Angkringan Penuh Cerita di Parangtritis Jogja: Tertipu, Kemalingan Gorengan, hingga Menolong LC Kelaparan dan Kucing-kucing Liar

Ilustrasi - Cerita dari angkringan di Parangtritis Jogja. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Setelah bolak-balik di kawasan Parangtritis, Jogja, Minggu (29/12/2024), saya memutuskan mampir di sebuah angkringan di tepi jalan. Pukul 18.30 WIB, perut saya sudah keroncongan. Sementara sosok yang saya cari sejak sore belum juga ketemu.

Atas rekomendasi warga lokal di Parangtritis, Jogja, saya mencatat nama seorang “legenda” di sana: seorang perempuan paling berpengaruh dalam dunia per-LC-an di Parangtritis. Sialnya, si pemberi rekomendasi tidak memberikan alamat persis si perempuan legendaris.

“Nanti kalau keluar pantai, tanya saja sama orang sekitar,” begitu pesan si pemberi rekomendasi.

Baik. Itu pun yang akhirnya saya lakukan. Sejak keluar dari kawasan pantai, hampir setiap rumah dan toko saya hampiri untuk bertanya alamat si perempuan legendaris di Parangtritis, Jogja, tersebut.

Raut wajah mereka memberi respons yang sama: kaget. Sebagian langsung menjawab, “Tidak tahu, tanya yang lain saja.”

Sementara yang lain mempertanyakan, ada urusan apa saya mau bertemu dengan perempuan legendaris itu? Saya jawab dalam dua versi. Versi jujur (ada keperluan liputan) dan versi pura-pura (pura-pura ada urusan bisnis). Namun, dua jawaban saya tersebut tak membuat orang-orang yang saya temui mau buka mulut perihal alamat si perempuan yang saya cari.

Ketika mampir di angkringan di kawasan Parangtritis, Jogja, itu, ada setidaknya dua laki-laki dewasa yang nongkrong dan ngobrol ngalor-ngidul. Sambil menyantap gorengan, saya tanyakan hal yang sama dengan mereka.

Mereka semua tahu nama yang saya sebut. Tapi mereka malah menyarankan agar saya mengurungkan niat saya untuk bertemu dengan si perempuan. Ah, ya sudah, saya santai dulu saja di angkringan.

Kopi-kopi yang Dika jual MOJOK.CO
Kopi-kopi yang Dika jual. (Aisyah Amira Wakang/Mojok.co)

Mengejar maling untuk dikasih makan

Para laki-laki itu lantas pergi. Tinggal saya dan pembeli baru: dua ibu-ibu. Kedua ibu-ibu itu tampak akrab sekali dengan si penjual angkringan, yang kemudian saya tahu bernama Dika (28).

“Tadi pagi jadinya gimana?” tanya salah satu dari dua ibu-ibu tersebut.

“Wah sudah nggak kekejar e, Mbak, malingnya,” jawab Dika.

“Kemalingan apa, Mas?” tanya saya ikut nimbrung obrolan mereka.

Mendengar pertanyaan saya, dua ibu-ibu dan si penjual angkringan di Parangtritis, Jogja, tersebut malah tertawa.

Dika bercerita, selepas Subuh, sebagaimana biasa, dia sudah menggoreng gorengan untuk dia jual di angkringan. Angkringannya memang buka sejak jam enam pagi. Lalu tutup semaunya sendiri: kadang malah tidak tutup sama sekali (24 jam).

Setelah gorengannya matang, Dika menatanya dan meninggalkannya sejenak. Belum satu menit Dika beranjak, Dika memergoki seorang pria tua sedang menyolong gorengannya: memauskkan banyak gorengan yang masih panas itu ke dalam plastik hitam.

“Terus lima Indomie juga digondol. Ya saya kejar lah,” ungkap Dika.

Terjadi lah aksi kejar-kejaran di pagi buta tersebut. Sayangnya, “si maling” gorengan lebih cepat. Setelah meliuk-liuk di antara gang-gang perkampungan Parangtritis, Jogja, Dika kehilangan jejak.

“Saya nggak mungkin ngantemi, Mas. Cuma saya ini kasihan. Bapak-bapak itu saya kejar sebenarnya biar saya kasih makan sekalian. Nasi juga baru matang. Kan cocok buat sarapan berdua,” ujar Dika. Saya tertawa terbahak mendengarnya. Ekspresinya saat bercerita, lucu sekali.

“Loh, serius, Mas, saya nggak bohong ini. Saya nggak tega, bukan pengin menghajar,” ucap Dika meyakinkan saya kalau apa yang dia katakan bukanlah satire.

Hidup dalam perantauan sejak lulus SD

Pantas saja sejak kali pertema mendengar Dika bicara, saya tidak asing dengan logatnya. Logat rumpun plat K. Dika ternyata asli Purwodadi, Jawa Tengah. Tetangga dengan Rembang, tempat asal saya.

“Wah, bolo kita, Mas,” ujar Dika saat tahu saya dari Rembang.

Dika (28), perantau asal Purwodadi yang buka angkringan di Parangtritis Jogja. (Aisyah Amira Wakang/Mojok.co)

Dua ibu-ibu sebelumnya sudah pergi. Kini tinggal Dika dan saya. Saya menyantap sate-satean sembari menyesap rokok demi rokok kretek yang saya bawa. Sementara Dika asyik bercerita sambil menggoreng bakwan dan mendoan.

Kepada saya, Dika mengaku sudah jarang pulang ke Purwodadi. Hidupnya sudah habis di perantauan sejak dia lulus SD. Dia berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain, dari Pulau Jawa hingga Kalimantan. Kerja apa saja dia lakoni.

“Saya pernah di Kalimantan satu tahun. Tapi karena nggak betah, saya sempat pulang,” ungkap penjual angkringan di Parangtritis, Jogja, itu.

Dika lantas sempat merantau berpindah-pindah lagi. Kota terakhirnya adalah Surabaya. Setelah itu, usai lebaran 2024, dia memutuskan merantau ke Jogja.

Tertipu hingga tertolong pemilik angkringan di Parangtritis Jogja

Jogja menyambut Dika dengan kesialan. Dua kali dia tertipu proyek. Setelah kerja mati-matian, eh mandornya kabur. Dia tidak mendapat uang serupiah pun.

Alhasil, Dika sempat mencari uang dengan cara menjadi tukang parkir di Pantai Parangkusumo.

“Cuma nggak lama. Habis itu saya ikut orang jualan lotek. Juga masih di Parangkusumo,” terangnya.

Dika (28), perantau asal Purwodadi yang buka angkringan di Parangtritis Jogja. (Aisyah Amira Wakang/Mojok.co)

Baru juga ikut jualan, tak lama kemudian warung lotek tersebut tutup. Hash, sial terus. Begitu gerutu Dika.

Namun, Dika ini tipikal orang yang let it flow sekali. Dia tentu kerap menggerutui nasib silanya. Hanya saja, itu tak akan lama. Setelahnya, dia langsung prengas-prenges lagi.

“Lah wong setelah itu saya akhirnya ketemu bapak yang punya angkringan di Parangtritis ini kok. Saya disuruh jagain,” ungkap Dika.

Si bapak pemilik angkringan di Parangtritis, Jogja, itu seperti tidak butuh uang. Dan terkesan menganggap Dika sebagai keponakan sendiri. Angkringannya benar-benar dia serahkan penuh kepada Dika.

Penjual angkringan yang bisa dimintai bantuan apa saja

Dika menekankan, dia beruntung diberkahi kelebihan gampang akrab dengan orang. Itu membuatnya bisa diterima saat merantau di mana saja. Termasuk di Parangtritis, Jogja.

“Semua orang sekitar sini kenal nama saya. Tapi saya nggak kenal orang itu.”

Baru saja mengucapkan itu, seorang perempuan paruh baya yang rumahnya tidak jauh dari angkringan meneriaki Dika, “Dik, tolong pasangke gas.”

“Oh nggih, siap, Mbok…,” sahut Dika. Dika mengecilkan kompor, lalu bergegas ke rumah si perempuan paruh baya tersebut.

Sekembalinya, Dika bercerita, panggilan-panggilan semacam itu memang sering Dika dapatkan. Kok cuma masang regulator gas, mengecat rumah, memperbaiki genteng bocor, ngecor, dan lain-lain, semua bisa Dika lakukan jika warga sekitar sudah meminta bantuan. Itu membuatnya cukup disukai di kawasan Parangtritis.

“Saya selama di sini kan nggak ngekos. Bapak pemilik angkringan ngasih ya semacam gotakan buat saya naruh barang-barang. Kalau tidur saya seenaknya saja, Mas. Kadang ya tidur sini,” ucap Dika sambil menunjukkan tikar angkringan.

Angkringan di Parangtritis Jogja: teman para LC yang kelaparan

Uniknya, Dika kerap membuka angkringannya 24 jam. Bukan karena didorong oleh perhitungan untung-untungan. Tapi lebih karena menjawab kebutuhan warga sekitar Parangtritis, Jogja.

Pagi hari, biasanya ada saja orang yang mencari gorengan. Larinya ya ke angkringan yang Dika jaga. Sisanya adalah orang-orang yang datang dan pergi untuk makan atau ngopi.

“Kalau dini hari sampai subuh, ya buat mbak-mbak LC sini, Mas. Kalau pulang mereka pasti mampir. Lapar kan,” jelas Dika.

Alhasil, pola tidur Dika pun terbilang kacau. Ia sering tidur dua hari sekali. Pola tidur yang sebenarnya ingin dia perbaiki.

“Oh ya, daripada sampean ke Mbok **** (perempuan legendaris di dunia per-LC-an Parangtritis yang saya cari), mending langsung ngobrol saja sama LC-nya. Gampang, kenalan saya banyak yang LC. Saya panggilkan dua orang, po?,” tawar Dika. Saya menggeleng.

Kucing pembawa rezeki

Di tengah obrolan kami, seekor kucing liar mengeong dan gelibat-gelibet di kaki Dika. Pemuda berkulit cokelat sawo itu lalu mengambil sundukan usus. Lalu dilemparkan ke si kucing.

“Saya sering, Mas, kasih makan kucing liar. Ya kepala ayam, sundukan, bahkan susu. Padahal saya sendiri seumur-umur nggak pernah minum susu,” ucapnya dengan tawa berderai.

“Ini kepercayaan mbah-mbah saya dulu di Purwodadi ya, Mas, kucing itu pembawa rezeki,” sambungnya.

Dika (28), perantau asal Purwodadi yang buka angkringan di Parangtritis Jogja. (Aisyah Amira Wakang/Mojok.co)

Dan Dika mengaku merasakannya sendiri. Kebiasaannya memberi makan kucing liar itu membuat hidupnya selalu diberkahi rezeki.

Tidak hanya dalam konteks semakin banyaknya pelanggan angkringan, tapi juga rezeki-rezeki dalam bentuk lain. Sesederhana dia kini jadi orang yang disukai oleh orang-orang di sekitar Parangtritis, bagi Dika adalah rezeki.

Sebab, dari situ, dia yang merantau sendiri dari Purwodadi, akhirnya merasa memiliki keluarga baru. Apalagi Dika ringan tangan dalam membantu sesama. Alhasil, ketika dia sedang dalam kesulitan, orang-orang di sana pun tak segan pula membantunya.

enulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Kebaikan Warga Lokal di Pantai Parangkusumo Jogja, Berjaga saat Wisatawan Bersenang-senang atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

Exit mobile version