Cerita Bapak dan Anak yang Jadi Pelopor Kopi Merapi Babadan

Pak Poni dan Slamet Wahyuni. Foto Nikma Al Kafi.

Kopi Merapi Babadan kini populer dan punya pasar tersendiri. Di balik kesuksesannya ada cerita jatuh bangun seorang bapak dan anak hingga akhirnya seperti sekarang.  

Dusun Babadan, Magelang, dikenal sebagai salah satu wilayah yang berhasil memproduksi kopi jenis Arabika dengan kualitas terbaik. Jenis kopinya dikenal dengan kopi Merapi Babadan. Aktivitas produktif petani kopi di daerah tersebut tak lepas dari pengaruh sosok bapak dan anak bernama Poni (45) dan Slamet Wahyuni (21). Mereka berdua berusaha keras membangkitan kembali gairah petani kopi di Dusun Babadan yang sebelumnya sempat loyo.

Selasa (28/9) Mojok berkesempatan menyambangi kediaman Pak Poni dan Slamet Wahyuni di Dusun Babadan, Magelang. Setelah menunggu sekitar 30 menit, Slamet Wahyuni langsung menyapa kami dan Pak Poni datang menyusul kemudian dengan suguhan kopi.

Sejarah Kopi Babadan Magelang

Sembari menyesap kopi kami ngobrol santai ihwal sejarah kopi di Babadan. Jika ditarik lebih jauh ke belakang, kopi di Dusun Babadan menurut Slamet Wahyuni sudah ada sejak zaman kolonial. “Kalau dari sejarah, petani kopi di sini sudah ada sejak zaman Belanda tapi dahulu jenis kopinya kopi menir,” ungkap Slamet Wahyuni

Kopi menir merupakan kopi berbiji kecil. Kopi ini tergolong jenis Robusta dengan cita rasa yang cenderung pahit. Hingga tahun 90-an kopi menir masih ditanam di Babadan.

Sejak dulu kopi menjadi komoditas utama di Babadan. Namun, menurut Slamet Wahyuni di masa lalu biji kopi tidak memberikan banyak untung malah cenderung buntung. Imbasnya banyak petani yang menyerah menanam kopi.

Udara segar baru datang di tahun 2012. Petani di Babadan mendapat bantuan bibit kopi Arabika dari Ditjen Perkebunan kota Magelang. Sebanyak 100.000 bibit pohon. Para petani amat senang menyambut bantuan tersebut.

Beberapa petani kopi kembali aktif menjadikan kopi sebagai komoditas utama. Memang tidak semua petani, sebab beberapa penduduk di Babadan juga menjadi petani sayuran. “Lebih banyak fokus di tanam sayuran, Mas. Brokoli, cabai keriting, kembang kol, kubis,” ujar Pak Poni.

Green bean kopi Merapi Babadan

Tahun 2014 merupakan momentum awal panen bagi petani kopi. Para petani kopi saat itu bingung untuk mengolahnya kopi tersebut sehingga belum menghasilkan keuntungan secara maksimal. Selain itu model penanamannya pun masih menggunakan sistem campuran, pohon kopi ditanam di sembarang tempat mengitari tanaman sayuran.

Hingga akhirnya para petani Kembali tak bersemangat, problemnya karena pengelolaan paska panen yang tak optimal. Ekstremnya mereka justru menebangi pohon bahkan membiarkan biji kopi tak terurus begitu saja.

Bahkan Pak Poni pun yang notabene adalah ketua dari kelompok tani di Dusun Babadan mengakui saat itu belum mampu dan paham cara mengelola kopi dengan baik. Hingga akhirnya sang anak Slamet Wahyuni mengikuti berbagai pelatihan mengelola kopi dari mulai menanam hingga paska panen. Seperti distribusi dan pemasaran. Berbagai sertifikat pun telah ia terima. Dari sini lah kemudian perubahan terjadi.

Slamet Wahyuni menjadi pelopor dengan kopi Merapi Babadannya. Pada tahun 2018 atas nama kopi Merapi Babadan mendapat nominasi dan masuk final sebagai kopi berkualitas unggul dalam event KSSI yang diselenggarakan di Filosofi Kopi. Kemudian pada tahun 2019 menjadi titik balik majunya produksi kopi di Dusun Babadan. “Mengingat ada potensi dari alam, jadi lebih baik dimanfaatkan,” kata Slamet Wahyuni sebagai alasanya ketika mengawali karirnya memasuki dunia kopi.

Slamet Wahyuni menuturkan bahwa untuk mengelola kopi tak mungkin ia meminta pada bapaknya untuk mendalami sistem pengolahan kopi. Jiwa muda Slamet Wahyuni lah yang membuat dirinya semakin semangat menjalani aktivitasnya untuk mendalami ilmu tentang kopi. Slamet Wahyuni pun sampai disebut sebagai pelopor tenarnya Kopi Merapi Babadan.

Kini produksi kopi Babadan mulai menemukan arahnya. Sistem penanamnya diubah dengan sistem tumpang sari. Pohon kopi ditanam dalam satu lahan dan diselingi dengan tumbuhan-tumbuhan yang lain. Sistem tumpang sari bertujuan untuk mengurangi hama tanaman kopi. Sehingga bisa menghasilkan biji kopi yang unggul.

Kebun kopi dengan sistem tumpang sari. Foto Nikma Al Kafi.

Mempertahankan Petani Kopi Merapi Babadan

Sebagai ketua kelompok tani, Pak Poni merasa bertanggung jawab penuh untuk mempertahankan petani-petani kopi agar kejadian pahit di masa lalu, seperti menebang pohon dan membuang biji kopi tidak terulang lagi. “Jika petani kopi bisa bertahan, maka kopi Merapi akan selalu ada,” ucap Pak Poni.

“Kalau kopi Merapi Babadan selalu ada, pecinta kopi akan tahu bahwa hanya desa inilah yang akan mereka cari,” imbuh Pak Poni sembari menyeruput kopi yang disusul dengan menggigit gula merah.

Pak Poni berharap meski desa yang ia tinggali merupakan desa terpencil tetapi orang-orang bisa berkunjung ke desanya untuk sesuatu yang mereka cari yaitu kopi. Di sisi lain Ia juga teringat dengan pengalaman yang membuatnya bersedih karena tak bisa menjual kopi beberapa tahun silam. Ia tak akan ingin pengalaman buruk itu terjadi lagi.

Saat ini kelompok petani kopi Babadan mampu mengumpulkan 4 ton kopi tiap kali panen. Pekerjaan rumah yang dirasa harus diselesaikan Ia adalah mencari rumusan agar harga kopi menguntungkan untuk petani.

“Baiknya harga kopi tergantung cara pengolahannya,” ucap Pak Poni.

Menurutnya para petani juga perlu diedukasi mengenai pengolahan kopi untuk menjaga kualitas kopi. Ia bercerita dahulu banyak petani yang belum paham dengan cara mengolah kopi sehingga menjadikan kopi bermutu rendah. Selain itu Pak Poni pun merasa Pemerintah belum maksimal memberikan jaminan pada para petani.

Menjadi Pengepul dan Distributor Kopi

Pak Poni menuturkan bahwa kendala utama yang dialami petani kopi saat ini adalah menemukan pasar yang tepat. Namun, berkat usaha Slamet Wahyuni, kopi Merapi Babadan menemukan target pasarnya. Dengan begitu Pak Poni dan Slamet Wahyuni mampu menampung hasil panen kopi milik petani untuk mereka olah sendiri.

“Pernah ada pembeli yang memberikan harga dengan ngawur ke petani, Mas,” ucap Pak Poni mengulang cerita petani kopi yang mengadu padanya.

“Jadi untuk menjaga semangat petani dalam merawat tanaman kopi mereka, saya memberanikan diri untuk membeli dengan harga yang tidak membuat rugi petani,” ucap Pak Poni.

“Lagi pula ada Slamet Wahyuni yang sudah paham dengan berbagai metode pengolahan kopi seperti full wash dan wine. Bahkan Slamet Wahyuni juga menyediakan kopi yang sudah di roasting apabila ada konsumen yang menginginkannya.”

Pak Poni dan kopinya. Foto Nikma Al Kafi.

Namun, untuk mendapatkan hasil kopi unggul membutuhkan proses yang tidak sebentar. Pak Poni dan Slamet Wahyuni mengerahkan segala tenaganya. Mojok pun diajak untuk melihat biji-biji kopi yang tengah dijemur.

“Dijemur berapa lama ini, Pak?”

“Sampai siap proses selanjutnya, Mas,” pungkas Pak Poni

Sebelum saya menancap gas motor untuk pulang. Slamet Wahyuni mengingatkan, di Borobudur akan diadakan festival kopi pada tanggal 2 0ktober 2021. Memperingati Hari Kopi Internasional. Akan ada seribu kopi gratis katanya. Uniknya festival itu menggunakan kopi, barista, dan roastery dari Magelang.

 

BACA JUGA Kata @mafiawasit Kenapa Sepakbola Indonesia Gitu-gitu Aja dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.

 

Exit mobile version