Reuni Keluarga Jadi Ajang Saudara Pamer Pencapaian, Pura-pura Tolol sambil Menyimaknya Ternyata Menyenangkan

Menjadi tolol saat ada saudara pamer pencapaian di reuni keluarga ternyata menyenangkan MOJOK.CO

Ilustrasi - Menjadi tolol saat ada saudara pamer pencapaian di reuni keluarga ternyata menyenangkan. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Bagi sejumlah orang, reuni keluarga atau halalbihalal saat lebaran Idulfitri terasa sebagai momen menyebalkan. Sebab, di situlah saudara yang lebih sukses akan memamerkan pencapaian. Sementara yang dianggap tidak terlalu sukses akan dibanding-bandingkan.

Biasa saja ketika ada saudara pamer pencapaian di reuni keluarga

Ketimbang saudara-saudaranya yang seumuran, Dipta (27) memang tidak begitu mencolok. Lulus kuliah molor. IPK tidak bagus-bagus amat. Kini pun tidak bekerja kantoran.

Sementara beberapa saudaranya, selain kuliah dengan mulus-mulus aja, setelah lulus juga bekerja di sektor-sektor yang bagi pandangan keluarga besarnya masuk dalam kategori sukses.

Ada yang kerja di bank. Di sektor pertambangan pun ada. Sementara Dipta sedang menekuni bisnis pertembakauan di Surabaya.

“Apa bangganya jadi polisi? Profesi yang katanya untuk mengatasi kriminalitas tapi malah jadi kriminal itu sendiri. Katanya untuk melayani sipil tapi buktinya zalim pada sipil,” ujar Dipta sembari terkekeh, Rabu (3/4/2025) sore WIB.

Jika sedang reuni keluarga di momen lebaran seperti ini, orangtua mereka—saudara yang jadi polisi atau kerja di tambang—akan dengan berbunga-bunga bercerita soal anaknya masing-masing. Apalagi jika anak-anaknya belum bisa ikut halalbihalal lantaran masih di perantauan.

“Maklum, makin sibuk sekarang.”

“Ya nggak apa-apa. Pekerjaan seperti itu kan nggak semua orang bisa masuk. Jadi biar ditekuni. Siapa tahu jadi jalan sukses.”

Lalu orangtua anak-anak yang dianggap sukses itu akan makin semangat bercerita soal kesibukan anaknya di pekerjaan masing-masing. Sementara orangtua lain, yang anaknya masih sekolah atau hendak kuliah, akan menyimak dengan antusias. Berharap sang anak mengikuti jejak mereka agar bisa dibanggakan keluarga.

“Sorotan jelas ke keluarga yang anaknya sukses. Kalau ke aku, hanya basabasi formalitas. Tapi serius, memilih biasa saja ternyata menyenangkan. Tidak ambil pusing. Tidak usah dimasukkan ke batin,” tutur Dipta.

Orangtua adalah pelindung, bukan perusak mental

Sikap biasa-biasa saja itu, kata Dipta, tentu tidak bisa berdiri sendiri. Harus ada peran orangtua di situ.

Dipta mengaku beruntung karena selama ini orangtuanya tidak pernah menuntut muluk-muluk. Tidak pernah memasang standar kesuksesan sebagaimana kebanyakan orang.

“Standar sukses mereka, pokoknya aku bisa hidup bahagia dengan jalan yang kupilih. Udah gitu aja,” ungkap Dipta.

Semula, Dipta mengira itu hanya ungkapan normatif orangtuanya agar Dipta tidak berkecil hati lantaran kerap “tidak dianggap” dalam setiap reuni keluarga di momen lebaran. Namun, suatu kali, saat berbincang lebih dalam, dia menyimpulkan bahwa orangtuanya serius perihal standar sukses tersebut.

“Punya usaha sendiri, walau kecil-kecilan, membuatku lebih fleksibel. Aku masih bisa meneruskan hobiku traveling. Paling penting, waktuku dengan orangtua bisa lebih banyak. Mereka malah senangnya begitu. Ditemani di hari-hari tuanya. Coba kalau aku kerja tambang di Kalimantan. Jarang Pulang. Malah mereka nelangsa,” tutur Dipta.

Di setiap momen reuni keluarga pun, orangtua Dipta tidak pernah merasa tersinggung tiap antar-saudara saling menceritakan pencapaian keluarga masing-masing. Ibu Dipta hanya ikut menyimak sambil banyak-banyak nanggap (bertanya).

“Kata ibu, seru juga ya nanggap orang pamer. Dipancing dikit langsung nerocos hahaha,” kata Dipta.

Poin yang hendak Dipta sampaikan, setiap anak punya jalan hidupnya masing-masing. Sepanjang itu bukan jalan keburukan, orangtua tidak usah memaksakan anak meniti jalan yang sebenarnya sudah orangtua siapkan.

Selain itu, tidak sepatutnya orangtua membandingkan anaknya dengan anak orang lain hanya karena standar sukses yang umum. Orangtua, kata Dipta, sudah seharusnya jadi pelindung. Bukan malah ikut merusak mental anak.

Baca halaman selanjutnya…

Belagak tolol sambil menyimak saudara membual ternyata seru juga

Menjadi tolol saat reuni keluarga ternyata menyenangkan (1)

Dalam tradisi keluarga saya, tidak ada istilah reuni keluarga setiap momen lebaran. Kendatipun saya juga memiliki keluarga besar.

Keluarga nenenk saya—keluarga bude, pakde, dan ibu saya—lebih suka berkumpul dalam lingkaran kecil. Itu membuat suasana menjadi lebih intim.

Dengan keluarga besar, di setiap momen lebaran, yang terjadi hanya sebatas halalbihalal biasa. Biasanya saudara-saudara akan berkunjung ke rumah simbah. Karena dalam keluarga kami, simbahlah yang paling dituakan.

Dulu semasa masih kuliah, saudara-saudara jauh yang datang ke rumah simbah dan kebetulan berpapasan dengan kami, akan dominan bercerita. Bahwa anaknya kuliah di kampus besar di sebuah kota besar dan sejenisnya.

Lalu anak-anak mereka akan menghampiri saya. Bercerita soal kehidupan di kampusnya. Bercerita banyak hal dengan istilah-istilah rumit khas kampus.

Saya bisa saja mengimbangi. Tapi rasa-rasanya hanya buang-buang energi. Maka saya memilih menyimak dan menimpali. Lebih ke berlagak tolol saja. Itu membuatnya makin bergairah bercerita.

Menjadi tolol ternyata menyenangkan (2)

Lebaran 2025 ini pun demikian. Selama ini, tidak banyak keluarga saya yang tahu kalau saya sudah lulus kuliah sejak 2021 silam. Tidak ada yang tahu itu kecuali keluarga yang saya anggap inti (keluarga nenek). Toh saya memang tidak memasang foto wisuda di ruang tamu—sebagaimana umumnya sarjana.

Walhasil, saya sering mendengar selentingan-selentingan, kalau saya hanya jadi beban bagi orangtua. Kuliah terus nggak kerja-kerja. Menghabiskan uang orangtua.

Saya dan ibu selalu tertawa setiap ada saja yang nyeletuk demikian. Padahal, sudah sejak 2021 itu pula saya bekerja secara profesional. Tidak lagi freelance seperti di masa-masa akhir perkuliahan.

Namun, pada akhirnya bocor juga kalau saya sudah bekerja. Sebagai “juru ketik”.

Pada malam lebaran lalu, keluarga jauh datang lebih cepat untuk halalbihalal dengan simbah. Karena rumah saya dengan simbah berhadap-hadapan, jelas saja terjadi pertemuan singkat.

Untuk kesekian kali, para saudara jauh itu fokus menceritakan dirinya sendiri. Salah satunya, yang ternyata juga menekuni bidang tulis seperti saya, menghampiri. Sembari memamerkan apa yang dia capai.

Saya, lagi-lagi, memilih menjadi tolol. Newbie. Dan berlagak sebagai “anak baru” di dunia itu. Hanya sekali saya mencoba mendeskripsikan apa yang saya kerjakan. Tapi dia tak mau kalah. Belum tuntas saya mendeskripsikan, dia langsung nyamber menceritakan dirinya kembali.

Rasanya lucu sekali. Ada orang yang menganggap kita sebagai saingan yang harus dikalahkan. Padahal saling sharing (interaktif-dua arah berbagi pengalaman) jauh lebih produktif.

Karena dia lebih banyak bercerita dan saya lebih banyak mendengar, dia berpamitan dengan raut wajah menang. Saya jadi ingat kata Gus Mus (Mustofa Bisri), orang memang sering lupa: pelajaran paling sulit bukanlah ngomong, tapi mendengar. Orang bisa sangat tahan ngomong berjam-jam. Tapi memiliki ketahanan mendengarkan orang lain? Belum tentu.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Merindukan Lebaran “Berdarah” di Negeri Mamala, Pengalaman yang Tidak Bisa Dirasakan di Jakarta atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

 

Exit mobile version