Yang tidak orang sadari saat bermain di Pantai Parangkusumo
Ketika saya lanjut berjalan, pandangan saya tercuri oleh seorang laki-laki bermantel plastik warna biru. Dia tampak meletakkan karung berisi sampah-sampah plastik pantai, lalu berjalan agak tergesa mendekati bibir Pantai Parangkusumo.
Saya terus memerhatikannya dari jarak yang tidak begitu jauh. Dia berjalan ke arah empat orang yang sedang bermain-bermain agak ke tengah.
Langkah laki-laki itu terhenti saat mendapati empat orang tadi bergegas ke tepi pantai. Setelahnya, laki-laki bermantel biru itu lanjut berjalan menyisir tepian pantai.
“Saya tinggal di Kalimati (salah satu perkampungan di seberang Pantai Parangkusumo),” ujar laki-laki itu saat saya dekati sembari menyesap sebatang rokok kretek yang saya beri.
Laki-laki itu bernama Tawi (60), asli Purworejo, Jawa Tengah. Sudah lama dia tinggal di Kampung Kalimati.
Sebagaimana umumnya warga Kampung Kalimati, sehari-hari Tawi mencari sampah-sampah botol plastik di pesisir dua wisata pantai di Bantul, Jogja, itu: Parangtritis dan Parangkusumo. Hanya saja memang lebih sering di Parangkusumo yang sampahnya seolah tak habis-habis.
“Saya bukan penjaga pantai. Tapi kalau saya sedang di sini, lihat ada yang terancam bahaya (terseret ombak), saya bantu,” ungkapnya.
Terjawab sudah. Langkah tergesanya sebelumnya ternyata adalah reaksi spontan karena mengira empat orang yang bermain air akan terseret ombak jika terus-menerus ke tengah.
Kerap menolong orang terseret ombak
Sebelum ke Pantai Parangkusumo, saya sempat ikut patroli tim SAR Parangtritis. Belajar banyak juga perihal zona-zona bahaya di pantai. Laporannya sudah tayang lebih dulu sebelum tulisan ini.
Dalam patrol itu saya dibersamai oleh Komandan Regu (Danru) Regu II SAR Parangtritis, Suranto.
Suranto menyebut, patroli di Pantai Parangkusumo memang tidak terlalu intens. Menimbang, jumlah pengunjungnya tak semembludak di Pantai Parangtritis.
Meski begitu, Suranto merasa berterimakasih karena warga di sekitar Pantai Parangkusumo punya inisiatif besar untuk membantu tugas tim SAR. Ya orang-orang seperti Tawi itu lah yang Suranto maksud.
“Kalau masih di pinggir-pinggir, saya masih bisa bantu sendiri. Tapi kalau sudah ke tengah, itu harus lapor penjaga (tim SAR),” kata Tawi.
“Karena kalau sudah—dibawa ombak—ke tengah, itu harus pakai alat bantu (pelampung atau perahu). Kalau berenang biasa (tanpa perlengkapan), bisa-bisa malah saya ikut keseret,” imbuhnya.
Tawi biasanya ada di pantai dari siang sampai sore hari, untuk mengumpulkan sampah-sampah botol plastik—dan lain-lain yang bisa dijual. Dan selama itu pula, dia akan nyambi: selain memulung, jika ada orang yang terseret ombak, maka dia akan ambil tindakan.
Obrolan kami berlangsung singkat. Tawi mengeluhkan perutnya yang mulai keroncongan. Dia pamit pulang untuk menyantap masakan sang istri.
Perut saya pun ternyata juga mulai keroncongan, maka saya mengikuti langkah Tawi dari belakang.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Cepuri Parangkusumo, Saksi Cinta Ratu Kidul dengan Panembahan Senopati atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan