Persoalan peternak-pengepul susu sapi di Boyolali baru-baru ini menyita perhatian dari banyak pihak. Terutama setelah mereka menggelar aksi mandi susu bahkan membuang tidak kurang dari 50.000 liter (50 ton) susu.
Seperti diketahui, pada Sabtu (9/11/2024) lalu terjadi aksi simbolis mandi susu di Tugu Susu Tumpah, Boyolali, Jawa Tengah. Massa aksi yang terdiri dari peternak sapi perah dan pengepul susu mengguyur badan mereka dengan susu yang sudah diwadahi dalam tong.
Aksi tersebut sebagai protes atas pembatasan kuota susu dari pihak Industri Pengolahan Susu (IPS) yang konon lebih memilih mengambil susu produk impor.
Salah paham pada mandi susu di Boyolali
Pada Senin (11/11/2024), saya mencoba mengajak berbincang Eka Desi Fitriasari (22) sebagai salah satu peternak sapi perah di Boyolali.
Sebelum bicara soal ancaman kelangsungan industri susu lokal di Boyolali, Trias (sapaan akrabnya) mencoba meluruskan kesalahpaham warganet.
“Sebab, waktu berita mandi susu itu viral, ada saja yang komen miring. Bilang mubazir lah, kenapa nggak dibagi-bagikan lah, dan sejenisnya,” tutur peternak muda tersebut.
Bahkan ada juga yang sampai menyebut aksi buang-buang susu itu tidak mencerminkan selaiknya orang beragama. Sehingga, alih-alih mendapat simpati, aksi buang susu itu bisa jadi sumber karma dari Tuhan karena dianggap telah buang-buang rezeki.
Kata Trias, sejak ada pembatasan kuota susu oleh IPS, akhirnya banyak susu yang menumpuk di beberapa Koperasi Usaha Dagang (KUD). Beberapa susu yang menumpuk tersebut pun akhirnya ada yang basi karena tidak lekas terdistribusi ke IPS.
Nah, susu basi itu lah yang kemudian dibuang dan digunakan massa akasi untuk mengguyur tubuh mereka.
“Sementara susu-susu yang masih bisa dikonsumsi ya tetap dibagikan kok,” sambung Trias. Tercatat, ada sekitar 1.000 liter susu yang dibagikan secara gratis.
Kekhawatiran pada industri susu di Boyolali
Jika ditanya khawatir atau tidak, Trias sempat mengambil jeda beberapa saat sebelum mengatakan bahwa pembatasan kuota susu punya potensi besar atas mandeknya industri susu sapi lokal di Boyolali.
“Di Boyolali sendiri saat ini nggak banyak anak muda yang mau jadi peternak sapi perah. Regenerasinya nggak ada. Sekarang ketambahan pembatasan kuota susu. Tentu masa depan industri ini mengkhawatirkan,” ungkap perempuan yang baru saja menyelesaikan Sekolah Vokasi di Jurusan Agribisnis Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo itu.
Selepas Sekolah Vokasi-nya rampung belum lama ini, Trias bahkan mengaku mencoba menyiapkan alternatif penghidupan lain. Artinya, tidak fokus secara penuh sebagai peternak sapi perah.
“Tapi ya tetep, Mas, di rumah tetap harus ngurus sapi. Karena dari dulu saya memang pengin beternak sapi,” tuturnya perempuan ramah itu.
Bicara kualitas
Trias dan juga banyak peternak-pengepul susu sapi di Boyolali menduga, ada dua alasan kenapa IPS terkesan ogah-ogahan dalam menyerap susu lokal. Satu, harga susu impor dianggap lebih murah. Dua, kualitas susu lokal dianggap kalah jauh dari susu impor.
Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Pengolahan Susu (AIPS), Sonny Effendhi, mengamini poin yang kedua. Dia menyebut, harga justru tak menjadi isu dalam polemik pembatasan kuota susu lokal. Yang jadi pertimbangan IPS adalah dari segi kualitas. Menurut Sonny, susu lokal mengandung bahan-bahan tertentu yang tidak aman dikonsumsi.
“Sehingga nggak sesuai standar food safety (keamanan pangan). Sehingga nggak bisa diterima,” kata Sonny kepada awak media pada, Senin (11/11/2024).
Lebih lanjut, Sonny menjabarkan hal-hal yang membuat susu lokal dianggap tidak memenuhi standar food safety. Antara lain, susu lokal mengandung air, minyak goreng, sirup gula, karbonat, hingga hidrogen peroksida yang dilarang ada di dalam kandungan produk susu oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
“Itu (susu dengan kandungan di atas) kalau diloloskan, yang menjadi korban kan masyarakat. Sementara ami wajib menjaga karna standarnya BPOM enggak boleh ada ingredient ini dalam susu,” imbu Sonny.
Kasih solusi, dong!
Jika sudah jelas masalahnya, yakni persoalan kualitas, kenapa langsung menjadikan impor sebagai solusi tunggal hingga mengabaikan nasib industri susu lokal? Kira-kira begitu lah pertanyaan yang menggumpal di kepala Trias.
“Harusnya Pemerintah bantu kami. Kalau dianggap kualitasnya kurang bagus, ya berarti perlu ada upaya mendampingi peternak agar bisa menghasilkan susu berkualitas dan berdaya saing dengan susu-susu impor,” ungkap Trias.
Karena menjadi ironi memang. Ketika Pemerintah mengadakan program makan bergizi dengan susu gratis, industri sapi dalam negeri justru tak dilibatkan. Sementara, tak cuma Boyolali, Indonesia punya banyak daerah sebagai penghasil susu sapi segar.
Nasib yang masih abu-abu
Pada Senin (11/11/2024) itu pula, Menteri Pertanian (Mentan), Andi Amran Sulaiman memberi respons atas polemik IPS yang enggan menyerap susu lokal.
Dia lantas menangguhkan izin impor lima perusahaan susu imbas pembatasan penyerapan susu dalam negeri tersebut (Amran tak mau membeber nama lima perusahaan itu).
“Ada lima perusahaan impornya kami tahan dulu izinnya sampai semua kondusif seluruh Indonesia,” katanya dalam konferensi pers di kantor Kementan, Jakarta Selatan.
Amran menegaskan, jika dari lima perusahaan tersebut masih enggan menyerap susu sapi lokal, maka izin impornya akan dicabut secara permanen alias tidak boleh impor lagi.
“Itu ketegasan kami dari Kementerian. Karena kami tidak ingin antara peternak dengan industri tidak bergandengan tangan,” tegas Amran.
Pertanyaannya, seberapa besar persentase perusahaan bakal menyerap susu lokal? Nasib peternak sapi perah-pengepul susu di Indonesia tetap saja abu-abu.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Kisah Lulusan Sekolah Penerbangan yang Sukses Jadi Peternak Sapi Perah di Boyolali
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News