Komandan satpam UGM berbagi cerita kepada Mojok tentang suka dan duka menjaga keamanan kampus. Berawal dari keinginannya untuk pensiun dini sebagai polisi dan kembali ke Yogyakarta, namun nasib membawanya ke ‘kampus biru’. Berikut ini kisahnya.
***
Rabu (24/8/2022) siang, area Grha Sabha Pramana UGM begitu padat. Para orang tua dan kerabat hendak menengok 1.298 mahasiswa yang sedang diwisuda. Di tengah keramaian itu, tampak para pasukan berseragam biru bersiaga. Sebagian dari mereka mengenakan rompi khusus yang bagian belakangnya tertulis PK4L UGM.
Sementara itu, di depan gedung Fakultas Fisipol, salah seorang petugas berseragam biru lainnya mengingatkan wisudawan yang sedang asyik berswafoto. Mereka diminta untuk segera mengikuti acara seremonial di gedung fakultas yang dihelat pukul 13.00. Wisuda, bagi anggota unit Pusat Keamanan dan Keselamatan Kesehatan Kerja dan Lingkungan (PK4L) UGM adalah momen krusial.
Sore harinya, usai hiruk pikuk acara wisuda, saya berjumpa dengan Arif Nurcahyo (57). Ia adalah sosok pemimpin ratusan petugas berseragam biru penjaga keamanan UGM. Pria yang akrab disapa Yoyok ini berujar kalau wisuda adalah momen puncak kegembiraan mahasiswa. Jangan sampai para anggotanya ketika mengamankan dan menjaga ketertiban, merusak kebahagiaan itu.
“Kita paham ketika keamanan dan keselamatan jadi prioritas, maka kenyamanan kadang terganggu. Kita perlu menemukan titik tengahnya,” ucapnya tegas.
“Harus tetep mesem tanpa hilang kewaspadaan,” imbuhnya dengan tawa lepas.
Memang, dari cara bicaranya, lelaki berkacamata ini terlihat sebagai sosok yang ramah dan penuh gurau. Namun di balik itu, ia merupakan perwira menengah polisi berpangkat Komisaris Besar (Kombes). Sore itu, kami berbincang di Kopi Lembah yang letaknya di sebelah Taman Kearifan UGM. Dua cangkir kopi arabika gayo dipesan Yoyok untuk menemani perbincangan kami sore itu.
Yoyok resmi dilantik sebagai kepala PK4L UGM sejak 28 September 2017. Sudah lima tahun berjalan. Namun kedekatannya dengan kampus ini sudah terjalin jauh sebelum ia menjadi komandan satpam UGM.
Lelaki yang lahir dan tumbuh besar di Keparakan, Mergangsan, Yogyakarta ini pernah mengenyam studi di Fakultas Psikologi UGM. Masuk tahun 1983. Saat ditanya tahun lulus ia terbata-bata, sedikit bingung dan lupa, antara sembilan atau sepuluh tahun masa studi. Saat di kampus, ia aktif menjadi anggota Teater Gadjah Mada dan UKM beladiri Judo. Sebagai mantan anggota teater, ia pun mengaku sedih ketika Gelanggang UGM dirobohkan.
“Saya ini kan mantan sini, mantan anak Gelanggang. Saat Gelanggang dirobohkan itu ya saya ada kritik juga, tapi lak ra kepenak dengan orang-orang di ‘atas’,” celetuknya sambil meringis.
Masuk Polisi
Yoyok mengambil beasiswa Hankam saat masih duduk di bangku kuliah. Lewat jalur ini ia mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pendidikan militer. Kemudian terpilih menjadi anggota kepolisian sebelum kuliahnya selesai. Dulu, institusi kepolisian masih digabung dengan ABRI. Yoyok mulai aktif di militer sejak 1988 dan baru benar-benar lulus dari kampus tahun 1992.
“Dulu selesai pendidikan ya dimasukkan ke kampus lagi. Dibenturkan dengan teman lah kalau boleh dibilang kasarannya,” kenangnya.
Masa-masa itu, kampus memang kerap disusupi militer. Situasi politik sedang tegang menuju akhir masa orde baru. Namun bagi Yoyok, ia punya alasan sederhana yakni mencari uang saku untuk penghidupannya sehari-hari.
Satu hal yang ia syukuri dari keikutsertaannya dengan ABRI, yakni bisa lulus dari studi. Saat itu ia mengaku sudah tidak mempan diingatkan orang tuanya agar segera lulus. Namun ketika disentil oleh Polisi Militer, ia baru gentar.
“Ternyata itu hikmahnya,” ujarnya tertawa.
Di kepolisian ia terakhir berdinas sebagai petugas asesor utama Mabes Polri. Karirnya di kepolisian memang banyak berkecimpung di ranah sumber daya manusia termasuk rekrutmen anggota. Sesuai latar belakangnya yang lulusan psikologi.
Lelaki ini punya jiwa yang sedikit pemberontak. Sebagai bagian rekrutmen anggota, ia mengurus seleksi calon-calon prajurit kepolisian. Banyak hal yang menurutnya kurang sesuai dengan idealismenya dan membuatnya kurang betah di sana.
“Yo ngerti dewe lah. Itu zaman dulu. Mungkin sekarang beda,” ucapnya.
Ia mengaku sepanjang karirnya di kepolisian pernah empat kali mengajukan pengunduran diri. Hal itu pertama terjadi di tahun 1995. Saat karirnya di kepolisian belum lama-lama amat.
“Rasanya, ini seperti bukan dunia saya,” celetuknya.
Namun, ia selalu terkendala saat hendak mengundurkan diri. Lantas ia berpikir bahwa langkah terbaik yang bisa ia lakukan adalah menemukan hal menyenangkan yang bisa ia jalani sebagai anggota polisi.
Mulai dari mengajar hingga terlibat dalam unit psikologi forensik. Di sana, ia menemukan tantangan saat bisa terlibat kasus-kasus pembunuhan berantai yang menggegerkan. Ia banyak bercerita, mulai dari kasus Babe hingga Ryan Jombang.
Turut ambil bagian dalam mengurai teka-teki kasus pembunuhan besar membuat rasa tidak betahnya terlupakan. Namun akhirnya, keinginan itu muncul kembali. Dan ia rasa sudah saatnya benar-benar mengupayakan keluar.
“Jadi, mencoba mengundurkan diri dan pensiun dini itu tahun 1995, 1998, 2000, dan puncaknya di tahun 2016,” ujarnya.
Mencalonkan diri jadi Walikota dan kembali ke UGM
Yoyok memutar otak agar bisa mengundurkan diri dari polisi dengan mulus. Cara yang ia pilih cukup mengejutkan yakni dengan mencalonkan diri sebagai calon Walikota Yogyakarta tahun 2017 melalui jalur independen.
“Saya melihat itu (pilwalkot) sebagai peluang. Pindah ke Jogja dan ora digondeli maneh,” katanya.
Yoyok kala itu menggandeng Aki Adhisakti, seorang arsitek sebagai calon wakilnya. Mereka berdua bergerak untuk mengumpulkan KTP sebagai syarat pencalonan. Yoyok berdalih bahwa pencalonannya memang tidak diniati secara serius. Baginya, itu hanya upaya senang-senang bersama sejumlah budayawan Jogja. Selain itu, juga sebagai pembelajaran politik.
Awalnya ia mengira dengan mencalonkan diri sebagai walikota bisa membuatnya pensiun dini dari kepolisian. Namun ternyata tidak demikian lantaran ia maju secara independen bukan lewat partai politik.
Saat sudah berhasil mengumpulkan sekitar 2000 KTP, tiba-tiba kabar duka datang. Aki, calon wakilnya meninggal dunia. Namun hal itu tak membuat Yoyok mundur dari pencalonan. Meski pada akhirnya ia gagal dalam memenuhi syarat dan tak bisa berlaga di Pilwalkot.
Dua pasangan yang saat itu lolos adalah Haryadi Suyuti-Heroe Purwadi dan Imam Priyono-Achmad Fadhli. Seperti yang kita ketahui, Haryadi akhirnya terpilih. Meski ia berakhir di tangan KPK karena kasus suap pembangunan apartemen.
Setelah gagal menjadikan politik sebagai batu loncatan untuk pensiun, peluang lain datang menghampiri. UGM membuka rekrutmen sebagai Kepala PK4L. Hal ini disambutnya dengan semangat. Ini bukan hanya pulang ke Jogja sebagai rumahnya. Namun juga kembali ke UGM, almamater kebanggaannya.
Yoyok mengikuti beragam tahapan. Ia akhirnya terpilih menduduki posisi komandan satpam UGM. Meski begitu, ada satu hal yang tak sesuai harapannya.
“Statusnya enggak pensiun dini, jadi eksprimen lagi. Saya diposisikan jadi Bhabinkamtibmas. Biasane masuk desa, lha ini malah mlebu kampus,” ujarnya sambil geleng-geleng kepala.
Kini pangkat Kombes masih melekat pada dirinya. Meskipun ia mengaku tak pernah menggunakannya dalam bertugas. Di UGM, ia lepas segala atribut dan kepangkatan Polri. Menjadi komandan satpam UGM sepenuhnya.
Urusan gaji, ia juga mengaku masih mendapat gaji pokok dari kepolisian. Namun untuk tunjangan jabatan didapatnya dari UGM. Begitulah kisah panjang Yoyok dari Mabes Polri hingga menjadi komandan Satpam UGM.
Bangga dengan profesi
Tak terasa senja beralih petang. Sudut-sudut Kopi Lembah masih ramai oleh hiruk pikuk mahasiswa. Perbincangan kami pun belum usai. Yoyok kembali menyalakan sebatang rokok yang ia hisap lewat pipa yang ia pegang dengan nyaman.
“Saya kan dulu jadi mahasiswa sini, sekarang jadi komandan satpam,” ucapnya tak mengira nasib akan membawanya kembali ke almamater dengan status ini.
Kami mulai banyak membicarakan suka duka yang dialami sebagai komandan satpam. Awal bertugas, ia melakukan reassessment dan beragam penyesuaian. Namun satu hal yang ingin ia bangun di timnya, yakni kebanggaan dalam bekerja.
“Kalau kita ngomong profesi ini, menurut saya nggak ada orang bercita-cita jadi satpam. Kebanyakan ya asalnya orang gagal jadi polisi, tentara, atau pengangguran,” ucapnya.
Tapi ia menekankan bahwa ini pekerjaan yang penting dan mulia. Menjaga keselamatan aset negara. Dan banyak orang-orang yang kelak akan jadi tokoh berpengaruh lahir dari sini.
“Saya bilang ke mereka, ‘kalian ini lulus SMA sudah bisa jadi satpam. Lha saya kudu kuliah dulu, lalu jadi polisi puluhan tahun, baru jadi satpam’,” ujarnya terbahak.
“Semboyan ‘mengakar kuat menjulang tinggi’ kalau di konteks kampus ini ya akarnya para satpam. Kerjaannya nggak selalu terlihat,” ucapnya.
Di tengah perbincangan kami, dua satpam berboncengan menggunakan motor bebek melintas dan mengitari parkiran. Ya, salah satu tugas pentingnya adalah melakukan patroli kunci. Untuk mengamankan kunci-kunci motor yang ketinggalan agar tak terjadi tindak curanmor.
Kepercayaan diri para satpam juga berpengaruh pada jumlah para personil yang menguliahkan anaknya di sini. Yoyok mengajak pasukannya agar jangan ragu, jangan minder, anak mereka layak mendapatkan pendidikan terbaik.
“Saya berani merekomendasi anak satpam. Anak-anakmu silahkan mendaftar. Asal fakultase jelas lan anakmu gelem sregep sinau, minimal jalur mandiri lah bisa diusahakan,” terangnya.
Ketika ada anak satpam yang diwisuda, ia meminta pada teman-teman wartawan untuk mem-blow up. Bahwa benar, sudah jadi hal yang lumrah jika anak siapa saja bisa berkuliah. Namun lebih dari itu, kepercayaan diri dan nyali para jajaran PK4L itu yang ingin Yoyok bangun.
“Senang kalau lihat ada mahasiswa yang nyamperin bapaknya yang jadi satpam minta sangu,” tuturnya.
Dinamika penjaga keamanan kampus
Hari ini jadi hari yang padat bagi Yoyok dan segenap petugas PK4L. Seperti yang diceritakan sebelumnya, di balik bahagianya mahasiswa di hari wisuda, selalu ada lelah para satpam yang menjaga keamanan dan ketertiban.
Saat momen wisuda, setiap fakultas punya tradisi dan perayaan yang berbeda-beda. Beberapa fakultas, terkenal punya seremonial yang meriah. Yoyok mengaku, kadang ada mahasiswa yang ingin mengapling area strategis tertentu untuk perayaan fakultasnya sendiri.
“Saya bicarakan dengan koordinator mahasiswa fakultas tertentu. Saya nggak bisa mengizinkan hanya mengaplingkan pada fakultas tertentu,” ucapnya.
“Terpenting, jangan larang terlalu keras, komunikasi jadi kunci. Biar cair dan hemat tenaga,” imbuhnya.
Selain wisuda, acara semacam Pekan Olahraga dan Seni Gadjah Mada (Porsenigama) juga kerap ia soroti. Lantaran rawan konflik akibat adu gengsi antar-fakultas.
Menghadapi momen semacam itu, Yoyok yang lulusan psikologi ditambah pengalaman dinas di kepolisian, sudah paham psikologi massa dan bagaimana mengondisikannya. Buatnya yang jadi kunci adalah pendekatan personal. Jangan sampai melakukan tindakan yang memunculkan sentimen kolektif.
“Kalau ada crowd, usahakan jangan sebut ‘Hei kamu’ atau ‘Dasar mahasiswa!’,” jelasnya.
Yoyok paham bahwa dalam sekumpulan massa, identitas pribadi larut. Potensi melakukan tindakan irasional bahkan destruktif kerap muncul. Sehingga perlu menghindari penggunaan sebutan yang menyulut respons kelompok.
Menurutnya, gontok-gontokan dalam batas tertentu memang wajar dilakukan. Buat seru-seruan, katanya. Sesekali ada pentolan mahasiswa yang izin kalau acaranya bakal ada ‘dorong-dorongan’. Hal itu ia maklumi, asal bisa dikondisikan dan tahu waktu.
“Sing penting maghrib bubar,” ujarnya tertawa.
Selain acara-acara universitas, momen yang butuh perhatian ekstra tentu saat ada demonstrasi. Yoyok punya prinsip, demonstrasi adalah cara mahasiswa mencintai kampus dan negaranya.
“Prinsipnya kalian jaga ketertiban. Kami (satpam) di sini bantu jaga kalian,” ucap Yoyok.
Ketika demo di ranah universitas, Yoyok mengaku beberapa kali menemui pimpinan. Ia menyarankan pada pemangku kebijakan universitas untuk menemui anak-anaknya. Selama bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan mahasiswa. Ia berani menjamin risiko keamanan jajaran pimpinan saat menemui demonstran.
“Kalau risiko malu, itu beda lagi. Saya nggak bisa bantu,” celetuknya.
Prinsipnya ia berada di tengah. Membantu memberikan pemahaman pada orang tua yakni pemangku kebijakan universitas sekaligus pada teman-teman mahasiswa.
Selain demonstrasi di kampus, momen paling berat sekaligus berkesan yang dialami Yoyok dan unit PK4L adalah saat terjadi protes UU Cipta Kerja tahun 2020. Kala itu mahasiswa UGM tergabung dengan ribuan massa dari berbagai perguruan tinggi yang berdemonstrasi di depan gedung DPRD DIY.
“Bagi saya keren karena waktu itu saya hampir mengeluarkan semua armada PK4L. Menemani Pak Ditmawa yang juga ikut mengawal mahasiswa UGM. Kami juga backup pakai ambulans,”kenangnya.
Satpam universitas memang punya peran yang cukup kompleks. Di ‘kampus biru’ ini, para satpam mengamankan tiga wilayah utama yakni barat, timur, dan unit Jagawana. Wilayah barat dan timur punya tantangan urusan berhadapan dengan mahasiswa.
Lain lagi untuk unit Jagawana yang meliputi kawasan hutan yang dikelola UGM. Terbesar yakni Hutan Wanagama yang terletak di Gunungkidul. Kawasan tersebut biasa digunakan oleh para mahasiswa dari Fakultas Kehutanan. Setiap pekan, ada tiga sampai empat personil PK4L yang ditugaskan menjaga area tersebut. Di sana tentu mereka menghadapi tantangan yang berbeda.
Yoyok ingat, suatu hari, ia bersama personil PK4L sedang menjalani pelatihan bersama korps marinir TNI di Wanagama selama beberapa hari. Untuk menghormati para instruktur pelatih, petugas PK4L mempersilahkan mereka istirahat di wisma pada malam hari.
“Kami tidur di luar saja lah. Di lapangan pakai tenda,” ujarnya.
Namun di tengah malam, tiba-tiba para marinir keluar dari wisma dan bergabung dengan Yoyok di lapangan. Sontak, Yoyok menanyakan apa yang terjadi. Awalnya mereka bilang tidak ada apa-apa, hanya ingin bergabung saja.
“Sekarang yang jelas aja, ada apa sebenarnya?” ucap Yoyok menirukan pertanyaan tegasnya pada para pelatih.
“Lha pie lagi arep mapan turu malah ono sek metu seko tembok,” tutur Yoyok dengan tertawa. Menirukan penjelasan dari para marinir.
Kisah-kisah mistis juga turut mewarnai pekerjaan para penjaga keamanan wilayah kampus ini. Namun baginya ini sudah jadi hal yang lumrah dialami. Malahan menurutnya, para satpam malu kalau kelihatan takut.
Gelap sudah menyelimuti area Taman Kearifan tempat kami berbincang. Yoyok sebenarnya masih punya banyak hal untuk diceritakan. Tapi ada urusan lain yang harus dituntaskan. Sebelum menyudahi obrolan dan berpisah, saya menanyakan satu hal.
“Lebih nyaman saat jadi polisi atau jadi satpam?”
“Jelas. Nyaman jadi satpam sekarang,” ujar Yoyok tanpa ragu.
Reporter: Hammam Izzudin
Editor: Purnawan Setyo Adi