Penyesalan Para Napi di Balik Jeruji Besi, Hari-hari Tersiksa dan Merasa Berdosa karena Tak Bisa Kumpul Bareng Keluarga di Momen Berharga

ilustrasi - Para napi mendengarkan ceramah di masjid lapas. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Hari-hari di penjara terasa menyiksa bagi para napi. Beberapa narapidana yang Mojok temui di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Wirogunan mengaku sudah tobat dan tak mau mengulangi kesalahannya. Mereka ingin berkumpul bersama keluarga, terutama saat momen Iduladha.

***

Panas terik matahari tak menghalangi para napi di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Yogyakarta mengikuti acara manasik haji dan umrah pada Selasa (3/6/2025). Saya sendiri sedikit terlambat dari jadwal meliput acara.

Untungnya, ada seorang narapidana yang menghampiri saya untuk mengantar ke lokasi. Perawakannya tegap, tapi saat bertemu petugas ia lebih banyak membungkuk. Seorang bapak paruh baya itu kemudian menunjukkan arahnya kepada saya.

“Mari Mbak, saya antar,” kata dia tersenyum. 

Saya pun sama sekali tak menaruh curiga hanya karena ia diberi tanda seorang ‘napi’. Malahan saya kira beliau adalah petugas, bukan sipir tentunya karena baju olahraga lengan panjangnya yang berwarna biru lebih mirip seperti pakaian petugas taman atau petugas kebersihan.

“Ini Mbak, masjidnya,” kata dia memberitahu saya. “Izin komandan, saya mengantar Mbaknya, katanya dari media,” kata dia beralih melapor kepada polisi yang sedang duduk-duduk di teras masjid Lapas Wirogunan.

“Oh, ya ya. Silahkan masuk,” kata polisi tersebut kemudian.

Rumus hidup: Jadilah Optimis

Ketua Yayasan Nur Hidayah, Sagiran. MOJOK.CO
Ketua Yayasan Nur Hidayah, Sagiran. (Sumber: etua Yayasan Nur Hidayah, Sagiran. (Sumber: Humas/Lapas Wirogunan)

Di dalam Masjid Al Fajar, Lapas Wirogunan ratusan napi sudah duduk rapi mendengarkan ceramah dari pendiri Yayasan Nur Hidayah, Sagiran. Sagiran yang juga merupakan seorang dokter bercerita bahwa ada banyak pasiennya yang mengalami opname sehingga tidak bisa menjalankan ibadah sepenuhnya.

Ada pula pasien yang mengalami penyakit gagal ginjal, sehingga harus melakukan cuci darah seumur hidupnya. Oleh karena itu, Sagiran berharap warga binaan Lapas Wirogunan tidak berkecil hati dengan kondisi mereka saat ini.

“Jadi, sekali lagi, tidak ada kata menyerah dalam hidup. Tidak ada kata putus asa. Rumus hidup adalah optimis,” ujar Sagiran.

Ia berharap para napi dapat betul-betul merefleksikan diri, ibarat sedang berhaji di Padang Arafah. Ia mengajak mereka untuk mencanangkan diri bahwa masa lalu sudah lewat dan masa depan belum berakhir. Oleh karena itu, para napi dapat membuat perencanaan kebaikan setelah keluar dari Lapas Wirogunan nanti.

Sagiran mengibaratkan, kehidupan layaknya tumpeng yang memiliki bagian dasar, tengah, dan puncak. Sedangkan dalam Islam, dasarnya disebut rukun Islam, tengahnya rukun Iman, dan puncaknya adalah rukun Ihsan.

“Jadi seseorang yang sudah ada di puncak kehidupan itu kalau menyembah Allah, beribadah itu benar-benar seperti melihat Allah di hadapannya, tapi kadang-kadang kita memang sulit berkonsentrasi sedalam itu,” kata Sagiran.

“Maka pilihan ke duanya adalah kamu bisa meyakini bahwa Allah sedang melihatmu pada hari ini. Dan insyaallah, Allah SWT menyaksikan (kegiatan baik) kita hari ini dan hari selanjutnya. Allahumma Amin,” lanjutnya.

Rencana hidup usai bebas dari Lapas Wirogunan

Usai mendengarkan ceramah, para napi bergegas melaksanakan manasik haji dan umrah. Salah satu napi yang mengikuti acara tersebut adalah EA (43). Sudah satu tahun ini ia menjalani hukumannya di Lapas Wirogunan. Jika tidak ada kejadian yang menghambatnya, EA dikabarkan bebas satu bulan lagi setelah Iduladha.

Seorang napi di Lapas Wirogunan usai mengikuti manasik haji. (Sumber: Tangkapan layar Youtube/Vertizone TV)

“Sayangnya saya masih belum bebas saat Iduladha, jadi tidak bisa bertemu keluarga. Tapi setelah bebas, saya ingin menyempatkan waktu sebulan penuh bersama mereka,” ujar EA.

Setelah puas menghabiskan waktunya bersama keluarga, EA pun sudah membuat rencana seperti saran yang disampaikan oleh Sagiran tadi. Di mana, tiga bulan selanjutnya ia akan fokus mencari kerja dan sisanya dimanfaatkan untuk menata hidup.

“Saya punya tekad dan dengan pertolongan Allah, saya bisa bangkit,” ujar EA.

Bagi EA, hidup selama setahun di jeruji besi adalah masa pembenahan bukan kehancuran bahkan terasa seperti mondok. Selama di Lapas Wirogunan pun, Ia dikenal aktif sebagai Tamping Mapenaling, yaitu narapidana yang membina dan mendampingi napi baru. 

“Saya juga ikut melatih fisik napi baru, dibantu teman-teman dari eks-TNI. Selain itu, saya ikut tahfiz, pelatihan khutbah, bahkan belajar kitab kuning seperti di pesantren,” ujarnya.

Tak hanya EA yang merasa perlahan-lahan sudah berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Rojisutanta (54), orang yang mengantarkan saya ke masjid pagi tadi juga merasa begitu. Roji sudah empat tahun ini tinggal di Lapas Wirogunan. Lagi-lagi ia tak bisa kumpul saat momen Iduladha.

Penyemangat di balik Lapas Wirogunan

Roji mengaku sudah tobat dan tak ingin mengulang kesalahan yang sama. Di Lapas Wirogunan, Roji lebih banyak berlatih memainkan alat musik bersama tim karawitannya yang bernama Sanggar Seni Wiroguna Budoyo.

Rojisutanta, napi di Lapas Wirogunan yang menjadi pelatih karawitan. (Aisyah Amira Wakang/Mojok.co)

“Tugas saya mengajari mereka semua bermain gamelan, kendang, bonang, saron, kenong, siter dan lain-lain, karena biasanya kami tampil di luar,” kata Roji.

Menurut informasi dari petugas Lapas Wirogunan, Tim Sanggar Seni Wiroguna Budoyo pernah diundang oleh Sultan Hamengkubuwono untuk meramaikan suatu acara. Penjagaannya pun harus ketat sampai meminta izin kepada pemerintahan pusat.

Sembari menghabiskan waktunya di Lapas Wirogunan dengan kegiatan yang positif, Roji berharap saat ia bebas nanti keluarganya dapat dengan senang hati menyambutnya. Ia bercerita, anak-anaknya pernah melihat Roji bermain musik dan mereka amat senang.

“Waktu kami tampil, ada istri dan anak saya. Jujur saat itu sangat berat tapi justru merekalah yang menguatkan saya di sini,” ucapnya. 

Saat menceritakan kejadian tersebut, Roji tak mampu menahan perasaannya. Rasa bersalahnya kian tumpah saat saya bertanya tentang pengalamannya dulu bisa berkumpul dengan keluarga di momen Iduladha. Air matanya berlinang, sampai ia meminta maaf untuk berhenti bicara sejenak.

“Saya pribadi sangat merasa berdosa, karena apapun alasannya saya mengakui bahwa saya salah. Apalagi, saya adalah seorang kepala keluarga,” kata dia melanjutkan.

Jika bebas nanti, Roji berujar mungkin dia tidak akan sanggup berkata-kata, dan hanya bisa memeluk keluarganya. Sampai saat ini, ia masih bersyukur bisa diberi kesehatan dan mendapatkan kesempatan untuk berubah. 

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Sejumlah Napi di Lapas Wirogunan Diambang Hukuman Mati, Berharap Bisa Pergi ke Tanah Suci Jika Bebas dari Jeruji Besi atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

Exit mobile version