Konon, saat Bulan Ramadan setan-setan dibelenggu. Sayangnya, hal tersebut tak berlaku di Malioboro. Di kawasan wisata paling populer di Jogja ini, para demit bebas bergentayangan.
Memang mereka tak mengejar, menggigit, apalagi mencelakai. Namun, ia berhasil bikin orang yang “mengaku atheis” pun nyebut nama Tuhan beberapa kali–saking seramnya.
Ya, setidaknya itu yang terjadi di Jogja Horor Museum. Sama seperti “tetangganya”, Rumah Hantu Malioboro, wahana ini juga memberikan pengalaman menyeramkan bagi para pengunjung.
Bedanya, Jogja Horor Museum menyajikan nuansa mencekam melalui “benda-benda mistikal” yang dipamerkan. Tak ada talent atau orang yang berperan menjadi kuntilanak, genderuwo, atau pocong.
Adanya cuma manekin, suara creepy, dan barang-barang aneh yang barangkali sukar kalian jumpai di tempat lain. Biar saya spoiler salah satunya: jenglot.

Dikejar-kejar setan di Rumah Hantu Malioboro memang bikin dag-dig-dug-ser! Tapi percayalah, memasuki Jogja Horor Museum, tanpa dikejar setan sekalipun, menjadi pengalaman tak terlupakan.
Sejak kecil belum pernah masuk rumah hantu
Sebenarnya, saya sendiri malas mengunjungi wahana yang sifatnya menakut-nakuti, seperti rumah hantu. Bukan karena takut. Namun, sensasinya kurang lebih sama seperti saat saya menyaksikan film horor bertema dedemitan: udah merasa nggak ada nuansa seram lagi.
Namun, pada hari pertama bulan puasa, Sabtu (1/3/2025), saya terpaksa menuruti kemauan seorang kawan, Abdul namanya. Jauh-jauh dari luar kota, kata dia: “nggak afdol datang ke Jogja kalau nggak ke Malioboro”.
“Jarang-jarang juga ‘kan aku main ke Jogja,” sambungnya, sedikit memaksa.
Pukul 16.00 WIB kami berangkat. Sepanjang jalan, vibes Ramadan amat terasa. Pedagang takjil ada di mana-mana yang bikin lapar mata.
Sesampainya di Malioboro, nyaris tak ada hal lain yang bisa kami lakukan selain jalan-jalan menyusuri pedestrian. “Napak tilas Jogja membara,” kalau kata Abdul. Wajar, terakhir kali dia ke Jogja, khususnya Malioboro, adalah saat demo Tolak Omnibus Law di Kantor DPRD DIY yang berujung ricuh.
Karena gabut, tak banyak tempat yang bisa dikunjungi, Abdul pun mengajak saya buat masuk rumah hantu. Alasan dia, sih, karena seumur hidup belum pernah masuk ke wahana rumah hantu. Bahkan di pasar malam sekalipun.
Sebagai informasi, di Malioboro ada dua wahana rumah hantu yang lokasinya berada di Gedung Merah, Jalan Malioboro Nomor 11A. Rumah Hantu Malioboro dan Jogja Horor Museum.
Pengelola berbeda, sensasi yang ditawarkan pun juga berbeda. Konon Rumah Horor Malioboro lebih seram karena terdapat talent alias orang yang berperan sebagai hantu. Harga tiketnya juga lebih mahal, Rp35 ribu per pengunjung.
“Kita pilih yang Jogja Horor Museum,” kata Abdul, saat mengetahui harga tiketnya Rp25 ribu.
Membangun nuansa horor di Malioboro lewat atmosfer yang mencekam
Kami pun membeli tiket seharga Rp50 ribu untuk dua orang. Menurut Julian, salah seorang petugas Jogja Horor Museum yang memandu kami, aturan di sini lebih lentur ketimbang Rumah Hantu Malioboro.
Misalnya, pengunjung diperbolehkan mengambil foto asal tanpa flash. Sementara di Rumah Hantu Malioboro, pengunjung tak diperbolehkan mengambil foto karena berbagai alasan.
Julian pun memandu kami ke ruangan lantai satu yang berisi koleksi benda-benda bersejarah. Termasuk barang-barang antik dan benda yang punya nuansa klenik. Salah satunya ada jenglot yang dipajang bawah anak tangga.
“Rahasia perusahaan. Kami nggak mau klaim ini jenglot asli atau palsu. Percaya atau nggak percaya kami kembalikan ke masing-masing. Tapi yang ini jangan difoto ya,” guraunya.
Sementara lantai dua adalah rumah hantu. Julian bilang, pengunjung tak perlu takut karena tak ada hantu yang bakal mengejar. Sebab, klaimnya, “timnya ingin menciptakan nuansa horor melalui atmosfer yang dibangun.”
“Kami cuma memajang lukisan-lukisan horor. Hantunya pun cuma manekin. Horor yang kami bangun itu dari atmosfernya,” jelasnya.
Julian pun menunggu di lantai satu. Sementara saya dan Abdul, berdua menyusuri wahana rumah hantu di lantai dua.
Atheis… kok takut hantu?
Sebagai informasi, Abdul adalah orang yang skeptis. Ia cukup rasional dan menolak percaya hal-hal yang berbau klenik. Bagi kawan-kawan yang mengenalnya secara dekat, Abdul dianggap “tak percaya tuhan, apalagi demit”.
Namun, ada hal lucu ketika kami mulai memasuki ruangan gelap, yang mana hanya ada lampu-lampu berwarna merah yang menerangi. Langkah Abdul tak seyakin saat awal kami datang. Perlahan ia ragu antara ingin lanjut berjalan ke ruangan lain, atau tidak.
“Ini ada jumpscare-nya nggak ya?,” ujarnya dengan nada ketakutan ketika memasuki ruangan pertama. Ruangan itu hanya berisi satu meja dan dua kursi yang dibiarkan kosong. Tak ada apa-apa.
Pada ruangan kedua, manekin hantu satu per satu kami jumpai. Mulai dari sosok perempuan berdaster putih yang menempel di dinding, kuntilanak merah, hingga sesosok pria dengan muka berantakan yang duduk di kursi pada ruangan ketiga.
Memasuki ruangan keempat, ruangan semakin gelap. Tak ada satupun sumber cahaya. Berjarak dua meter dari tempat kami berdiri, samar-samar terlihat sosok berwarna putih. Menyerupai guling.
Tiba-tiba, duar! Terdengar suara petir dan lampu mulai berkedip beberapa kali. Sosok samar di hadapan kami terlihat semakin jelas. Orang-orang menyebutnya pocong.
“Astagfirullah. Astagfirullah.”
Abdul mengucapkannya tanpa henti. Dalam ketakutannya, saya hanya tertawa dan sesekali berbicara dalam hati: “ternyata, bisa juga orang yang mengaku tak percaya Tuhan tapi takut setan”. Abdul tak tahu apa yang saya pikirkan saat itu sampai ia membaca tulisan ini.
Baru permulaan, horor di Malioboro masih akan terus berlanjut
Sejak adanya jumpscare pertama itu, Abdul mempercepat langkahnya. Ia tak memperhatikan ragam sosok di ruangan lain yang lebih seram. Ada nenek-nenek yang sedang mandi di bak kecil, perempuan yang tengah bercermin, hingga perempuan berkebaya yang hanya duduk sambil menatap lukisan.
Saya menghitung, setidaknya ada tujuh ruangan yang kami lewati sebelum akhirnya bertemu pintu keluar.
“Bagaimana, udah ketemu poci?,” tanya Julian ketika menjemput kami di pintu keluar. Saya hanya tertawa, sementara Abdul misuh-misuh tanpa henti. Isi buku Sam Harris yang baru ia selesaikan baru-baru ini, buyar seketika di hadapan Jogja Horor Museum Malioboro.
“Ini sebenarnya baru dummy. Masih dalam tahap pengembangan. Perlahan kami bakal kembangin konsep, menaruh robot-robot buat bikin manekinnya tampak hidup sama pakai teknologi tambahan biar makin kerasa aura mencekamnya,” jelas Julian.
Ia juga menjamin, setelah lebaran nanti, ketika kami (mau) datang lagi, Jogja Horor Museum di Malioboro ini bakal dua kali lebih seram. Tertarik mencoba?
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Kengerian Rumah Hantu Trinil di Gamplong Jogja, Wisata Horor dengan Teror Mencekam Bikin Jantungan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.