Mahasiswa UNY melakukan pekerjaan sebagai buzzer politik di Pemilu 2024 ini. Mereka digerakkan oleh organisasi ekstra kampus alias ormek. Bayaran yang mereka dapatkan sebagai buzzer beragam, mulai dari ratusan ribu hingga puluhan juta.
Kemal* (20) menunjukkan hasil tangkapan layar uang yang dia kumpulkan seminggu terkahir ini. Terlihat angka Rp100 ribu masuk ke rekening e-wallet-nya. “Lumayan bisa buat jajan sama ngopi,” kata Kemal kepada saya, Selasa (6/2/2024).
Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) ini mendapatkan uang tersebut dari kerja sebagai pendengung alias buzzer politik. Kemal tidak memperkenankan Mojok untuk menuliskan kepada siapa dia bekerja. Ia hanya mengatakan sudah sejak Desember 2023 lalu dia dan teman-temannya mulai mem-buzzer.
“Total sudah lima kali gajian. Tiap gajian seminggu sekali kira-kira dapatlah seratusan ribu,” ujar mahasiswa UNY ini.
Awal menjadi buzzer karena ajakan senior Ormeknya
Sekitar pertengahan tahun 2023 lalu, salah satu senior Kemal di organisasi ekstra kampus (Ormek) mengiming-iminginya “kerja enak”. Kata Kemal, seniornya bilang kalau dia nanti hanya cukup berkomentar atau membagikan postingan kemudian mendapat bayaran.
Sejak awal Kemal sudah menduga kalau pekerjaan yang seniornya tawarkan tadi sama dengan mem-buzzer.
“Aku ambil saja soalnya toh politisi-politisinya enggak bisa kupilih,” kata mahasiswa asal Jawa Timur ini. Kala itu, seniornya meminta Kemal untuk menjadi buzzer salah satu caleg DPRD DIY untuk Pemilu 2024.
Setelah menerima tawaran seniornya yang juga Mahasiswa UNY tadi, ia lantas masuk ke sebuah grup telegram. Kalau tidak salah hitung, ada 1.300an member di grup tersebut yang siap kerja sebagai buzzer.
“Di grup itu kita akan menerima order dan brief yang harus kita kerjakan,” ujarnya.
Cukup comment, share, dan screenshot, lalu dapat duit
Kemal mengaku sudah aktif bekerja sejak awal Desember 2023. Cara kerja mereka amat sederhana. Di pagi hari, admin grup akan membagikan beberapa tautan postingan politisi di media sosial seperti Instagram dan TikTok.
Selanjutnya, Kemal dan kawan-kawan harus memberi komentar positif pada postingan tersebut. Admin membebaskan isi komentar mereka, katanya, “senatural mungkin dan kalau bisa jangan mirip-mirip”.
“Biar netizen lain enggak curiga kali ya kalau yang comment itu buzzer,” kata Kemal.
Setelah berkomentar, mereka wajib meng-screenshot komentar tersebut sebagai tanda bukti. Sementara bagi yang akun Instagramnya punya pengikut lebih dari seribu, mereka juga wajib membagikannya ke Instastory dan bakal ada bayaran tambahan.
“Kebetulan karena follower-ku lima ribuan, jadi aku wajib share.”
Akun ternak dapat recehan, peternak dapat puluhan juta
Kemal dan ribuan member grup Telegram lain yang membuzzer, mengidentifikasi diri sebagai “ternak”. Sementara senior Kemal di Ormek dan organisator buzzer lainnya adalah peternaknya.
Kata dia, antara ternak dan peternak punya jenis pekerjaan dan bayaran yang beda. Dia sendiri, misalnya, mendapat bayaran Rp3.000 per komentar dan Rp2.000 untuk setiap share postingan.
“Jika sehari saja dapat dua kali order, artinya saya dapat Rp10 ribu, karena ada Rp5 ribu per order yang saya kerjakan,” kata dia.
Sementara itu, senior yang mengajaknya jadi buzzer, punya bayaran yang jauh lebih tinggi. Kata Kemal, selain mengorganisir akun ternak, para peternak juga harus memastikan bahwa pekerjaan ternaknya itu terkoordinasi secara baik. Pendeknya, supaya pesan tersampaikan dengan baik tanpa menimbulkan kecurigaan publik.
“Setahu saya dari yang pernah tak dengar, seniorku itu gajian Rp5 juta tiap bulan. Yang lain ada yang sampai Rp10 juta juga,” jelas Kemal.
Buzzer sudah jadi fenomena lazim tiap tahun politik
Fenomena ternak akun buzzer, seperti yang senior Kemal lakukan, bukanlah hal baru. Bahkan, setiap tahun politik, fenomena ini terus bermunculan sehingga jadi sesuatu yang lazim.
Laporan Christiany Juditha di Jurnal Kominfo (2019), misalnya, menyebutkan kalau awal mula kemunculan ternak buzzer politik terjadi pada Pemilu 2019. Mulanya, buzzer ini mereka pakai sebagai metode pemasaran para politisi untuk berkampanye di media sosial. Buzzer sendiri punya kesan positif pada awalnya.
Sayangnya, makin kesini buzzer lekat dengan kesan negatifnya. Dalam perkembangannya para pendengung ini malah kerap menebar pesan negatif lawan politik, alih-alih berbagi kesan positif politisi yang mereka dukung.
“Sehingga fenomena hoaks, ujaran kebencian, fitnah dan kampanye negatif lainnya tumbuh subur akibat penyebaran pesan-pesan yang dilakukan buzzer,” tulis Juditha, dikutip Selasa (6/2/2024).
Adapun Kemal sendiri mengaku dalam kerja-kerja buzzer yang ia lakukan, sama sekali tak ada intensi untuk menyerang lawan politik. Kata Kemal, fokus pekerjaannya hanya memoles citra positif politisi yang telah membayarnya.
“Tapi kalau selain saya ada grup buzzer lain yang tugasnya jelek-jelekin caleg lain ya saya enggak tahu juga.”
Buzzer politik menyasar Ormawa dan Ormek di kampus-kampus
Selain Kemal, saya juga menemui Dias* (20), teman “seperjuangannya”. Dias merupakan mahasiswa UNY yang juga satu jurusan dan satu Ormek dengan Kemal. Mereka sama-sama berasal dari Jawa Timur. Caleg DPRD DIY yang mereka dengungkan pun juga orang yang sama.
Sama seperti Kemal, Dias menjadi buzzer politik karena diajak salah satu senior di Ormeknya. Kata Dias, yang memang cukup aktif di organisasinya, politisi-politisi ini memang banyak menyasar banyak ormawa dan ormek di kampus-kampus.
“Saya enggak tahu pasti apa alasannya. Tapi dari saya pribadi, saya melihat karena ormawa dan ormek itu taat perintah. Disuruh apa saja mau, apalagi dibayar ‘kan,” kata Dias.
“Lihat saja contohnya sekarang banyak BEM dan himpunan pada endorse paid promote gratisan aja mau kok asal buat proker mereka.”
Dias pun juga mengaku tak keberatan harus mem-buzzer. Katanya, toh, politisi yang dia dengungkan bukan caleg di dapilnya. Itu pun dirinya juga tak menebar pesan negatif ke caleg lain, sehingga ia merasa tak ada “dosa” apapun yang dirinya lakukan.
“Kalau dipikir-pikir kita enggak merugikan siapapun, jadi saya enggak ada dosa apa-apa di sini,” kata dia.
Membuzzer sudah jadi “hajatan” di Ormeknya tiap pemilu
Dias juga mengakui, sudah jadi rahasia umum kalau menjadi buzzer politisi adalah hal lumrah di ormeknya. Pun, politisi yang mereka dengungkan pun biasanya bukan “orang asing”.
“Kita sama-sama tahu lah, beliau ini siapa,” kata Dias. “Ya, biasanya politisi itu eks pengurus ormek kita juga saat masih kuliah. Kita sama-sama kenal, kalau ada acara ormek beliau juga datang.”
Lebih lanjut, senior yang mengajaknya mem-buzzer juga orang dekat dengan politisi tersebut.
“Sering banget bikin story WA lagi foto sama beliau atau datang ke acara kampanyenya,” jelasnya.
Mojok sendiri telah menghubungi sang senior ormek, yang dianggap sebagai koordinator alias peternak buzzer tersebut. Mojok tertarik untuk menggali lebih dalam soal pola-pola rekrutmen, cara kerja, hingga besaran bayaran yang mereka peroleh. Namun, hingga tulisan ini tayang, pesan Mojok belum mendapatkan respons dari yang bersangkutan.
*narasumber meminta disamarkan identitasnya karena alasan keamanan.
Penulis: Ahmad Efendi
Editor: Agung Purwandono