No Other Choice: Buruh Mati-matian Kerja sampai Kehilangan Diri Sendiri, Usai Diperas Langsung Ditebang

No Other Choice: rekaman betapa rentan nasib buruh. Mati-mati kerja sampai kehilangan diri sendiri, tapi ditebang saat tak dibutuhkan lagi MOJOK.CO

Ilustrasi - No Other Choice: rekaman betapa rentan nasib buruh. Mati-mati kerja sampai kehilangan diri sendiri, tapi ditebang saat tak dibutuhkan lagi. (Ega Fansuri/Mojok.co)

No Other Choice menjadi gambaran betapa rentannya kehidupan kaum buruh. Mereka rela kehilangan diri sendiri dan menjadi bengis karena mati-matian mempertahankan pekerjaan. Tapi jika sudah dianggap tidak berguna oleh kapital, maka bisa “ditebang” sewaktu-waktu.

***

Kamera menyorot rumah megah dengan taman rapi, lalu perlahan menukik: Tampak keluarga You Man-soo (Lee Byung-hun) dan Le Miri (Son Ye-jin) bersama dua anak mereka, Ri Two dan Ri One. Mereka penuh tawa, hangat, seolah hidup tanpa cacat.

Hadiah seekor belut dari kantor dimasak bersama, disangka mereka itu adalah buah apresiasi atas kerja keras Man-soo sebagai buruh di pabrik kertas tempat ia bekerja. Tapi ada suatu pepatah lama yang selalu saya ingat berlaku: Apa yang terlalu indah biasanya menyimpan keburukan tersembunyi. Belut itu ternyata bukan ucapan terima kasih, melainkan tanda pemecatan.

Perusahaan Amerika tempat Man-soo bekerja baru saja dibeli perusahaan Amerika Serikat, dan rekonstruksi pun terjadi. Bagi bos barunya, hanya ada satu jawaban untuk permintaan Man-soo agar ia tidak jadi dipecat, yaitu “There is no other choice, Mister.”

Sejak itu, hidup Man-soo berubah. Dari buruh setia menjadi pria yang menyiapkan rencana kotor demi mendapatkan pekerjaan.

Park Chan-Wook dan adaptasi

Film No Other Choice menandai kembalinya Park Chan-wook ke kursi sutradara setelah Decision to Leave. Meskipun saya tak cukup puas dengan No Other Choice, tapi fakta tak terelakkan adalah bahwa film tersebut membuat Chan-wook wara-wiri di festival bergengsi dunia.

Bagi saya, No Other Choice adalah pengingat kenapa saya jatuh hati pada karya-karya Chan-wook sejak awal. The Handmaiden atau Oldboy adalah pintu gerbang, semacam candu pertama yang membuat saya betah menikmati sinema Korea Selatan.

Kritikus tak henti menyebut film-filmnya sebagai salah satu yang terbaik dalam sejarah perfilman negeri itu, dan memang menurut saya juga tidak berlebihan.

Wajar kalau kabar tentang film barunya membuat saya tanpa ragu menempuh jarak jauh hanya demi duduk di kursi bioskop.

Cerita No Other Choice sebenarnya merupakan adaptasi dari novel The Ax (1997) karya Donald E. Westlake, penulis Amerika yang dikenal dengan berbagai cerita kriminalnya. Novel tersebut telah beberapa kali diadaptasi ke layar, termasuk versi Prancis berjudul Le Couperet (2005) garapan Costa-Gavras.

Park Chan-wook mengambil kerangka cerita yang sama, namun memberinya nuansa khas Korea Selatan sekaligus sentuhan estetik serta moral ambigu yang menjadi ciri khasnya.

No Other Choice: Dari buruh setia ke sosok bengis

Jalan cerita No Other Choice sejatinya sederhana. Man-soo awalnya punya semua hal yang diidamkan banyak orang, seperti keluarga harmonis, pekerjaan stabil hingga status sosial yang mapan.

Akan tetapi, semua itu mulai goyah ketika ia kehilangan pekerjaan. Sejak saat itu, ia berjuang mati-matian untuk mempertahankan apa yang ia anggap haknya.

Sebagian penonton melihat film ini sekadar kritik kapitalisme. Logika pasar yang dingin, kompetisi kerja yang kejam, absurditas sistem yang membuat manusia rela saling menyingkirkan menjadi fokus utama. Itu memang benar, dan jejaknya terasa jelas di sepanjang film.

Ada satu kalimat Man-soo yang mengendap di kepala saya: Di Amerika Serikat, kalau kau dipecat itu sama saja ‘dikapak’. Kalau di Korea, namanya kepala kau sudah dipenggal.” Sebuah pernyataan getir yang dibawakan Man-soo dengan setengah serius-setengah bercanda.

Dari pria yang awalnya enggan menyerahkan daftar bawahannya untuk dipecat, Man-Soo perlahan berubah menjadi sosok bengis tanpa norma. Di pertengahan film, ia bahkan tega menghabisi banyak pesaing kerjanya sendiri.

Transformasi itu berjalan mulus, dingin, seolah-olah logika kekerasan memang konsekuensi alami dari sistem yang memaksa orang memilih bertahan hidup atau tersingkir.

Membaca No Other Choice dengan Strain Theory

Jika memakai kerangka Strain Theory dari Robert K. Merton pada Social Strukture and Anomie (1938), tindakan Man-soo dapat dipahami sebagai respons menyimpang terhadap tekanan sosial.

Strain Theory merupakan teori yang menjelaskan bahwa seseorang dapat melakukan tindakan kriminal atau perilaku menyimpang karena tekanan atau ketegangan yang mereka alami ketika gagal mencapai tujuan yang diinginkan melalui cara-cara yang sah.

“Penekanan yang ekstrem pada akumulasi kekayaan sebagai simbol kesuksesan dalam masyarakat kita sendiri justru melemahkan kendali yang sepenuhnya efektif terhadap cara-cara yang diatur secara institusional untuk memperoleh kekayaan,” tulis Merton dalam bukunya.

Dalam menghadapi tekanan tersebut, Merton menjelaskan berbagai bentuk adaptasi seperti: conformity, innovation, ritualism, retreatism, dan rebellion. Dari kelimanya, bentuk yang paling relevan dengan Man-soo adalah innovation.

Innovation terjadi ketika seseorang tetap menerima tujuan budaya seperti kesuksesan, status, atau pekerjaan, tetapi menolak atau tidak memiliki akses pada cara-cara sah untuk mencapainya.

Akibatnya, ia menciptakan cara baru yang tidak disetujui masyarakat, bahkan menyimpang atau kriminal. Merton menyebut ini sebagai bentuk adaptasi yang paling dekat dengan deviasi.

Man-soo jelas mencerminkan pola ini. Ia masih mengejar tujuan sah, yaitu mempertahankan pekerjaan, status sosial, dan harga diri sebagai kepala keluarga. Namun, karena jalur sah sudah tertutup, ia memilih cara menyimpang dengan menyingkirkan pesaingnya dengan kekerasan.

Setia di tempat kerja tak ada artinya

Dalam No Other Choice, kehilangan pekerjaan tidak hadir sekadar sebagai peristiwa ekonomi, melainkan sebagai tragedi eksistensial. Para ahli kertas itu tidak sekadar menjual tenaga, mereka menjual jiwa mereka pada selembar kertas, suatu dunia di mana serat, tekstur dan aromanya  berpadu hadir di setiap lini kehidupan. Meskipun tak seratus persen persis, tapi kira-kira itu setiap ahli kertas katakan sepanjang film.

Dalam film namanya “Pulp Man”. Mereka enggan mengganti profesi dan sangat terobsesi pada kertas. Mereka menganggap kertas adalah hidup mereka. Menurut saya, itu pun juga bisa disebut dengan cinta yang setia.

Namun, cinta itu bertepuk sebelah tangan. Di balik meja perusahaan, kertas hanyalah komoditas, dan pekerja hanyalah mesin yang memproduksinya. Satu memberi dirinya seutuhnya, yang lain hanya menghitung dalam angka laba.

Mati-matian demi pekerjaan sampai kehilangan diri sendiri

Karl Marx menyebut momen ini sebagai alienasi dalam Economic and Philosophic Manuscripts of 1844. First Manuscript (1932), ketika manusia terpisah dari esensi dirinya sendiri. Buruh tidak lagi diakui sebagai pribadi yang hidup dalam karyanya, melainkan sekadar angka dalam neraca produktivitas.

Alienasi membuat pekerja merasa asing terhadap dunia yang mereka ciptakan sendiri.

“Having seen that in relation to the worker who appropriates nature by means of his labor, this appropriation appears as estrangement, his own spontaneous activity as activity for another and as activity of another, vitality as a sacrifice of life, production of the object as loss of the object to an alien power, to an alien person – we shall now consider the relation to the worker, to labor and its object of this person who is alien to labor and the worker,” tulis Marx.

Ia menjelaskan bahwa ketika pekerja mengolah alam melalui kerjanya, proses itu justru tampak sebagai bentuk keterasingan. Aktivitas kreatif dan spontan pekerja tidak lagi hadir sebagai ekspresi dirinya, melainkan berubah menjadi aktivitas untuk orang lain.

Energi hidup yang ia curahkan terasa sebagai pengorbanan, sementara hasil kerjanya pun segera lepas dan dikuasai pihak asing. Dengan kata lain, kerja yang seharusnya menjadi jalan pemenuhan diri justru membuat pekerja kehilangan dirinya sendiri.

Buruh seperti pohon: diperas lalu ditebang kapan saja

Para ahli kertas dalam film itu merasakan passion, sejarah, dan kebanggaan, tetapi kapitalisme memotong seluruh kedalaman itu hingga yang tersisa hanyalah pertanyaan sederhana,“Seberapa besar keuntungan yang bisa engkau hasilkan?”

Kerja yang seharusnya menjadi jembatan menuju makna, justru menjadi kapak yang memutus hubungan antara manusia dan kemanusiaannya.

Ironi itu bertambah pekat ketika kita mengingat asal mula kertas itu sendiri. Pohon ditebang dengan kapak, tubuh alam dipotong untuk dijadikan lembaran putih. Dan kini, kapak itu berbalik arah, tidak lagi hanya menebang pohon, tetapi juga menebang manusia.

Para pekerja diperlakukan sebagaimana batang kayu, sekali dianggap tak berguna, mereka ditebang dan dipangkas. Dalam logika kapitalisme, manusia dan pohon sejajar, bahwa keduanya hanyalah “sumber daya”, bahan baku yang siap dikorbankan demi kelancaran mesin profit.

Visualisasi Tekanan oleh Park Chan-wook

Keadaan tersebut diperlihatkan dengan apik oleh Chan-wook tanpa menggurui penonton. Dalam tekanan itu, Man-Soo justru menafsirkan ulang strategi bertahan hidupnya.

Chan-Wook juga terasa effortless ketika menjelaskan skema ini dengan pendekatan satir komedi gelap yang ada di sepanjang film. Seperti ketika misinya akhirnya berhasil dan ia diwawancarai untuk posisi kerja, ia mengatakan kepada pewawancara terkait kelebihannya.

“Dalam pendekatan saya mencari pekerjaan, kelebihan saya adalah mampu melihat dari sudut pandang lain dan menjadi kreatif,” ucap Man-soo.

Ironis. Sebab, “kreativitas” yang ia maksud bukanlah inovasi produktif, melainkan hasil akumulasi dari keputusasaan. Sebuah cara menyimpang yang lahir dari nilai-nilai masyarakat yang menekankan kesuksesan sebagai ukuran harga diri.

Selain itu, istilah “strain” yang dalam bahasa Indonesia berarti “ketegangan” divisualisasikan dengan kuat melalui adegan Man-soo yang berulang kali melafalkan mantra “There is no other choice” sambil menekan urat nadinya. Film ini menempatkan penonton dalam posisi yang tidak nyaman, seolah turut menanggung ketegangan sang tokoh.

Kamera yang semakin mendekat seiring panjangnya mantra membuat rasa tercekik itu makin nyata, sekaligus menjadi “pembenaran” Man-soo atas tindakannya menyingkirkan pesaing.

Pada akhirnya, Chan Wook berhasil membuat penonton bercermin pada kondisi dunia kerja kita masing-masing. Sebagian besar dari kita hanyalah buruh yang berusaha bertahan dan menikmati hidup, meski sistem kerap memaksa kita percaya bahwa memang tidak ada pilihan lain.

Tulisan ini diproduksi oleh mahasiswa program Sekolah Vokasi Mojok periode Juli-September 2025. 

Penulis: Khatibul Azizy Alfairuz
Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Curhatan Buruh Jogja Kerja Live TikTok Sampai Pagi Cuma Digaji Rp500 Sebulan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

Exit mobile version