Dari UGM hingga berbagai kampus di Jogja bagian selatan, di sudut-sudut gang sempit, banyak mahasiswa yang bertahan di kos murah dengan kondisi kelaparan. Saat bertemu dengan mereka, tampak wajah yang lemas dengan bibir mengering.
Sebelum bercerita jauh ke perjumpaan dengan mereka di sudut gang sempit, pada Desember 2023 lalu ramai pemberitaan tentang mahasiswa dari Papua Barat di Jogja yang beasiswanya terputus. Sekitar tiga bulan, mereka bertahan hari demi hari sambil menahan lapar.
Sekjen Ikatan Pelajar Mahasiswa Papua (Imapa) DIY, Irto Mamoribo mengatakan bahwa mereka tiba di Jogja sejak September. Janji mendapat beasiswa ternyata tidak benar-benar terealisasi. Mahasiswa berjumlah sekitar 28 orang itu hanya diberangkatkan lalu telantar.
“Dinas menawarkan ke adik-adik mahasiswa bahwasanya ini adalah program KIP, itu yang pertama, kemudian program kontrak kerja sama, terus kemudian program wakil bupati,” jelasnya melansir Detik.
Selain mereka yang punya jejaring komunitas kuat, beberapa bulan sebelumnya, di sudut gang sempit sekitar UGM hingga Jogja bagian selatan saya berjumpa dengan mahasiswa kelaparan yang bertahan di tengah kesendirian.
Perjumpaan saya dengan mahasiswa kelaparan itu terjadi berkat lelaki bernama Evan (26). Sudah berbulan-bulan, ia menginisiasi gerakan berbagi nasi untuk mereka yang membutuhkan. Saat itu, Evan mengantarkan langsung dari kos ke kos.
Kami membuat janji di Jalan Kaliurang KM 5, tak jauh dari UGM, pada Selasa (14/2/2023) silam. Sore itu, hujan turun agak deras. Namun, cuaca tidak jadi penghalang bagi Evan untuk menunaikan janji bagi para mahasiswa yang kelaparan.
Mahasiswa kelaparan di kos utara UGM
Setelah berbincang singkat, kami lalu berboncengan menuju beberapa titik kos, saya mengendarai motor dan Evan membonceng sambil menunjukkan arah. Destinasi pertama kami di Gang Pandega Marta, Jalan Kaliurang, bagian utara UGM.
Kami pun tiba di titik sesuai kiriman mahasiswa itu. Evan turun dari motor lalu sibuk dengan ponselnya Samsung Galaxy A5 keluaran 2016 miliknya. Berusaha menghubungi calon penerima nasi. Hampir sekitar lima menit, ia masih tampak kebingungan.
“Begini kadang tantangannya. Padahal saya minta mereka standby WhatsApp dan mengirim lokasi yang pas,” ujarnya sambil menggaruk kepala.
Tak berselang lama, kami menemukan titik kos calon penerima nasi itu. Di depan sebuah bangunan kos dua lantai, seorang anak muda berkaos oblong duduk menunggu. Ia lalu beranjak menghampiri kami. Tampak, bibirnya pucat keputihan. Setelah berbincang singkat, Evan memberikan dua bungkus nasi kepadanya.
Selain nasi, saking terbatasnya uang yang mahasiswa itu miliki, ia meminta minum. Evan yang tidak membawa air mineral lantas mengeluarkan uang Rp10 ribu dan memberikannya.
Meski tidak paling banyak, kawasan sekitar UGM jadi titik Evan berulang kali mengantarkan nasi untuk mahasiswa kelaparan. Bukan hanya mahasiswa, ada perjumpaan dengan para pekerja serabutan yang kerap ia jumpai membutuhkan pertolongan.
Baca halaman selanjutnya…
Mahasiswi tingkat akhir yang kelaparan seorang diri di rumah kontrakan
Seorang mahasiswa tingkat akhir yang menahan lapar seorang diri
Menurut Evan, titik paling sering ia mengantarkan bantuan adalah Banguntapan, Bantul. Di sana, banyak mahasiswa perguruan tinggi swasta (PTS) yang tinggal di kos murah seharga tak lebih dari Rp450 ribu. Sebagian di antara mereka mengalami permasalahan finansial.
Setelah menyisir beberapa titik di sekitar UGM, kami beranjak ke arah selatan. Menghampiri beberapa kos murah sepanjang jalan. Salah satunya di dekat kantong parkir Ngabean. Ada anak muda yang mengaku baru berhenti kuliah dan sedang mencari kerja. Ia mengaku tidak bisa mengandalkan uang kiriman orang tua lagi sehingga perlu bantuan makan.
Perjalanan paling selatan pada rute kali ini berada tak jauh dari Masjid Jogokariyan. Di sana kami menjumpai seorang perempuan yang mengaku mahasiswi semester akhir di sebuah universitas negeri di Yogyakarta. Sebut saja namanya Lisa* (23).
Perempuan asal Jakarta ini tinggal sendirian di sebuah rumah kecil milik saudaranya. Keberadaan tempat tinggal ini cukup membantu, lantaran sejak awal pandemi ia sudah lepas uang kiriman dari orang tua.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari ia bekerja sebagai freelancer. Menggarap desain dan juga copywriting untuk media sosial.
“Tapi, sudah semingguan ini invoice belum cair. Di Jogja tidak ada saudara, om pemilik rumah ini juga tidak tinggal di sini,” curhatnya.
Sekilas, ia tampak lemas. Rumah kecil yang ia tinggali juga tampak lengang tanpa banyak perabotan. Selepas menyerahkan sebungkus nasi, kami pun beranjak pergi.
“Banyak mahasiswa kelaparan dengan kondisi seperti ini. Tapi kan, mereka ini jarang terjangkau bantuan dan terdeteksi. Kadang mereka malu juga minta-minta. Makannya, saya benar-benar coba menempatkan diri agar yang menghubungi itu nyaman. Tidak malu,” ujarnya.
Membantu yang kelaparan hingga persoalan psikologis
Di balik ingar bingar kehidupan anak muda Jogja, ada banyak mahasiswa yang ternyata hidup dengan segala keterbatasan. Tak jarang, Evan dapat pesan-pesan yang cukup mengharukan seperti, “Terima kasih Mas, akhirnya saya bisa makan nasi”. Apa yang ia jalani hampir setahun menyadarkan Evan bahwa sebungkus nasi bisa sangat berarti untuk kelangsungan hidup seseorang.
Selain berbagi nasi lewat akun X @nasidaruratjogj yang sudah mengantar kebutuhan makan ke ratusan mahasiswa, saat ini ia juga menjembatani layanan konseling psikologi dengan psikolog profesional bagi mahasiswa dengan keterbatasan dana. Sudah ada puluhan anak kos yang bisa mendapatkan bantuan saat sedang mengalami tekanan mental. Selain itu sekarang sistem berbagi nasi juga sudah lebih fleksibel, bisa disalurkan melalui QRIS tanpa harus langsung berupa nasi bungkus.
Perjalanan saat itu, dari kawasan UGM hingga selatan Jogja, menyadarkan saya bahwa masih banyak mahasiswa dengan kondisi serba terbatas. Bertahan hidup di kos murah dan sempit dari ke hari, memperjuangkan studi, meski kondisinya tidak mudah.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News