Saya termasuk orang teledor yang beruntung, karena tak kehilangan gawai di Stasiun Tanah Abang, Jakarta Barat. Padahal, stasiun tersebut terkenal dengan kriminalitasnya yang tinggi. Para pengguna commuter line (KRL) wajib berhati-hati, hilangkan penyakit lupa dan teledor seperti saya.
***
Sudah menjadi rahasia umum jika Stasiun Tanah Abang rawan copet. Pencarian saya di Google menunjukkan ribuan artikel soal kejadian copet di Stasiun Tanah Abang dari tahun ke tahun.
Pada 2023 lalu, sempat viral video yang menunjukkan seorang perempuan berusia 40 tahun asal Bogor, Jawa Barat yang ditangkap karena ketahuan mencopet ponsel di Stasiun Tanah Abang. Dalam video tersebut, perempuan itu tampak digotong oleh tiga petugas di peron stasiun.
“Saya nggak kabur, tolong, saya minta maaf,” ucap pelaku sambil meronta-ronta.
Seharusnya, dari kejadian tersebut saya sudah bisa mengambil banyak pelajaran untuk lebih hati-hati menjaga barang bawaan. Namun, memang dasar saya si pelupa dan teledor (kombinasi yang mengesalkan bagi saya pribadi), kehati-kehatian itu mental. Beruntung, masih ada orang-orang baik yang membantu.
Alasan tak menggunakan kendaraan pribadi
Saya sempat setahun tinggal di Jakarta untuk bekerja. Tepatnya di sebuah media yang berkantor di sekitar Palmerah, Jakarta Barat. Sebagai orang asli Surabaya, saya memilih tak membawa motor. Pertimbangannya banyak.
Pertama, karena saya nggak hafal jalan, apalagi saya pelupa. Kalaupun menggunakan Google Maps, saya tidak bisa berkendara pelan-pelan. Keburu diklakson secara brutal oleh penumpang lain. Ini juga menjadi alasan kedua: saya malas bersaing dengan pengguna jalan yang “seram”.
Menurut saya, pengendara di Jakarta seringkali tidak sabaran. Mereka biasa berkendara secara ugal-ugalan. Tersenggol sedikit saja langsung naik pitam. Walaupun di Surabaya tak jauh berbeda, tapi saya masih paham kalau pengendara lain misuh-misuh.
Namun di Jakarta, saya sudah sering melihat pertengkaran antara pengendara satu dengan yang lain. Bahkan tak hanya adu mulut, tapi sampai jotos-jotosan. Mirisnya, orang-orang sekitar tampak tak peduli. Barangkali mereka juga sibuk dengan urusan masing-masing.
Selain itu, kerja saya kebanyakan di lapangan dan tidak menetap. Saya takut motor saya hilang kalau parkir sembarangan walaupun menggunakan kunci ganda. Melihat berita soal pencurian motor alias curanmor di Jakarta pun cukup ngeri.
Terakhir, biaya parkir di Jakarta terbilang mahal jika dibandingkan dengan Surabaya. Harganya berbeda-beda di setiap tempat bahkan untuk area terbuka atau tempat umum sudah ada tarif standar. Yang pasti, tarif parkir kendaraannya dipatok per jam.
Oleh karena itu, saya lebih memilih moda transportasi publik seperti bus, feeder, maupun commuter line atau KRL. Kalau mendesak saya lebih memilih menggunakan jasa ojek online.
Lebih hemat menggunakan KRL
Kamis (19/1/2023), saya mendapat tugas liputan ke Kantor Wali Kota Administrasi Jakarta Utara. Saya harus mendatangi mediasi antara Kelompok Petani Kampung Bayam Madani (KPKBM) dan PT Jakarta Propertindo (Jakpro).
Karena buru-buru, saya menggunakan jasa ojek online dan harus merogoh kocek sekitar Rp70 ribu. Jarak kosan saya dari Jakarta Barat ke Jakarta Utara sekitar 18,9 kilometer. Saya membutuhkan waktu 39 menit kalau jalanan tidak macet.
Setibanya di lokasi, saya pun menunggu mediasi antara KPKBM yang menagih janji kepada Jakpro untuk tinggal di Rusun Kampung Bayam dekat Jakarta International Stadium (JIS). Namun, Jakpro tak kunjung memberi izin. Mediasi itu pun berlangsung alot hingga pukul 17.00 WIB.
Setelah mediasi selesai, saya memutuskan pulang. Kali ini saya menggunakan commuter line atau KRL, mengingat biaya yang keluarkan saat keberangkatan tadi cukup besar. KRL sendiri hanya mematok harga Rp3 ribu untuk sekali jalan di sekitaran Jakarta.
Namun, jarak dari Kantor Wali Kota Administrasi Jakarta Utara ke stasiun cukup jauh. Saya memilih menggunakan layanan GoTransit dari Gojek untuk menuju Stasiun Tanjung Priok. Baru kemudian menggunakan KRL.
Biayanya cukup hemat. Dari kantor ke stasiun saya hanya mengeluarkan Rp15 ribu. Lalu, lanjut naik KRL dari Stasiun Tanjung Priok ke Stasiun Tanah Abang dengan harga Rp3 ribu. Dari Stasiun Tanah Abang ke kosan harganya Rp18 ribu.
Jika ditotal, saya harus mengeluarkan uang sekitar Rp36 ribu. Meski lebih hemat, perjalanan saya dari stasiun ke tujuan juga lebih lama. Saya pun harus berdesak-desakkan di gerbong kereta, apalagi kepulangan saya memasuki jam-jam horor alias bersamaan dengan pekerja di Jakarta.
Pesan dari petugas Stasiun Tanah Abang
Keriuhan Stasiun Tanah Abang sudah terlihat sejak saya tiba sekitar pukul 18.00 WIB. Orang-orang tampak buru-buru memadati gerbong. Petugas keamanan tak berhenti berteriak. Mereka mengingatkan penumpang KRL untuk selalu menjaga barang bawaan.
“Tasnya hati-hati, taruh depan, taruh depan!” ucap salah satu petugas.
Saya pun menggendong tas saya di bagian depan. Setelah keluar dari kerumunan peron, saya memutuskan untuk salat di musala. Suasana musala di Stasiun Tanah Abang tidak terlalu ramai. Jadi, saya memutuskan untuk beristirahat sebentar sebelum melanjutkan perjalanan. Saya pun mengeluarkan kedua gawai saya untuk menyicil bahan berita yang akan tayang di hari itu.
Salah satu gawai memang saya gunakan khusus untuk merekam suara saat liputan. Gawai itu tidak saya kunci layar, WhatsApp-nya pun begitu. Hanya ada kontak ibu saya di gawai tersebut.
Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 20.00 WIB. Saya pun buru-buru memasukkan peralatan ke dalam tas sampai tidak sadar kalau salah satu gawai tertinggal. Setibanya di kos, gawai saya yang lain tiba-tiba berbunyi, tanda kalau ada telepon masuk.
Telepon itu dari teman kerja saya. Dia bilang kalau ibu saya tadi menelepon nomor miliknya. Ibu saya panik karena katanya ditelepon oleh petugas Stasiun Tanah Abang. Petugas mengirim pesan lewat gawai saya yang tertinggal ke nomor ibu saya.
“Tadi yang menemukan petugas OSC, ibu Juju di musala terus diserahkan ke petugas passenger service atas nama Bapak Fajar. Ada petugas keamanan dalam (PKD) juga atas nama Bapak Tahyudin. HP-nya sekarang diamankan di petugas Passenger service ya, Bu,” tulis pesan tersebut.
Saya pun mengecek barang bawaan saya, rupanya gawai saya memang tertinggal. Buru-buru, saya memesan ojek online untuk pergi ke stasiun.
Penyakit teledor yang sering terjadi di KRL
Waktu sudah menunjukkan pukul 20.30 WIB. Suasana Stasiun Tanah Abang masih ramai, tapi tidak terlalu banyak dibandingkan tadi. Saya pun bergegas menemui salah satu petugas yang berada di gate masuk.
Kepadanya saya menyampaikan kalau gawai saya tertinggal dan disuruh menemui Juju atau Fajar, salah satu petugas yang disebut dalam pesan. Pegawai itu bertanya merk, warna, dan nomor telepon dari gawai yang saya hilang. Setelah dicek dan sesuai, petugas mengeluarkan gawai yang dari tadi dia simpan dalam saku baju.
“Ini bukan?” tanyanya.
“Iya betul, Pak!” jawab saya dengan riang.
“Lain kali hati-hati ya, Kak. Untung tidak hilang, di sini rawan copet,” ucap petugas itu mengingatkan.
Saya pun kembali pulang ke kosan menggunakan ojek online. Sepanjang perjalanan, saya hanya bisa geleng-geleng. Selain karena penyakit lupa dan teledor saya, saya jadi membuang-buang waktu, tenaga, pikiran, serta uang. Padahal, niat saya awalnya ingin berhemat, tapi malah keluar uang banyak.
Setahun kemudian, penyakit saya ini masih sering kambuh. Saya sudah pindah ke Yogyakarta dan masih sering teledor meletakkan gawai. Namun, saat itu saya langsung sadar. Lagi-lagi bermodal beruntung karena gawai saya ditemukan di Stasiun Lempuyangan.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Drama Kesialan di Stasiun Lempuyangan: HP “Hilang” hingga Harus Minta Maaf pada Satpam atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.