Sore menjelang Magrib saya bersiap di tempat yang sudah ditentukan. Setelah lebih satu pekan membuat janji, akhirnya saya bisa berjumpa dengan Pak Yos, sebut saja demikian. Sopir ambulan sebuah rumah sakit di Surabaya.
“Mas, namaku tolong disamarkan ya, saya takut kalau ada apa-apa Mas,” ujar Pak Yos sambil memperbaiki rambutnya yang masih basah setelah mandi. Sore ini harusnya Pak Yos pulang jam 2 siang, tetapi karena pasien membludak dan tenaga sopir minim, Pak Yos harus rela bertugas lagi di luar jam kerjanya.
“Pokoke ojo nemen-nemen yo rek, kene isih dadi keset, iki kate munggah sitik, mengko malah ra karu-karuan (jangan keterlaluan ya Mas, saya masih bawahan, ini mau naik pangkat, takut ada apa-apa Mas),” ujar Pak Yos sekali lagi mengingatkan. “Aman Pak, bismillah,” saya kembali meyakinkan.
Tugas sopir pasien Covid-19
“Semua bentuk antar jemput ya Pak?” Saya masih menerka-nerka. Setahu saya sopir ambulan itu tanggung jawabnya cuma mengantar pasien, kedua mengantar jenazah.
“Iya semua Mas, mulai dari antar jemput sampel PCR, mengantar pasien, mengantar jenazah, ya pokoknya semuanya Mas. Seperti yang di Bangkalan kemarin, saya ngetem di Suramadu sana Mas. Setelah sampel selesai diambil, baru saya mengantarkannya ke tempat pemeriksaan sampel.”
Tugas Pak Yos bukan hanya mengantar pasien positif Covid-19 dari dan ke rumah sakit saja. “Ya macem-macem Mas, biasanya mengantar dari ruang isolasi satu ke yang lain, bisa juga mengantar pasien dari sini ke rumah untuk isolasi mandiri. Untuk pengantaran antar ruangan Mas, di sini ada ruang yang untuk pasien gejala ringan, ada juga ruang untuk pasien yang gejalanya berat. Semua pengantaran sesuai dengan instruksi dokternya Mas, saya ikut saja,” paparnya.
Pak Yos mengatakan kalau semisal ada pasien yang kondisinya bagus dan dirasa dokternya tidak perlu isolasi. Maka ia atau teman-temannya mengantarkan pasiennya pulang. “Walaupun swabnya masih positif. Soalnya di sini ruangnya terbatas Mas, diprioritaskan bagi yang punya gejala saja. Apalagi akhir-akhir ini pasien terus membludak,” katanya.
“Antar jemput kemanapun, harus naik ini Pak?” Saya menunjuk ambulan yang terparkir di sebelah saya.
“Iya Mas, harus. Kita mencegah supaya mereka tidak bertemu siapapun, atau malah mampir kiri kanan di perjalanan buat beli jajan.”
Alat pelindung diri dan kecukupan jumlah personil
Pak Yos mengatakan, selama bertugas, pakaian sehari-harinya sesuai dengan prosedur. “Lengkap Mas, baju astronot, handscoon, masker N95 didobeli masker biasa, sama pakai face shield. Kalau nggak lengkap saya nggak berani Mas. Walaupun ketika pakai semua peralatan itu panas, demi keselamatan diri saya harus patuh Mas. Habis bertugas saya mandi keramas Mas, lha habis ini kumpul sama anak istri lagi, kok,” Pak Yos mengatakannya dengan yakin, agaknya beliau juga khawatir dengan keselamatan anak istrinya.
“Pak, dengan jumlah pasien yang naik, jumlah sopir juga naik nggak?” Saya bertanya sambil berkaca tentang kondisi Covid di di Indonesia yang akhir-akhir ini meningkat tajam.
“Jumlahnya tetap Mas, seperti pada awal perekrutan relawan dulu. Tetapi semakin ke sini, senior-senior supir juga diperbantukan. Lha pasien sama jenazah tambah banyak lo Mas. Apalagi masa sekarang ini, medeni pokoke Mas,” Pak Yos menutup kalimatnya sembari melihat kiri kanan, memastikan tidak ada temannya yang ada di sekitar. Agaknya beliau kurang nyaman kalau kami membicarakan tentang sopir lain.
Pak Yos, ini setahu saya dulunya penjual buah, tiba-tiba saya dapat kabar dari salah satu teman kalau sekarang Pak Yos sudah jadi sopir di rumah sakit.
“Krungu ko arek-arek wae Mas (denger-denger dari teman saja Mas), katanya disini butuh tenaga, ya udah saya berangkat melamar. Lha nggak ada pekerjaan lo Mas, mau gimana lagi. Kemarin jualan, makin kesini makin sepi, anak istri juga terus butuh biaya Mas. Untung ada lowongan ini.”
Dari sisi pendapatan, Pak Yos mengatakan gajinya standar gaji relawan. “Sudah tidak berharap banyak, pokoknya insyaallah cukup buat hari-hari Mas. Daripada jadi penjual Mas,” Pak Yos mengatakan kalimat tersebut sambil tertawa lepas, agaknya ekonomi keluarganya betul-betul tertolong dengan pekerjaan ini.
Sesuai dengan standar jam kerja, harusnya ia bekerja dari pukul 7 pagi hingga pukul 2 siang. “Tapi ya namanya supir ya Mas, sering banget kelewat batas, ya kayak hari ini lo Mas, saya tadi selesai tugas, rencananya menghubungi sampean, lha kok ada tugas lagi, ya sudah saya mengantarkan lagi Mas, yang penting sampai.”
Pak Yos bukan hanya mengantarkan pasien positif Covid di lingkungan Surabaya saja tapi juga antar kota antar provinsi.
“Biasanya ya deket-deket Surabaya sini Mas, kadang juga ke Gresik, Bangkalan, Sidoarjo. Kalau yang paling jauh, saya pernah ke Blora Mas.”
Selama ini saya mengira kalau para supir Covid ini cuma bertugas di wilayah Surabaya dan sekitarnya saja, ternyata juga ada yang sampai Jawa Tengah sana. Pak Yos juga tahu, makam-makam yang digunakan untuk jenazah yang dinyatakan positif Covid-19.
“Kalau KTP Surabaya, jenazah bakal dimakamkan di Keputih sama Babat Jerawat Mas. Nah, kalau KTP dari kota lain, ya sesuai daerahnya masing-masing. Pemakaman umum juga bisa Mas, tergantung dinkesnya,” ujar Pak Yos.
Lolos dari amukan warga
Ada beberapa kejadian, tenaga kesehatan maupun sopir ambulan harus menghadapi kemarahan pasien maupun keluarganya.
“Kalau diserang pasien sih enggak Mas, tetapi kalau waktu mengirimkan jenazah, pernah ada kejadian yang hampir mau dibacok, disabet celurit, wes pokoke serem Mas.”
Saya mendekat untuk mendengar cerita Pak Yos. “ukan Madura Mas, ini di daerah Mojokerto sana. Saya lupa lokasi pastinya.”
Saat itu, ambulan yang ia bawa sudah tiba di pemakaman. Rupanya keluarga jenazah yang ia bawa tidak terima anggota keluarga mereka disebut kena Covid. Waktu Pak Yos mau menurunkan jenazah, masyarakat sana sudah siap-siap mengeroyoknya. Ia bingung sekaligus takut. Ia kemudian mengajak ngobrol orang yang pegang clurit.
“Tapi ajakan saya gagal Mas, situasi makin memanas, sambil kepepet saya bilang gini ke mereka. Mas-mas sekalian, saya bukan dokter, saya bukan perawat, saya cuma sopir, yang saya pegang cuma benda bundar. Masalah ini keluarga sampean atau ibu sampean sakit lalu tiba-tiba di-Covid-kan, saya tidak paham. Yang penting jenazah ini saya kirim ke lokasi. Masalah sampean ngamuk-ngamuk ke saya, ya salah to Mas. Saya ini sama kayak orang ngirim paket Mas. Paketnya model seperti apa ya saya tidak tahu dalamnya, yang penting ini ada alamat yang dituju.”
Sehabis ngomong begitu, warga yang datang justru makin menjadi-jadi. Mereka ambil ancang-ancang mau mukulin Pak Yos dan rekannya. “Beberapa ada yang teriak gini: ‘Jancok, rumah sakit bangsat.’ Habis itu, saya lari Mas, untung ada polisi. Wes Mas pokoknya serem. Clurit itu tinggal dikit lagi Mas nebas saya,” Pak Yos menceritakan kejadian tersebut dengan raut muka sebal.
Gara-gara kejadian itu. Pak Yos punya SOP yang mereka buat sendiri demi keselamatan mereka.
“Kita sekarang berpikir keras bagaimana bisa aman. Kemarin di Madura, saya dan satu teman bekerja sama Mas. Saya yang menarik peti dari mobil untuk diturunkan, teman saya siap-siap ngegas mobil. Ketika peti sudah turun, saya ngomong ke keluarganya: ‘Monggo Pak Matur nuwun nggih, ini sudah kami turunkan.’ Ngenggg…, kita lari Mas,” katanya terkekeh.
Cerita tadi agaknya mematahkan apa yang selama ini saya yakini terkait pemulangan jenazah. Selama ini saya pikir penanganan jenazah yang terkena Covid-19 sangat ketat.
“Gini Mas, dulu awal-awal Covid memang kaku sekali. Peti tidak boleh dibuka, pokoknya tidak boleh diapa-apain. Pada waktu itu juga ada teman-teman saya yang sampai disekap,” Pak Yos meneruskan.
Bukan hanya disekap, temannya itu APD-nya dicopot, HP diambil. “Sudah, pokoknya disekap Mas, mobil ambulannya juga. Makanya sekarang lebih fleksibel, jenazahnya minta dibawa kemana, misal di rumah, di masjid, monggo kita ikut. Tapi setelah itu dicul Mas, yang penting kita mengantar di tempat, setelah itu kita harus kembali.”
Hal itu dilakukan untuk juga untuk keselamatan sopir ambulan maupun tenaga kesehatan yang langsung bertemu dengan warga atau keluarga pasien korban Covid-19.
“Entah nanti dibongkar, entah nanti di mandiin, entah nanti dikecup atau apa, silahkan. Yang penting kita sudah laporan ke gugus tugas sana dengan format nama ini, alamat ini, monggo supaya dilihat ini warganya. Sekarang mainnya gitu Mas, kalau nggak gitu, kita malah tabrakan sama warga, bisa dibacok kita Mas. Tapi kebanyakan banyak yang patuh kok Mas, yang kayak gitu cuma beberapa saja. Heran saya, yang sedikit ini bisa bikin kami semua gemeteran betul.”
Pak Yos bercerita sambil memasang muka yang menyala-nyala. Pengalaman kemarin agaknya betul-betul membuatnya ketakutan sekaligus jengkel.
“Beberapa minggu lalu Mas, saya mengantar jenazah ke kampung. Heran saya Mas, orang-orang di sana langsung mendelik, begini katanya: ‘Sudah, kita kubur saja jenazah sekalian supir sama ambulannya.’ Jancok, aku misuh sak misuhku dalam hati Mas. Lha, nggak bisa keluar di mulut.”
Jika kondisi seperti itu, Pak Yos mengatakan, polisipun juga nggak bisa menjamin kita selamat. Warga yang datang banyak. Jika situasi memanas, bisa fatal karena orang-orang yang datang itu kadang bawa parang, juga cangkul.
“Berhubung ada potensi bentrokan dengan warga, ya sudah kita turunkan jenazahnya Mas. Nggak lama, ada warga yang bawa linggis besar Mas, dicongkel petinya. Aku sama temanku lari Mas. Kita serahkan ke dinkes sama polisi. Kita bilang begini: ‘Sudah Pak, tugas kami sudah selesai, mohon Pak warganya dikondisikan. Kalau ada video-video nyeleneh yang keluar, bukan cuma saya yang kena. Sampean juga kena.’ Kembali lagi Mas, perkara dibuka, dimandikan, dikecup, ya sudah yang penting kita sudah mengantarkan.”
Padahal menurut Pak Yos, penanganan jenazah yang terinfeksi Covid-19 sudah dilakukan sesuai prosedur. Untuk perkara mengkafani, dari rumah sakit itu sudah sesuai syariat, yang laki-laki 3 lembar, yang perempuan 5 lembar. Meski jadi sopir ambulan, dia tahu prosedur jenazah atau pasien yang kena Covid-19.
“Pokoknya sudah sesuai. Tapi memang harus di dalam peti, supaya tidak infeksius ke orang lain,” ujar Pak Yos sambil menunjukan jarinya, tanda beliau sedang menghitung beda lembar kain kafan tadi.
Kurangnya edukasi publik
“Oiya Mas, barusan ada cerita dari teman. Ada pasien jatuh kakinya sobek, lalu diantar ke rumah sakit. Lha sampai rumah sakit daerah sana, katanya pasien itu kena Covid, dirujuklah sampai kemari. Ketika teman saya mengantar jenazah pasien tadi, mereka menuduh kita sudah meng-Covid-kan Mas. Gimana? Pusing nggak?
Menurut Pak Yos, pola pikir masyarakat tentang covid itu beda-beda. Saya melihat pemahaman masyarakat sangat kurang. Misalnya dari cari cerita tadi, pasiennya kondisi drop lalu covid masuk waktu dia dibawa ke rumah sakit. “Atau misal sebelumnya sudah ada infeksi lalu kesadaran turun dan jatuh, ini juga bisa. Ya yang pasti kita sama-sama tidak tahu Mas,” katanya.
“Orang-orang itu bukannya nggak percaya adanya Covid, mereka tahu kalau Covid itu ada, tetapi mereka masih banyak yang kurang paham bagaimana Covid itu bisa menular. Beberapa tidak tahu dan apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan kalau berurusan dengan Covid,” Pak Yos meneruskan wejangannya.
“Coba Mas, kemarin saya lewat di salah satu daerah. Ketika kita lewat Mas, masyarakat langsung tutup hidung, mendelik ke kita Mas. Terus mereka misuh, ‘Jancok ini Covid, jancok.’ Piye, opo ra bingung?”
“Rasanya Mas, pemerintah masih kurang menyampaikan edukasi ke Masyarakat, kalaupun ada, itu semua masih kurang Mas, kurang menusuk sampai bawah. Lha harusnya dokter-dokter kayak sampean ini yang harus bilang ke mereka juga Mas,” katanya memandang saya.
Kali itu saya mengangguk sambil mbatin. “Saya juga takut sama mereka kok Pak. Masa tweet-tweet saya selama ini masih kurang?”
Pak Yos berucap kembali, “Yang menengah ke atas sudah banyak yang paham Mas, tapi menengah ke bawah yang tidak punya HP. Mereka yang buat makan saja susah, wajar Mas tidak percaya. Kecuali ada tetangga atau kerabat mereka yang kena. Selebihnya? Ya wajar kalau nggak percaya Mas.”
“Jujur sampean sudah pernah kenek Covid ta Pak?”
“Belum Mas, amit-amit nggak usah kena. Kata anak-anak, kalau sampai kena, badan sakit semua Mas, batuk, pilek demam, pokoke nggak sama kayak sakit-sakit yang lain. Ini Mas, biasanya gara-gara imunnya turun, lagi capek-capeknya, tidur nggak teratur. Wes itu pintu gerbangnya Mas,” kata Pak Yos.
“Takut kena Covid nggak Pak? Kalau kena gimana?”
“Ya nggak boleh. Pokoknya ya harus aman. Ibarat kita mainan api, supaya nggak kena api gimana? Ya nggak usah mainan api. Tapi sayang saya sudah mainan api. Ya sudah berhati-hati terus pokoknya Mas.”
***
Mengelus dada, karena pasien tidak ada yang menemani
Di Yogyakarta, Mojok menghubungi Eko Sumardianto (37), Koordinator Ambulan Muhammadiyah (AmbulanMu) Sleman. Pengalaman menjadi relawan sopir ambulan mungkin tidak sengeri Pak Yos. Namun, akhir-akhir ini memang cukup menguras pikiran dan tenaga.
“Rata-rata rumah sakit penuh, kami muter-muter bawa pasien berkali-kali ditolak,” kata Eko saat dihubungi Mojok, Senin (12/7). Kondisi tersebut cukup menguras tenaga karena kalaupun dapat rumah sakit yang masih bisa menerima pasien, harus menunggu antrean cukup lama.
“Ketika kami menjemput pasien, keluarga bilang kalau bed di rumah sakit ini masih ada, tapi ketika kami ke sana udah penuh,” kata Eko. Sambil menunggu antrian, pasien diperiksa, saat ini karena minimnya jumlah tempat untuk pasien, hanya yang saturasi oksigennya 60 persen ke bawah yang diterima.
Kalau begitu, maka ia akan mengantarkan kembali pasien tersebut pulang untuk isoman.
Selain itu yang cukup menguras pikiran dan sisi emosi adalah pengurusan administrasi. Selain sebagai sopir ambulan, setiap ada pasien Covid-19 yang dibawa rata-rata mereka juga yang membantu mengurus administrasi di rumah sakit.
“Tidak ada keluarga yang menemani pasien, kasihan, kami cuma bisa ngelus dodo, seolah-olah nggak ada keluarga yang peduli. Jadi kami yang mengurus administrasi pendaftaran,” kata Eko.
Kadang juga karena tempat tidur di rumah sakit penuh, mereka meminjamkan bed di ambulan ke pasien. AmbulanMu di Kabupaten Sleman tersebar di beberapa kecamatan. Eko sendiri bertugas di wilayah Kecamatan Sleman. Ada dua ambulan yang stand by membantu masyarakat.
“Saya seringnya dapat piket malam. Untungnya sekarang masyarakat nggak seperti dulu, sekarang lebih bisa menerima kalau ada ambulan masuk ke kampung bawa jenazah atau pasien,” kata ayah dua anak kembar berusia 11 tahun ini. Dulu masih ada kesan takut sehingga kadang sopir ambulan jadi sasaran kemarahan.
BACA JUGA Donasi Peti Mati yang Dibuat Relawan dengan Berat Hati dan liputan menarik lainnya di Mojok.