Selain UD Mitra, Lars Flaghsip Seturan jadi salah satu coffee shop yang menurut beberapa narasumber adalah kedai kopi intimidating. Setiap malam, halaman kedai kopi itu dipenuhi pengunjung dengan style mentereng: sepatu Air Jordan, Yeezy, jaket Supreme seharga jutaan rupiah.

“Jujur saya yang founder-nya saja jiper [minder] tiap nongkrong di situ,” kata Gusti Mauludin Hanif, Co Founder Coffee Shop Lars saat saya temui di Lars Headquarter. Kedai kopi Lars sendiri ada dua, Lars Flagship di Seturan dan Lars Headquarter di Condongcatur. 

Lars awalnya didirikan di tengah gang pemukiman warga di Seturan pada 2019. Kemudian mereka pindah lokasi di Condongcatur dengan nama Lars Headquarter. Didirikan di tengah pemukiman warga, desain kedai kopi itu mengusung konsep neighborhood atau kekeluargaan. Di mana kursi-kursi diletakkan saling berdekatan agar pelanggan bisa ngobrol lebih akrab. 

“Awalnya pelanggannya biasa saja nggak mencolok. Lagian mungkin mereka malu juga ya mau tampil mencolok nanti dilihatin warga,” kata Gusti. 

Namun, setelah kasus Covid 19 mereda, Gusti mengamati tren pelanggan yang datang ke kedai kopi mulai bergeser. Mereka tidak terlalu peduli soal produk atau rasa kopi. Mereka cuma butuh ruang untuk berekspresi melalui busana yang kemudian diunggah di media sosial. 

“Bener-bener langsung banyak pelanggan yang modis. Asumsiku, mungkin karena selama pandemi kebutuhan berekspresi itu ketahan, makanya setelah pandemi reda, kebutuhan ruang  buat narsis itu gede banget,” kata Gusti. 

Lar Flagship, memberi ruang bagi pengunjung di coffee shop untuk berekspresi.

Sementara itu, Gusti melihat ruang terbuka di Jogja kurang memadahi untuk menampung kebutuhan tersebut. Menurut dia, sudah tidak ada lagi ruang terbuka yang memfasilitasi anak muda untuk narsis dan mejeng. 

Dia masih ingat pernah ada ruang terbuka di Jalan Solo yang menyediakan arena skateboarding. Akan tetapi tempat itu sudah tutup. Dia mengambil kesimpulan tren kebutuhan ruang untuk anak muda bukan berdasar pada aktivitas fisik atau wisata. 

“Trennya lebih ke nongkrong, ngobrol, mejeng, sama panjat sosial itu juga. Sekarang mereka datang ke coffee shop, itu yang dilihat siapa saja yang datang? Jadi selain mejeng ya ada panjat sosial juga.”

Merespon pergeseran tren pelanggan, Lars mendirikan Lars Flagship di Seturan pada tahun ini. Gusti dan timnya sengaja memilih desain futuristik untuk jadi pembeda desain dengan kedai kopi lainnya.

Gusti mengaku setiap bagian dari bangunan Lars Flagship dibuat untuk memfasilitasi kebutuhan mejeng para pelanggannya. 

Salah satu bagian desain yang ikonik di Lars Flagship, menurut Gusti adalah stainless yang menyelubungi bagian dinding dan atap kedai kopi tersebut. Biasanya para pelanggan mengambil foto pantulan diri mereka di atap stainless tersebut. 

Harga kopi dan makanan di Lars Flagship tentu lebih mahal dibanding Lars Headquarter. Satu gelas kopi bisa didapatkan mulai dari Rp30.000. Menurut dia, pelanggan tidak peduli soal harga segelas kopi yang mahal. Nyatanya kedai kopinya ramai terus. Semua karena mayoritas pelanggan datang untuk membeli spot foto instagramable dan ruang berjejaring menambah eksistensi diri.

“Lars Flagship disetting untuk memenuhi kebutuhan mejeng dan narsis para pelanggan. Yang di Headquarter fungsinya buat kerja saja, kalau yang di Seturan meskipun ada coworking, fungsinya lebih banyak buat nongkrong, mejeng dan narsis,” kata Gusti. 

Desain yang futuristik banyak mengundang pelanggan baru yang memiliki ribuan followers media sosial. Mereka datang mencari pasokan kebutuhan konten di Instagram mereka masing-masing. Dari situ lah Lars Flagship menampilkan regular customer mereka.

“Sekarang kalau mau bisnis kedai kopi naik ya harus menunjukkan siapa saja regular customer kami. Kalau yang datang itu anak-anak yang memang eksis nanti yang lain akan tertarik datang,” kata Gusti. 

Menurut Gusti, geliat local youth dan komunitas juga memegang peranan penting agar bisnis kedai kopi sustain. Buktinya, banyak pelanggan baru yang datang karena beberapa kelompok yang terkenal eksis kerap nongkrong di Lars. 

Selain itu, kedekatan founder dengan beberapa komunitas di Jogja juga turut menyumbang pendapatan suatu kedai kopi. Sebab mereka biasanya mencari ruang untuk ngobrol antar anggotanya.

“Coba bandingkan dengan kedai kopi franchise di JNMBloc, misalnya. Di Jakarta mungkin laku keras, tapi di sini kurang dilirik. Kalah sama kedai kopi lokal. Soalnya mereka tidak punya ruang yang intim buat interaksi pelanggan, owner-nya pun jauh dan tidak berkomunitas juga,” kata Gusti. 

***

Saat sesi akhir wawancara akhir dengan Putri dan Ocha, saya bertanya ke mereka kenapa lebih sering ke  coffe shop daripada ruang terbuka lainnya di Jogja? Padahal kalau ke coffee shop repot bener harus modis, harus stylish. Bukannya malah jadi nggak enjoy?

Cofee shop lebih akrab dan nyaman suasananya buat ngobrol sama temen. Selain itu deket juga dari kampus kami, Kak,” kata Putri. 

Hening sejenak karena masih pada makan waffle, kemudian Putri lanjut cerita. “Kebetulan aku dan Ocha suka ngikutin kontennya beberapa fashion influencer. Biasanya mereka endorse baju lewat TikTok Shop,” lanjut Putri.

“Eh iya, dari situ kami jadi inspired ke style mereka, pengen pakai juga. Lalu pengen foto-foto di kedai kopi keren kayak mereka juga. Kalau aku sukanya ngeliat konten Instagram yurezalina [fashion influencer hijaber],” kata Ocha. 

***

Dari wawancara dengan narasumber, kalau boleh saya simpulkan, Jogja memang kekurangan ruang publik untuk anak-anak mudanya. Coffe shop atau kedai kopi kemudian menjadi pilihan. Entah karena alasan mengerjakan tugas kuliah, bekerja, atau sekadar nongkrong. Nyatanya, coffee shop di Jogja jadi tempat ‘fashion show’ yang bukan hanya setiap minggu, tapi setiap hari, memang butuh nyali masuk ke dalamnya.

Reporter: Salsabilla Annisa Azmi
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA: Kopi Lemah Abang dan Alasannya Tak Mau Pakai Listrik PLN

Exit mobile version