Saat Hidup Memberimu “Jeruk Keprok”, maka Kamu akan Tahan dengan Derita Kemiskinan

ilusrtasi - keluarga miskin dalam When Life Gives You Tangerines. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Dari drama Korea When Life Gives You Tangerines saya belajar bahwa mereka yang tergolong miskin sulit untuk melepaskan diri dari jerat kemelaratan. Nyatanya, Oh Ae sun (IU) dan Yang Gwan Sik (Park Bo Gum) yang berperan dalam drama tersebut bukannya tak bekerja keras untuk hidup, tapi kemiskinan memang bersifat struktural. Baik dari politik, sosial, ekonomi, maupun budaya yang menyatu dengan kehidupan mereka.

Kemiskinan yang terstruktur

Mulanya, saya mengira drama When Life Gives You Tangerines hanya menceritakan kisah cinta ‘menye-menye’ biasa. Namun, ternyata saya salah. Drama Korea yang dirilis oleh Netflix pada Jumat (7/3/2025) itu menceritakan perjuangan hidup dari sepasang kekasih di Pulau Jeju, Korea Selatan pada tahun 1950-an. Konon, cerita dua sejoli itu diangkat dari kisah nyata.

Di masa itu, Korea sedang mengalami krisis mata uang dan mengalami kesulitan ekonomi yang parah karena perang. Negara tersebut bahkan meminta bantuan dari International Monetary Fund (IMF).

Krisis ekonomi juga berdampak pada kehidupan keluarga Oh Ae Sun. Sebagai perempuan yang tak memiliki latar pendidikan tinggi, ibu Oh Ae Sun, Jeon Gwang Rye (Yeom Hye Ran) rela bekerja sebagai seorang haenyeo atau penyelam wanita di Pulau Jeju untuk memanen hasil laut. Pekerjaan itu cukup berisiko karena mengharuskan mereka menyelam tanpa alat bantu pernapasan. 

“Akan ada hari-hari berat dalam hidupmu. Suatu hari, hidup akan amat berat, sampai kamu merasa ingin mati. Jangan berbaring saja. Berjuanglah sekuat tenaga,” ucap Gwang Rye sebelum meninggal.

Oh Ae Sun terlentang. MOJOK.CO
Oh Ae Sun membaringkan tubuhnya di jalanan Pulau Jeju. (Sumber: Youtube/Netflix).

Jika dilihat dari letak geografisnya, Pulau Jeju sebetulnya memiliki sumber daya alam yang melimpah. Namun, kehadiran pemerintah untuk meningkatkan ekonomi masyarakatnya justru tak terlihat. Mereka hanya hadir ketika ada momentum saja.

Salah satu adegan terlihat saat aksi protes Oh Ae Sun yang tidur terlentang untuk menghalau kebijakan pemerintah yang ingin mengosongkan jalanan di sekitar Pasar Pulau Jeju. Penggusuran itu mengakibatkan warga tak bisa berjualan, sementara pemerintah bisa memanfaatkan jalanan di pulau tersebut untuk perayaan olimpiade.

Kemiskinan turun-temurun dalam When Life Gives You Tangerines

Kehidupan Oh Ae Sun maupun Yang Gwan Sik tidaklah mudah bahkan setelah anak-anaknya dewasa. Butuh berpuluh-puluh tahun bagi mereka agar memiliki kehidupan finansial yang stabil. Demi menunjang pendidikan anak pertamanya, Yang Geum Myeong, mereka sampai harus menjual rumah.

Yang Geum Myeong pun menyadari bahwa kondisi orang tuanya tidak kaya, sehingga sebisa mungkin ia tidak membebani mereka dengan mendapatkan beasiswa, tinggal di kosan yang tak terlalu bagus dan bekerja sambil kuliah.

“Aku marah pada ibuku karena dia miskin. Aku marah karena aku tahu akulah penyebabnya,” kata Yang Geum Myeong.

Yang Geum Myeong bersama Oh Ae Son berbincang di ruang tamu. (Sumber: Instagram/Netflix)

Dalam jurnal Kemiskinan Struktural Informasi, Tuti Widiastuti mengatakan seorang anak yang dilahirkan di keluarga miskin, besar kemungkinan dia akan menjadi miskin juga. Yang Geum Myeong bahkan batal menikah dengan keluarga kaya karena tidak diterima dan diperlakukan tidak adil oleh keluarga mantan pacarnya. 

Hampir mirip seperti kisah ibunya, Oh Ae Sun yang tidak diterima oleh keluarga Yang Gwan Sik. Keduanya bahkan hidup tanpa warisan di tengah kondisi negara yang mengalami krisis.

Berbeda pula dengan pacarnya yang hidup dengan bergelimang harta, Yang Geum Myeong harus hidup berhemat, menabung, mengirimi orangtuanya uang, sampai ingin punya anak ketika keuangannya sudah cukup.

“Mungkin aku terus membeli barang, karena miskin saat kecil. Saat kecil, aku ingin banyak hal tapi tak bisa memilikinya. Jadi, sekarang aku tak menahan diri,” ucapnya.

Relasi kuasa dalam kehidupan nelayan

Kemiskinan struktural juga dapat dilihat dari kehidupan Yang Gwan Sik. Alih-alih membahas sosok pasangan yang green flag, saya akan membahas betapa kemiskinan yang membelunggu nelayan tidak mudah diatasi.

Berangkat dari drakor When Life Gives You Tangerines, kita jadi tahu bahwa nelayan juga memiliki kedudukan yang berbeda. Menurut Arif Satria dalam bukunya berjudul Dinamika Modernisasi Perikanan Formasi Sosial dan Mobilitas Nelayan, kedudukan nelayan terbagi dua.

Pertama, orang yang disebut kapten atau juragan yang mempunyai alat produksi sendiri untuk menangkap ikan seperti kapal maupun alat tangkap. Kedua, nelayan buruh yang tidak memiliki alat tangkap.

Yang Gwan Sik sendiri mulanya adalah nelayan buruh. Ia bahkan bekerja dengan juragan atau calon suami istrinya dulu yang lebih tajir darinya. Saat keluar dari tim nelayan tersebut, juragannya mengimbau nelayan sekitar agar tidak mempekerjakan Gwan Sik. 

Yang Gwan Sik bekerja sebagai nelayan. (Sumber: Instagram/Netflix)

Relasi kuasa juga membuat nelayan buruh kerap mendapat perlakuan tak adil. Misalnya, sistem bagi hasil dan beban kerja yang berlebih. Hal itu juga dialami Yang Gwan Sik yang kadang-kadang tidak boleh membawa hasil tangkapannya untuk dibawa pulang, hingga kerja lembur meski sudah menangkap ikan berhari-hari.

Dari Yang Gwan Sik pula saya belajar jika kemiskinan tak melulu karena orang tersebut kurang bekerja keras. Yang Gwan Sik selalu rajin pergi bekerja bahkan di pagi-pagi buta. Ia hampir tak pernah absen untuk melaut, kecuali kondisinya benar-benar terpuruk yakni saat ia kehilangan anak ketiganya. 

Ia tak pernah mengeluh saat tubuhnya lelah atau luka-luka. Rajin mencatat hasil tangkapannya. Tak pernah melanggar aturan dengan menggunakan metode pemancingan yang legal.

Nasihat tersirat dari jeruk keprok

Dari judul drakornya saja, When Life Gives You Tangerines memiliki filosofi hidup yang menarik. Secara harfiah tangerines memiliki arti buah jeruk keprok yang merupakan khas Pulau Jeju sebagai komoditi terbesar di Korea. 

Jeruk keprok sendiri menggambarkan hasil dari kerja keras dan ketekunan masyarakat Pulau Jeju. Di tengah kondisi alam yang keras terutama saat musim dingin panjang, masyarakat di sana akan mengandalkan hasil panen jeruk mereka.

Foto keluarga When Life Gives You Tangerines. (Sumber: Netflix)

Oleh karena itu, jeruk keprok melambangkan perjuangan tanpa hati masyarakat di sana, meskipun dipenuhi dengan keterbatasan dan tantangan. Dalam drakor When Life Gives You Tangerines, jeruk keprok menggambarkan kisah hidup para tokohnya.

Melalui drama tersebut, kita diingatkan bahwa hidup indah berkat beragam masalah. Sekalipun hidup memberimu sesuatu yang asam atau pahit, akan ada rasa manis di sana meski sedikit, seperti jeruk keprok. 

Bahkan saat kita menjalaninya dengan tulus, hidup terasa lebih mudah. Seperti keluarga Oh Ae Sun yang menyelimuti keterbatasan mereka dengan penuh cinta dan upaya terbaik bagi keluarga. Lagi-lagi seperti pohon jeruk yang jika dirawat dengan baik, maka akan menghasilkan buah yang manis.

“Ibu menemukan kebahagiaan sendiri. Ada saat-saat cerah dalam hidup ibu juga. Ibu memiliki banyak momen indah. Ibu hanya ingin kau tahu bahwa hidup ibu juga berharga,” ujar Oh Ae Sun.

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Memahami Beban Anak Sulung yang Penuh Luka dan Sembuh berkat Kejujuran  atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.

Exit mobile version